Stand-up comedy punya nyawa yang sama dengan “gerakan”. Ia berangkat dari keresahan yang butuh didengar. Keresahan akan masalah pribadi, kebijakan, hingga fenomena sosial. Layaknya gerakan, stand-up comedy ada karena tragedi. Ironi akan tragedi itu menjadi keresahan dan kemudian diluapkan dengan cara yang lucu.
Menyebarkan Kesadaran
Selain bahwa stand-up comedy dan gerakan berangkat dari tragedi dan keresahan yang sama, keduanya juga memiliki dampak, yakni sama-sama menyebarkan kesadaran akan isu yang dibahas. Walaupun perlu diakui bahwa goal antara stand-up comedy dan gerakan sangat jelas berbeda. Gerakan bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial, sementara stand-up comedy hanya untuk membawakan materi keresahan dengan lucu.
“Lucu harus di atas segalanya, pesan nomor sekian,” kata Pandji Pragiwaksono dalam siniar Hiduplah Indonesia Maya. Meskipun begitu, tidak sedikit komika yang punya tujuan lain selain melucu. Saya sendiri kagum dengan beberapa komika, materi mereka sarat akan gerakan perjuangan. Dengan berbagai isu yang dibahas, mereka mampu membawa urgensi tersebut dengan cara yang menyenangkan.
Baca juga:
Contohnya Pandji Pragiwaksono dengan nasionalismenya, isu kita sebagai warga negara Indonesia dan berbagai permasalahannya. Tretan Muslim dan Coki Pardede dengan toleransi dan opini progresif mereka. Mamat Alkatiri dan Bintang Emon dengan pembahasan yang menyerempet isu politik dan HAM. Ligwina Hananto dan Sakdiyah Ma’ruf dengan materi perempuan dan feminisme. Special show yang terakhir saya tonton, saya angkat topi untuk Abdur Arsyad yang mengangkat problematika pendidikan dan guru honorer dengan tajuk “Pahlawan Perlu Tanda Jasa”.
Special stand-up comedy show tidak hanya menjadi sarana komika mencari uang, tapi juga ajang untuk bersolidaritas. Misalnya ketika special show menjadi proyek kolaborasi donasi untuk mereka yang sering terlupakan. Seperti show “Pahlawan Perlu Tanda Jasa” yang menggalang donasi di mana sebagian keuntungannya diberikan kepada guru honorer.
Disadari atau tidak, para komika tadi membawa semangat gerakan. Mereka mampu mengonsep materi stand-up comedy dengan isu yang memang harus menjadi perhatian publik. Dari sini terlihat bahwa stand-up comedy dan gerakan bisa berjalan beriringan. Stand-up comedy bisa menjadi medium gerakan apa pun, mulai dari feminisme, pendidikan, kebebasan dan keadilan warga negara, toleransi, HAM, politik, dan banyak masalah sosial lainnya.
Perbedaan Argumen adalah Hal Biasa
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan argumen atau materi antarkomika. Sebagaimana terjadi antara Popon Kerok dan Ligwina, atau bahkan komika dengan netizen Twitter. Perlu diingat, stand-up comedy tidak lahir dari kebenaran tunggal. Sekali lagi, ia lahir dari keresahan, entah keresahan itu berujung pada sikap pro maupun kontra. Ia juga bisa lahir melawan political correctness atau kepantasan bersikap, bukan lahir untuk mencari kebenaran.
Kalau-kalau terjadi ketidaksetujuan terhadap materi stand-up comedy, bukankah itu hal yang biasa? selama masih bisa berpikir, maka akan selalu ada pro dan kontra. Oleh karenanya, jika bisa menyediakan panggung untuk komika yang mendukung, tidak adil jika menutup panggung bagi mereka yang menolak. Padahal materi mereka bukan untuk dibenarkan, tetapi untuk ditertawakan. Dan dengan begitu, isu apa pun itu tetap menjadi pembahasan.
Baca juga:
Opini dan argumen yang dibangun oleh para komika dalam materinya, baik pro maupun kontra, adalah opini yang fair. Perbedaan sudut pandang antarkomika pun adalah hal yang wajar, hanya perlu dimengerti dan tentu ditertawakan. Bukankah lucu ketika kita melihat perdebatan dibawakan dengan kocak dan tidak serius?
Argumen yang valid, penyampaian yang lucu, dan pesan yang tersampaikan adalah cara paling menarik untuk menyampaikan keresahan. Hal itu yang membuat saya menikmati stand-up comedy sebagai penonton, sekaligus tetap mengamini perjuangan gerakan. Bagi saya, stand-up comedy dan gerakan adalah dua kutub magnet. Satu sisi untuk kebutuhan hiburan, satu sisi untuk kebutuhan kemanusiaan. Keduanya tarik-menarik. Ketika keduanya bisa berjalan beriringan, mengapa harus dinegasikan?
Jika gerakan adalah bentuk perlawanan, stand-up comedy adalah medium untuk melawan. Medium bagi argumen pro maupun kontra. Tidak harus setuju untuk tertawa. Tak ada yang salah dengan itu dan tak perlu untuk saling boikot, somasi, hingga persekusi. Keduanya hanya perlu untuk saling mengerti dan berjalan bersama. Tetaplah melucu, karena melucu adalah melawan. Begitu kata Gus Dur.