Isu kaum miskin kota sudah sering diusung dalam film maupun drama Korea. Misalnya, serial My Mister yang menggambarkan peliknya kehidupan pekerja kantoran tulang punggung keluarga dan anak magang yang dililit utang, Parasite yang menempatkan kritik soal ketimpangan sosial lewat komedi gelap yang menggelitik. Meski demikian, Microhabitat (2017), berbeda dengan kedua contoh tadi. Film yang bisa ditonton di Tubi TV dan Mubi ini menggunakan pendekatan yang lebih “kalem” tetapi tidak mengurangi volume kritik sosial yang nyaring sejak awal.
Baca juga K-aleidoskop 2021
Microhabitat menceritakan Miso (Esom), seorang perempuan awal 30-an yang sehari-harinya hidup sebagai housekeeper. Dia termasuk ke dalam kelompok miskin di kota itu, tetapi dia tidak pernah ragu untuk merogoh kocek lebih dalam demi segelas wiski di malam hari dan sebungkus rokok. Kehidupan Miso tampak baik-baik saja sampai harga rokok di Korea Selatan melejit. Sisa uangnya hanya cukup untuk membayar sewa indekos, sementara kekasihnya, Hansol (Ahn Jae-hong), juga tidak kalah miskin darinya. Karena Miso tidak bisa hidup tanpa wiski dan rokok, dia rela menggelandang sementara, sambil mengumpulkan uang untuk menyewa tempat lain yang lebih murah setelah mengalokasikan semua sisa uangnya untuk rokok dan wiski. Sampai bisa menemukan tempat tinggal baru, Miso mengunjungi dan menumpang sementara di rumah sahabat-sahabatnya, anggota band semasa kuliah.
Petualangan Miso di Microhabitat menyiratkan banyaknya dan beragamnya masalah sosial di kota besar. Meski terasa episodik, Jeon Go-woon mampu mengungkap realitas bahwa kehidupan orang dewasa bisa sangat mengerikan melalui masalah yang dihadapi oleh sahabat Miso—meski sekilas tampak trivial.
Plot berjalan mengikuti keputusan-keputusan Miso yang sebetulnya tidak masuk akal pada awalnya. Bagaimana bisa orang miskin lebih memprioritaskan wiski dan rokok daripada tempat tinggal? Namun, alih-alih menjadi kritik bagi budaya konsumerisme kaum urban, apa yang dilakukan Miso adalah dampak mengerikan dari kebiasaan “orang kota” — di balik jargon individualisme — melanggengkan ketidakpedulian mereka pada yang berbeda, dalam hal ini orang miskin. Kita bisa melihatnya dengan jelas bagaimana Miso diperlakukan oleh dua orang temannya yang kaya. Pada akhirnya, kita harus bisa mengerti Miso, sebab hanya wiski dan rokok —dan Hansol, sumber kebahagiaannya.
Sutradara Jeon Go-woon memaparkan kepada media saat diwawancarai pada gelaran New York Asian Film Festival 2018 bersama aktor Ahn Jae-hong bahwa wiski dan rokok merupakan simbol kedewasaan, karena di Korea Selatan dua hal tersebut baru bisa didapatkan ketika sudah berusia 18 tahun ke atas. Selain itu, wiski dan rokok di film ini juga merupakan metafora untuk menggambarkan bagaimana realitas adalah sesuatu yang sulit dipertahankan tanpa mabuk pada sesuatu.
Sebuah ironi juga bagaimana karakter Miso merepresentasikan selfless character yang tidak tahu cara merawat diri sendiri, sementara dia selalu bisa menjaga orang-orang di sekitarnya. Dia membuat masakan yang enak untuk sahabatnya, membersihkan rumah pengguna jasanya dengan baik, dan sebagainya. Microhabitat menjelaskan bahwa seseorang akan kesulitan memahami dan menjaga dirinya ketika dia tidak memiliki “ruang”.
Film ini merupakan sebuah satire yang menyinggung banyak masalah sosial. Namun, alih-alih menyusunnya dengan adegan-adegan komikal (meskipun ada beberapa adegan yang lucu), seperti yang dilakukan banyak film serupa, Microhabitat sama sekali tidak “lucu”. Film ini justru memberi kesan yang mengerikan. Lihat saja apa yang terjadi pada Miso dan sahabat-sahabatnya yang mengorbankan begitu banyak hal dalam hidup mereka untuk memenuhi standar kehidupan tertentu. Kenaikan harga wiski, rokok, dan sewa indekos turut serta dalam menyumbang kritik terhadap kapitalisme. Di sisi lain, prinsip hidup Miso tentang “kindness for kindness” semakin tidak bisa dipahami oleh banyak orang.
Baca juga
Microhabitat juga seperti ingin mendorong kemuakan pada kehidupan kaum urban seperti dalam film Little Forest (2018) dengan sudut yang berbeda. Microhabitat juga memuat banyak isu baik yang sifatnya subtil maupun jelas, beberapa hanya sampai pada permukaan saja. Misalnya kritik terhadap machismo pada karakter Daeyong yang diceraikan oleh istrinya dan menggugat budaya patriarki di dalam keluarga orang Korea yang kental pada karakter Hyunjung. Pada akhirnya, semua itu hanya menjadi pengiring dari konflik utama di film ini: kemiskinan. Rangkuman masalah sosial itu membuat Microhabitat terasa akrab, terutama bagi masyarakat Asia.
Jeon Go-woon berhasil membuktikan bahwa film debutnya ini tidak hanya baik secara teknis, melainkan juga baik dalam menangkap isu krusial di tengah masyarakat urban. Kemampuan dan kemauan Jeon Go-woon menggelar gambaran kehidupan seorang perempuan miskin yang terhimpit di kota sebesar Seoul patut diapresiasi.
Saya tidak mengatakan Microhabitat harus digaungkan sebagai film penting yang menyoal kemiskinan di kota besar. Namun, yang jelas, sebagai sebuah karya fiksi, film ini mampu berbicara banyak dan nyaring tanpa sedikit pun terasa seperti ceramah picisan tentang kapitalisme dan individualisme. Jeon Go-woon menutup film ini dengan konklusi yang bisa dimaknai secara berbeda berdasarkan sudut pandang masing-masing penonton.