Dadang is a lecturer and researcher at Mulawarman University and Ph.D. student at the National University of Singapore.

Kejayaan Orang Laut

Dadang I K Mujiono

3 min read

Ahli Asia Tenggara Hendrik Maier berargumen bahwa ada dua pandangan berbeda yang berkembang di kalangan penjajah pasca penandatanganan Perjanjian Anglo-Dutch di tahun 1824 terkait cara menghadapi pergolakan rakyat Melayu. Pertama, ada kelompok yang mendukung bahwa rakyat Melayu perlu diperlakukan layaknya manusia merdeka. Sebab, pada prinsipnya, semua manusia setara dan memiliki kapasitas yang sama. Kelompok pertama ini kemudian disebut sebagai kelompok “pencerah” yang terdiri dari ilmuan-pedagang Skotlandia.

Kedua, ada kelompok yang menentang segala upaya menjadikan rakyat Melayu sebagai rakyat yang beradab. Mereka beranggapan bahwa kehadiran rakyat Melayu tidak perlu dianggap serius. Kelompok kedua ini kemudian disebut sebagai kelompok cendekiawan-administrator. Mereka terinspirasi oleh teori Darwin yang meyakini adanya hierarki alami antara ras di Semenanjung (Melayu) dan Inggris. Menurut mereka, ras Inggris berada di puncak sedangkan ras Melayu berada di dasar hierarki.

Pada abad ke-20, superioritas sosial dan budaya Inggris telah tertanam dengan mapan, termasuk di Malaya. Kemapanan tersebut semakin mengukuhkan pandangan kelompok kedua itu bahwa Inggris adalah ras superior; ras lain inferior. Dalam konteks penjajahan di Malaya, mereka menganggap rakyat Melayu tidak memiliki peradaban yang patut untuk dipelajari dan dibanggakan, atau, dengan kata lain, barbar.

Baca juga:

Benarkah Melayu Barbar?

Faktanya, sebelum kedatangan bangsa penjajah ke Asia Tenggara, Malaya dan berbagai wilayah di sekitarnya adalah wilayah yang sangat beradab. Kerajaan-kerajaan lokal di sana kuat dan dihormati. Dari sini, label barbar terhadap wilayah ini sangatlah tidak tepat dan bersifat ofensif.

Cendekiawan seperti Cynthia Chou, Adrian B. Lapian, dan David Sopher menemukan bahwa kerajaan di Asia Tenggara adalah kerajaan yang sangat dihormati dan berpengaruh sebelum bangsa penjajah datang dan memorak-porandakan kerajaan tersebut. Terdapat paling tidak empat kerajaan/kesultanan yang sangat dihormati di wilayah Malaya dan sekitarnya, yakni Kerajaan Sriwijaya (671-1025), Kesultanan Melaka (1400-1511), Kesultanan Johor-Riau (1528-1824), dan Kesultanan Riau-Lingga (1824-1911). 

Berdasarkan penelitian mendalam yang dilakukan oleh ketiga cendekiawan di atas, kerajaan/kesultanan yang ada di wilayah Malaya dan sekitarnya sangat bergantung pada kekuatan orang laut atau yang juga dikenal dengan istilah sea gypsies (gipsi laut). Jasa orang laut dipakai oleh para penguasa sebagai benteng terdepan dalam setiap peperangan dan menjaga teritori kerajaan.

Keahlian orang laut dalam berlayar dan pengetahuan mereka tentang wilayah lautan sekitar menjadikan mereka subjek yang sangat dihormati oleh penguasa lokal. Belum lagi, keahlian orang laut dalam berdagang menjadikan perdagangan lokal dan internasional di wilayah ini berkembang sangat pesat, khususnya pada periode 1641-1699.

Berangkat dari keahlian yang dimiliki oleh orang laut tersebut, banyak di antara mereka memperoleh gelar kehormatan dari penguasa lokal. Misalnya, pada era Kerajaan Sriwijaya, banyak orang laut diberi gelar kehormatan tertinggi seperti laksamana dan bendahara. Kemudian, pada era Kerajaan Johor, banyak orang laut diberi gelar orang rakyat. Mereka yang menyandang gelar tersebut diberi keistimewaan dari penguasa untuk tidak wajib membayar pajak kepada pemerintah.

Meluruskan Sejarah dengan Studi Pascakolonial

Adanya bukti sejarah bahwa wilayah Malaya dan sekitarnya pernah diisi oleh kerajaan-kerajaan yang disegani merupakan fakta yang tidak dapat dihindarkan. Dengan begitu, keberadaan bukti ini sekaligus membantah rasisme dalam klaim-klaim bangsa penjajah tentang bangsa Melayu.

Studi dekolonisasi atau studi penghapusan wilayah jajahan dan pengaruhnya adalah studi yang tidak hanya menarik, tetapi juga penting. Melalui studi ini, para cendekiawan dapat mengungkap fakta yang sengaja dihilangkan oleh bangsa penjajah melalui pendekatan saintifik.

Studi ini mulai berkembang sejak abad ke-20. Filsuf dari Perancis, Frantz Fanon, menerbitkan buku yang berjudul The Wretched of the Earth. Buku tersebut berkisah mengenai perjuangan bangsa yang terjajah dan langkah mereka menuju kemerdekaan melalui proses yang disebut dekolonisasi.

Gagasan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang barbar menurut bangsa penjajah perlu diluruskan. Adanya gagasan yang bersifat ofensif dan merendahkan tidak hanya berdampak buruk terhadap kerajaan-kerajaan masa lalu, tetapi juga pada peninggalan kerajaan, yakni orang laut.

Jika kerajaan masa lalu sirna karena bangsa penjajah, maka hal itu tidak terjadi pada orang laut. Orang laut tidak pernah mati. Sebab, mereka, layaknya manusia pada umumnya, terus berkembang biak. Namun, sayangnya, kejayaan orang laut sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, oleh banyak orang sekarang jarang dianggap. Alih-alih mengenang dan membanggakan jasa orang laut, gelar orang laut justru identik dengan marginal, miskin, tanpa kewarganegaraan, perompak, dan pencuri ikan.

Penyebutan barbar oleh bangsa penjajah tentu tidak hanya ditujukan kepada para penguasa kerajaan, melainkan juga kepada pasukan kerajaan, yakni orang laut. Dahulu kala, ketika bangsa penjajah berhadapan dengan kerajaan lokal, mereka kesulitan menaklukan kerajaan lokal karena sokongan kekuatan orang laut.

Bangsa penjajah lantas menjuluki orang laut dengan berbagai istilah ofensif dan mengarang cerita yang tidak-tidak. Misalnya, mengisahkan bahwa orang laut membawa kehancuran bagi penduduk lokal di Kesultanan Palembang dan menjadi teror bagi semua orang yang mengarungi lautan Timur. Bahkan, tokoh penemu negara modern Singapura, Sir Stamford Raffles, pernah menulis surat kepada Lord Minto bahwa perompakan sudah tertanam dalam kebiasaan orang Melayu.

Baca juga:

Narasi yang buruk terhadap orang laut sangat disayangkan. Orang laut merupakan tulang punggung eksistensi kerajaan lokal yang merupakan embrio dari entitas politik bernama Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sekalipun orang laut dianggap sebagai bangsa perompak oleh bangsa penjajah, mereka melakukan tindak kekerasan itu atas dasar mengamankan wilayah dari invasi bangsa penjajah.

Oleh karenanya, mengenang jasa-jasa dan mereduksi stereotip terhadap orang laut penting untuk kita lakukan bersama-sama. Dengan begitu, kita bisa menjaga kejayaan masa lalu dan menjadikan bangsa Melayu, khususnya Indonesia, sebagai bangsa yang bermartabat.

 

Editor: Emma Amelia

Dadang I K Mujiono
Dadang I K Mujiono Dadang is a lecturer and researcher at Mulawarman University and Ph.D. student at the National University of Singapore.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email