Redaksi Omong-Omong

Jika Hidup adalah Karya Seni

Moch Aldy MA

2 min read

Doa Seorang Penyair yang Agnostik

Ya tuhan dan bahkan bila engkau bukan tuhan… Demi setan yang persetan… Bahkan bila iblis hanyalah produk bahasa dari apa yang disebut keburukan dan kejahatan. Bahkan jika setan hanyalah antonim dari tuhan. Bahkan jika para iblis berapi itu adalah simbol insting dan naluri pemberontak yang melekat dalam diri manusia—yang dapat menandai perubahan sekaligus mengakhiri status quo sebuah agama dan para nabi.

Bahkan jika tuhan mungkin hanyalah majas-majas hiperbola—dari betapa terbatasnya gerak-gerik seorang manusia. Tapi bukankah tuhan yang maha penyayang, pemurah, pengasih, maha kaya, maha raja, maha mengetahui, maha mendengar—itu merupakan kualitas-kualitas yang ada pada diri manusia; kemudian ditinggikan hingga melampaui kenyataan?

Atau bahkan jika tuhan dan setan hanyalah metafora visual nan primitif—yang digunakan untuk mempersonifikasikan konsep abstrak pemikiran. Atau bahkan jika keduanya hanyalah penyakit bahasa yang diglorifikasi dan dijilat dengan buta. Atau bahkan jika keduanya hanyalah bentuk paling dekat dengan idea dari delusi dan halusinasi.

Meski pada akhirnya, aku akan berkata: entahlah. Dan hanya bisa berdoa sekaligus tidak berdoa. Ya, tuhan… Tolong selamatkan aku dari setan, dari ketidak-tahuanku kepada-Mu, dan dari dirimu sendiri. Amin. Semoga semua makhluk berbahagia. Dan dijauhkan dari kesengsaraan.

(2021)

Jika Hidup adalah Karya Seni

Tak ada yang pasti di dunia ini. Bahkan hipotesaku bahwa tak ada yang pasti di dunia ini pun tak bisa dipastikan. Meski aku pergi ke rumah ibadah, aku belum tentu menemukan hamba-hamba tuhan yang harusnya menjadi sinonim dari kebaikan. Meski aku pergi ke rumah bordil, aku belum tentu menemukan orang-orang yang menjadi perpanjangan tangan dari betapa bejatnya moral seorang setan.

Nyatanya, umat-umat beragama di rumah ibadah itu begitu dogmatis, eskapis, dan narsis. Di kepala mereka tertanam prinsip zero-sum game: jika ada imbalan maka menjalankan perintah-Nya; jika tak ada imbalan maka mereka tak akan menjalankannya. O jika tuhan membakar surga dan neraka tepat di depan mata mereka, mungkinkah mereka tetap beribadah kepada-Nya?

Nyatanya, orang-orang bordil itu jauh lebih tulus. Lebih blak-blakan. Lebih jujur. Lebih apa adanya. Lebih menerima kenyataan bahwa manusia adalah makhluk transaksional yang tak bisa kabur dari jerat-jerat untung dan rugi. Setidaknya orang-orang bordil paling mampu memberi garansi: kena gigi uang kembali. Setidaknya mereka tak munafik. Tak hipokrit. Tak standar ganda. Meski mereka tahu neraka ada di bawah telapak kakinya.

O sayangku, jika hidup adalah karya seni; maka kehidupan adalah bentuk paling kitsch dari mimpi. Dan jika hidup adalah karya sastra; maka aku sedang mendamba sisa-sisa epilog. Dan jika tujuan dari hidup adalah untuk mati; maka aku hanya ingin merasakan hidup yang benar-benar hidup. Tanpa rasa takut akan kematian yang bisa tiba-tiba merebut mimpi-mimpiku—untuk tetap menghidupi hidup yang telah lama mati.

(2021)

Sampah Sesungguhnya

O sayang betapa sampah daur ulang bukanlah kaca, botol kaca, kaca jendela, cermin, vas kaca, piring, gelas, mangkuk, metal, kaleng minuman, peralatan makan, seng, kertas, plastik multilayer, plastik cycle 1, plastik cycle 2, plastik cycle 5, atau limbah minyak jelantah—melainkan mereka yang terlalu pengecut untuk menghadapi realitas kemudian mendaur ulang kosakata oknum demi menutupi kepengecutannya.

(2021)

Manfaat dan Kebangsatan Filsafat

Non-Filsuf: “Filsafat itu full of shit!

Filsuf: “kata siapa? Coba pelajari dulu ya.”

Jadi-Filsuf: “Filsafat itu full of shit.

Filsuf: “ya, Filsafat itu memang kayak tinja. Mungkin tepatnya seperti seni memberi gula di atas tumpukan tinja orang-orang yang bahkan tak bisa membedakan—antara kesialan orang-orang lajang dengan krisis-krisis eksistensial. Mungkin juga semacam cara untuk menunda kekalahan manusia di hadapan makna. Atau mungkin, Filsafat adalah bom waktu yang akan meledak ketika kita berkata: oh inilah waktu yang paling tepat untuk melupakan waktu. Meski Filsafat tak akan pernah bisa mengubah kenyataan menjadi manisnya museum es krim—yang selalu dirindukan—oleh sesosok anak kecil yang bersembunyi di dalam alam bawah sadar kita. Meski puncak dari filsafat adalah menyadari betapa tololnya dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Meski pada akhirnya, Filsafat tak akan mengubah fakta bahwa kita hanyalah debu-debu kosmik dalam bentuk yang paling unik, sinting, surreal, dan komikal. Meski pada akhirnya, kita akan perlahan menyadari bahwa komposisi dari realitas adalah 20 persen masa lalu; 1 persen kesadaran; 9 persen air mata; 15 persen doa yang tak pernah dikabulkan tuhan; 5 persen rasa bosan manusia; dan 50 persen sisanya adalah kombinasi dari peperangan, kekacauan, kerusuhan, overthinking, dan rasa horni. Jadi kokang senjatamu, wahai filsuf muda! Mari berperang atas nama kefanaan hidup yang harus dihidupi. Marilah kita ubah Filsafat menjadi semacam Morfina! Perlakukan ia serupa Anestesi di mata seorang yang ingin sekali Euthanasia—sebelum kita ditelan kegelapan yang abadi dan baka!”

(2021)

Sepi dalam Ramai

Pada akhirnya, ramainya dunia selalu meninggalkan rasa kesepian bagiku.

(2021)

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email