Ironi Pembangunan Geothermal: Alamnya Rusak, Masyarakatnya Sengsara

Novia Ulfa Isnaini

3 min read

Posisi Indonesia yang berada di wilayah tumbukan lempeng dan dilintasi garis khatulistiwa membuat negara ini memiliki banyak sumber energi,seperti minyak bumi, batu bara, nikel, energi fosil dan lain sebaginya. Di samping itu Indonesia menempati juga sebagai salah satu penduduk terpadat di Asia. Dengan penduduk yang berlimpah tentu kebutuhan untuk memenuhi kehidupan juga sangat banyak. Salah satunya adalah kebutuhan energi listrik.

Direktorat jenderal kekayaan negara menyatakan pasokan listrik Indonesia saat ini adalah 38 gigawatt, dengan target pertumbuhan ekonomi 6,7 % pertahun. Jika permintaan listrik diasumsikan meningkat dengan sebanding pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun 2050 kebutuhan listrik Indonesia akan membutuhkan sekitar 500 gigawatt. Tentu pemanfaatan terhadap penggunaan energi minyak bumi dan batu bara membuat kandungan bumi tersebut kian menipis.

Mengingat ketergantungan pada sumber energi yang tidak dapat diperbarui (batu bara dan minyak bumi) sangat berpotensi merusak lingkungan, oleh karena itu pemerintah melalui kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM) mulai mencanangkan energi baru terbarukan (EBT). Salah satunya adalah proyek teknologi geothermal (panas bumi). Potensi sumber energi geotermal Indonesia berjumlah sekitar 11.073 megawatt listrik (Mwe) dan cadangannya sekitar 17.506 Mwe.

Karena selama ini pembangkit listrik di Indonesia lebih banyak mengonsumsi dari batu bara, penerapan teknologi geothermal dapat dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik pengganti dari energi sebelumnya. Energi geothermal adalah sumber energi terbarukan yang dihasilkan dan disimpan di dalam inti bumi. Proses geothermal ini dilakukan dengan cara mengambil uap panas bumi. Uap tersebut digunakan sebagai menggerakkan turbin pembangkit listrik.

Sayangnya beberapa proyek geothermal yang ada di Indonesia tak berbanding lurus dengan solusi bagi krisis iklim. Proyek-proyek itu menciptakan krisis sosial baru. Aksi penolakan dan pemrotesan disekitar proyek geothermal sering kali dimunculkan oleh masyarakat lokal. Akan tetapi resistensi tersebut tak pernah digubris. Pemerintah justru tetap bersikeras melanjutkan proyek tersebut dengan dalih memenuhi kebutuhan energi bersih.

Baca juga:

Dalam hal ini pemerintah hanya merencanakan proyek teknologi geothermal tanpa mempertimbangkan kepentingan sosial. Lantas apakah proyek ini benar benar untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, atau hanya menguntungkan pihak pihak tertentu?

Bencana dan Perampasan 

Daerah yang dibuat proyek geothermal sering terjadi rawan gempa karena efek dari pengeboran sumur geothermal atau hydraulic fracuring. Hydraulic fracuring merupakan teknik untuk meningkatkan produktivitas sumur panas bumi dengan memecah bebatuan bawah tanah menggunakan fluida bertekanan tinggi, . Hal itu dilakukan untuk menambah laju aliran panas bumi yang terhalang batuan ke sumur-sumur pembangkit listrik.

Ironisnya, pemompaan fluida tersebut yang mengakibatkan getaran bumi di sekitarnya. Akibatnya warga sering menemukan retakan pada bangunan dan juga tanah yang amblas.

Selain itu sejumlah warga yang tinggal disekitar proyek geothermal sering kali mengalami sesak nafas yang bisa berujung kematian. Kondisi itu terjadi karena udara yang dihirup merupakan gas-gas yang berbahaya bagi kesehatan tubuh seperti H2S (Hidrogen sulfida). Hidrogen Sulfida dihasilkan ketika energi geothermal diekstraksi. Gas ini dilepaskan melalui ventilasi sumur geothermal lalu dibiarkan begitu saja di udara tanpa proses penyaringan.

Perampasan tanah dan wilayat adat menjadi masalah serius oleh pembangunan proyek geothermal. Tak sedikit dari informasi masyarakat lokal yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, budaya dan adat istiadat karena sering kali proyek pembangunan geothermal ini dilakukan di kawasan hutan. Hal ini seperti yang telah terjadi di Poco Leok, Mataloko, NTT, Flores, dan dikawasan Dieng. sejumlah aksi warga setempat menggugat kehadiran proyek tersebut karena telah merusak budaya dan adat mereka. Selain itu masih banyak kasus lainnya yang menyebabkan kerusakan sosial terhadap masyarakat sipil.

Baca juga:

Menyadari hal tersebut, pemerintah yang seharusnya melindungi hak hak masyarakat, justru bertindak sebagai agen kekuatan kapitalis yang memaksa agenda pembangunan secara represif. Inilah yang disebut sebagai “state corporate nexus” sebuah hubungan di mana pemerintah dan perusahaan bekerja sama mencuri keuntungan dan mengabaikan hak hak masyarakat sipil.

Hegemoni Kekuasaan dan Keadilan Sosial

Selama ini pemerintah mempromosikan energi panas bumi sebagai energi yang ramah lingkungan. Transisi energi tersebut memang lebih mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan energi listrik yang terbuat dari batu bara, nikel dan fosil. Namun di sisi lain, proyek semacam ini sering dijalankan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Inilah yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni kekuasaan. Pemerintah memanfaatkan narasi transisi energi bersih untuk melegitimasi pembangunan proyek-proyek geothermal yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sebagai kekuasaan yang hegemonik tersebut, pemerintah beroperasi dalam kerangka kapitalsime hijau (green capitalism) sebagaimana alam dan manusia dieksploitasi demi kepentingan ekonomi.

Akibatnnya, banyak kerugian yang dirasakan oleh masyarakat sipil baik perampasan hak tanah, sumber daya alam, dan praktik sosial budaya. Maka dari itu, untuk menghindari konflik yang berkepanjangan pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih inkusif dan adil. Disini keadilan sosial harus menjadi pilar utama di setiap proses pembangunan, termasuk proyek pembangunan geothermal. Masyarakat harus terjamin haknya untuk mendapatkan kesejahteraan yang setara. Setiap kelompok yang mengalami pendekatan langsung dengan pembangunan proyek geothermal harus menerima manfaat secara adil, tanpa ada pihak yang dirugikan.

Selain keadilan sosial, pendekatan pastisipasi inklusif juga harus diupayakan pada setiap proses pembangunan. Masyarakat adat, yang selama ini menjaga dan menaruh keberlangsungan hidup pada ekosistem harus diberi kesempatan memberikan pandangan, kekhawatirannya, dan kebutuhan mereka.

Partisipasi inklusif tidak hanya memastikan bahwa proses pembangunan tersebut dilakukan secara responsif terhadap kebutuhan lokal, melainkan juga mempertimbangkan dan menghindari potensi konflik yang berkelanjutan. Tanpa adanya pendekatan pendekatan tersebut proyek energi terbarukan berpotensi merusak ekosistem dan budaya lokal demi kepentingan segelintir orang. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Novia Ulfa Isnaini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email