Sesuai dengan namanya, Desa Poco Leok (poco artinya bukit dan leok artinya dikelilingi) yang terletak di Kabupaten Manggarai, NTT, merupakan daerah yang sangat subur dan dikelilingi bukit-bukit. Poco Leok juga menjadi bagian dari jalur gunung berapi yang menyimpan cukup banyak kandungan panas bumi. Sebagai daerah dengan potensi alam yang besar, pemerintah berusaha untuk mengambil panas bumi tersebut sebagai sumber energi terbarukan. Hal itu merupakan rencana perluasan dan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Rencana pemerintah ini menuai penolakan masyarakat lokal. Pegawai pemerintahan dan aparat keamanan yang datang untuk melakukan pengukuran lahan mengalami bentrok dengan masyarakat. Masyarakat dan jurnalis mengalami luka-luka karena kekerasan aparat. Beberapa orang lainnya bahkan tidak sadarkan diri. Prihatin dengan ketidakadilan dan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, penulis berusaha untuk menganalisis peristiwa ini dalam pandangan filsafat politik J. J. Rousseau, khususnya konsep mengenai kontrak sosial dan kehendak umum yang dibahas dalam buku Orang-Orang Kalah karya Charles Beraf.
Kehendak Umum?
Sebagaimana yang diungkapkan Charles Beraf, Rousseau dalam Kontrak Sosial-nya menekankan bahwa kehendak umum rakyat harus menjadi hal yang utama dalam penyelenggaraan negara. Pemerintah hanya menjalankan apa yang menjadi kehendak umum rakyat. Dalam peristiwa Poco Leok, jelas tergambar bagaimana pemerintah bertindak sewenang-wenang. Pemerintah mengabaikan kehendak umum warga Poco Leok yang menuntut adanya keadilan bagi mereka seraya meminta penghentian proyek ini agar keberlangsungan hidup mereka tetap terjaga. Warga Poco Leok yang mayoritas petani berisiko kehilangan lahan mereka. Air bersih akan menjadi langka. Belum lagi gas bumi yang keluar dan terhirup berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Ini jelas bukan kehendak rakyat, melainkan kehendak segelintir orang yang mencari untung di atas penderitaan rakyat.
Warga Poco Leok sama sekali tak terdengar suaranya. Rintihan dan jeritan agar pemerintah benar-benar memperhitungkan hal ini dibungkam paksa oleh kekejaman para aparat. Seolah-olah mereka hanyalah kerikil-kerikil kecil yang perlu dibersihkan untuk memuluskan proyek pemerintah. Ini menggambarkan bagaimana warga Poco Leok sama sekali tidak dilibatkan dalam proyek ini. Suara mereka tidak didengar dalam pengambilan keputusan. Padahal dalam konsep kedaulatan rakyat menurut Rousseau mewajibkan dua prasyarat penting. Pertama, menolak wewenang yang tidak berasal dari rakyat. Kedua, segala kekuasaan harus identik dengan kehendak rakyat.
Dua Prinsip
Lalu, apa yang menjadi kehendak rakyat itu? Bagi Rousseau, kehendak umum ditekankan dalam dua hal berikut. Pertama, “come from all”. Kehendak umum dicapai lewat partisipasi aktif setiap anggota masyarakat. Kehendak umum tidak berdiri sendiri, melainkan keterkaitan antara kehendak individu dan kehendak bersama. Kedua, “apply for all”. Kehendak umum berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Kehendak yang asal-asalan hanya akan menciptakan sistem prosedural semata, tetapi tidak memperhitungkan efek kontinuitas. Kontinuitas artinya semangat berkelanjutan untuk semua masyarakat, di mana keadilan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam persoalan pengembangan dan perluasan PLTP Poco Leok, program ini tidak menggambarkan prinsip-prinsip penting kehendak umum. Rencana ini jelas bukan dari masyarakat lokal. Jika iya, dengan menggunakan alasan untuk kebaikan bersama (bonum commune) pemerintah pasti melibatkan suara-suara minoritas. Jika ini benar-benar “come from all” tentunya mereka akan bersedia mendengarkan suara-suara masyarakat lokal yang dalam segala kesederhanaannya menolak proyek ini.
Baca juga:
- Jerat Kuasa Ekonomi Politik Elite dan Pembangunan Pro Warga
- Akankah Mandailing Natal Seperti Lapindo?
- Ekspor Pasir Laut: Ancaman untuk Lingkungan dan Masyarakat Pesisir
Kehendak masyarakat lokal sebenarnya secitra dengan “apply for all”. Alam yang tetap terjaga dan lestari karena tidak dirusakkan oleh pengeboran lebih menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Mereka tidak lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan ancaman kemiskinan, karena proyek ini berpotensi besar menghancurkan mata pencaharian mereka sebagai petani. Pelestarian alam ini pun jauh lebih bernilai untuk masyarakat Poco Leok dan anak cucu mereka nantinya dibandingkan keuntungan jangka pendek yang pasti hanya dinikmati segelintir orang. Proyek geothermal ini sesungguhnya bukanlah bagian dari “apply for all”, sebab kekerasan yang dilakukan aparat menjadi indikasi bahwa program PLTP Poco Leok hanya berpihak pada yang berkuasa. Tampaknya, “apply for all” dalam proyek geothermal ini hanyalah topeng yang melindungi kebusukan mereka. Topeng yang mengelabui orang-orang sederhana untuk kemenangan mereka yang kaya, culas, dan berkuasa.
Penolakan warga Poco Leok terhadap proyek geothermal dan penindasan yang mereka alami merupakan gambaran nyata ketika suara masyarakat diabaikan pemerintah. Rousseau menekankan dua prinsip penting, yakni “come from all” dan “apply for all”. Namun, realitas yang dihadapi “come from us” dan “advantage for us”. Keputusan diambil mereka yang berkuasa, suara yang lemah ditutup dengan paksa. Kekejaman jadi senjata yang menakutkan. Membungkam mereka yang berani berbicara. Ketika kaum elite mencari untung, kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam jadi tumbal. Penderitaan ini tak akan pernah usai, keadilan tak akan pernah terwujud, dan jeritan mereka yang kalah akan terus bergaung ketika kebijakan hanya dikendalikan oleh segelintir pihak. (*)
Editor: Kukuh Basuki
It’s very good reading. I really love it.
Thank you