Mahasiswa Sosiologi Univ. Airlangga

Kelangkaan Gas LPG 3 Kg dan Politik “Pahlawan”

jihan adila rahmi

3 min read

Kelangkaan gas LPG 3 kg menuai protes dari kalangan masyarakat. Hal ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa pemerintah menerapkan aturan yang minim riset dan tidak peka terhadap realitas sosial. Seperti yang kita tahu, gas LPG 3 kg termasuk kebutuhan pokok masyarakat menengah ke bawah. Wajar apabila pembatasan peredarannya oleh pemerintah menimbulkan kegaduhan dan kecaman. Kelangkaan ini jelas menyesengsarakan rakyat kecil. Ironisnya, setelah kekisruhan memuncak, pemerintah kemudian muncul sebagai “pahlawan” yang siap menyelamatkan situasi.

Setelah masyarakat marah, akhirnya terungkap bahwa kebijakan ini berasal dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia—bukan kebijakan dari Presiden Prabowo seperti yang dikatakan oleh Sufmi Dasco. Namun, persoalannya bukan hanya siapa yang bertanggung jawab, melainkan mengapa kebijakan seperti ini bisa lahir tanpa perhitungan yang matang. Lebih jauh lagi, mengapa Presiden membiarkan menteri-menterinya membuat kebijakan tanpa riset yang memadai? Dan yang lebih mengkhawatirkan, mengapa pola ini terus berulang dalam pemerintahan?

Pola Kekacauan yang Berulang

Dalam beberapa waktu terakhir, pola tertentu tampak berulang dalam kebijakan pemerintah, terutama ketika sebuah keputusan kontroversial menciptakan polemik di masyarakat. Skema ini kerap dimulai dengan pemerintah (seorang menteri, misalnya) mengeluarkan kebijakan yang bermasalah. Kebijakan ini sering kali tidak berbasis data yang kuat, minim kajian mendalam, serta kurang melibatkan pemangku kepentingan yang terdampak. Akibatnya, keputusan tersebut menimbulkan reaksi keras dari masyarakat.

Ketika kebijakan mulai diberlakukan, publik yang merasa dirugikan segera bersuara. Kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga tokoh politik mulai menyoroti dampak negatif yang ditimbulkan. Perbincangan di media sosial pun memanas, menyulut gelombang protes dan kritik. Tekanan politik yang semakin meningkat membuat kebijakan tersebut berada dalam sorotan luas, memaksa pemerintah untuk merespons situasi yang berkembang.

Baca juga:

Dalam fase inilah, biasanya muncul seorang tokoh politik dari dalam pemerintahan yang mengambil peran sebagai “penyelamat.” Pemerintah, melalui figur tertentu, akhirnya membatalkan, menunda, atau merevisi kebijakan tersebut. Sosok yang tampil di garda depan kemudian memperoleh citra sebagai pemimpin yang responsif, peduli terhadap rakyat, dan memiliki keberanian untuk mengoreksi kebijakan yang tidak populer.

Dalam kasus kebijakan LPG 3 kg, pola ini kembali terlihat dengan jelas. Prabowo Subianto, yang kini menjabat sebagai presiden, kembali memainkan peran sebagai figur yang berpihak pada rakyat kecil. Ketika kebijakan terkait LPG bersubsidi memicu kontroversi dan keresahan di masyarakat, Prabowo muncul dengan pernyataan bahwa kepentingan rakyat harus diutamakan. Dengan posisi tersebut, ia memperkuat citranya sebagai sosok yang mampu menampung aspirasi publik.

Sejak merapat ke pemerintaha pasca-Pilpres 2019, Prabowo kerap memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat kecil, terutama dalam kebijakan-kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat luas. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat popularitasnya, tetapi juga menjadikannya figur yang mampu meredam ketidakpuasan publik terhadap keputusan pemerintah. 

Menteri Tidak Kompeten dan Dinamika Politik di Baliknya

Fenomena penunjukan menteri yang tidak kompeten dalam kabinet juga sering terjadi dan mengundang pertanyaan, terutama ketika kebijakan yang mereka buat justru menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat. Dalam kasus Bahlil Lahadalia, misalnya, kebijakan terkait LPG 3 kg yang kurang berbasis riset dan minim konsultasi dengan pemangku kepentingan menjadi sorotan.

Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih besar: Bagaimana seorang menteri bisa begitu tidak kompeten dalam posisinya? Lebih buruk lagi, masalah minimnya riset ini terulang lagi, memperlihatkan adanya kelemahan yang jelas dalam proses pengambilan kebijakan.

Dalam sistem politik Indonesia, kita tahu bahwa posisi menteri tidak selalu diisi oleh orang-orang dengan keahlian teknokratis yang mumpuni. Sebaliknya, pemilihan menteri sering kali lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik, di mana loyalitas dan kontribusi terhadap kemenangan pemilu menjadi faktor utama dalam penentuan jabatan.

Sosok seperti Bahlil, yang memiliki peran aktif dalam mendukung pemenangan Jokowi dan Prabowo, kemungkinan besar dipilih bukan karena keahliannya dalam mengelola kebijakan investasi dan ekonomi rakyat, melainkan karena posisinya dalam jaringan politik yang berkuasa.

Selain faktor politik, lemahnya mekanisme pengawasan dalam pemerintahan juga berkontribusi terhadap berjalannya kebijakan yang bermasalah. Dalam sistem yang ideal, setiap kebijakan yang berdampak besar terhadap masyarakat seharusnya melewati serangkaian kajian akademik, riset mendalam, serta konsultasi dengan para ahli dan pemangku kepentingan terkait.

Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan yang justru lahir tanpa proses evaluasi yang ketat. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam sistem check and balance di internal pemerintahan, di mana keputusan-keputusan strategis bisa tetap berjalan meskipun memiliki konsekuensi negatif bagi masyarakat luas.

Baca juga:

Lebih jauh lagi, jika pola ini terus berulang, tidak menutup kemungkinan bahwa ada unsur kesengajaan dalam setiap kebijakan kontroversial yang muncul. Kekacauan yang ditimbulkan dari kebijakan yang buruk bukan sekadar akibat dari ketidakmampuan seorang menteri, tetapi bisa jadi merupakan strategi politik tersendiri. Dengan membiarkan kebijakan yang bermasalah diimplementasikan, pemerintah memiliki ruang untuk mengontrol narasi politik dan mengambil keuntungan dari solusi yang mereka tawarkan di kemudian hari.

Dampak

Kebijakan publik idealnya berorientasi pada realitas sosial dan didasarkan pada riset yang komprehensif. Jika tidak, dampak sosial yang muncul bisa sangat serius.

Pertama, pola politik semacam ini dapat memperkuat depolitisasi masyarakat. Rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik secara keseluruhan. Kebijakan yang dibuat tanpa kajian mendalam dan hanya untuk kepentingan citra akan membuat publik merasa kebijakan tidak benar-benar berpihak pada mereka, melainkan sekadar bagian dari permainan kekuasaan. Akibatnya, partisipasi politik menurun, masyarakat menjadi apatis, dan demokrasi hanya menjadi sekadar ritual tanpa substansi.

Kedua, strategi politik “pahlawan” dalam kebijakan yang tidak matang juga memperkuat budaya patronase. Dalam sistem ini, pemimpin tidak dilihat sebagai pelayan publik yang bertanggung jawab atas kebijakan sejak awal, melainkan sebagai figur yang muncul sebagai “penyelamat” setelah kebijakan yang gagal tersebut menimbulkan protes publik.

Ketiga, dampak paling nyata adalah hilangnya hak ekomonomi masyarakat yang akan berdampak terhadap kesejahteraan mereka. Jika pola semacam ini terus berulang, pemerintah akan kehilangan legitimasi di mata publik, sementara ketimpangan sosial-ekonomi semakin sulit diatasi.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengubah cara kerja kebijakan publik dengan menempatkan riset, data, dan konsultasi publik sebagai dasar utama pengambilan keputusan. Tanpa adanya hal tersebut, kita akan terus melihat siklus yang sama: kebijakan yang gagal, kegaduhan publik, dan “pahlawan” dadakan yang justru memperburuk kualitas demokrasi di negeri ini.

 

 

Editor: Prihandini N

jihan adila rahmi
jihan adila rahmi Mahasiswa Sosiologi Univ. Airlangga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email