Isu lingkungan menjadi perbincangan yang masih sering dikulik hingga hari ini. Sumber daya alam yang terbatas kian tergerus yang entah kapan akan menjumpai titik akhirnya. Mulai dari permasalahan kerusakan lingkungan hingga dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat sekitar.
Jika menilik lebih dalam, tentu hal ini tidak lepas dari perilaku berbagai entitas korporat yang menjalankan aktivitas operasionalnya. Misalnya saja, data yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021 menunjukkan timbulan limbah B3 mencapai 60 juta ton dengan sektor manufaktur (2.897 industri) yang paling banyak memroduksi limbah B3. Bisa dibayangkan bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat jika limbah sebanyak itu dibiarkan tanpa pengelolaan yang baik. Lebih lanjut, data KLHK tersebut menyatakan bahwa dari keseluruhan limba B3 yang dihasilkan hanya sekitar 22,5% (13,6 juta ton) yang telah dimanfaatkan. Lantas bagaimana dengan sisanya? Berharap ada penanganan serius terkait hal itu baik dari internal perusahaan maupun peran pemerintah sebagai regulator.
Berangkat dari keresahan tersebut, terbesit dalam benak saya tentang salah satu sudut pandang terkait bagaimana aktivitas ekonomi itu seharusnya dijalankan. Ekonomi humanistik yang berorientasi pada kesejahteraan seluruh masyarakat. Tidak bisa dinafikan bahwa tujuan didirikannya suatu entitas perusahaan utamanya untuk menghasilkan keuntungan sebesar-sebesarnya yang tentu saja demi kesejahteraan pihak perusahaan terutama bagi shareholders.
Namun perlu diingat bahwa lingkungan di mana perusahaan beroperasi bersentuhan erat dengan kelompok masyarakat, sehingga aktivitas perusahaan tidak terlepas dari bagaimana mereka melakukan upaya dalam melegitimasi posisinya di lingkungan tersebut agar diterima dengan sah oleh masyarakat. Paling umumnya dengan melaksanakan corporate social responsibility (CSR). Ironinya, kita masih sering melihat banyak berseliweran berita terkait dampak buruk dari aktivitas perusahaan.
Kita sangat menghargai upaya berbagai perusahaan untuk melaksanakan program CSR, perusahaan tidak saja fokus pada pencapaian finansial, tetapi berkomitmen memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat, lingkungan dan pemangku kepentingan. Upaya ini tidak lain dilaksanakan dengan berdasar pada prinsip-prinsip etika, pemberdayaan masyarakat dan konsep berkelanjutan. Sejatinya hal tersebut cukup membantu bagi masyarakat entah bentuknya berupa beasiswa, penyelenggaran program pendidikan, kesehatan, pelatihan dan bantuan teknis, serta berbagai program lainnya.
Namun kita tidak bisa menutup mata begitu saja bahwa dengan penyaluran berbagai program tersebut tidak serta merta membiarkan beberapa dampak buruk yang mungkin saja tidak dikendalikan oleh perusahaan. Bukan ingin berprasangka buruk, hanya saja sebagai masyarakat seyoginya bersikap kritis jika terdapat ketidaksesuaian perusahaan beroperasi. Jangan sampai program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan hanya upaya untuk memoles citra untuk tetap mempertahankan legitimasinya.
Sangat penting bagi perusahaan untuk terus mengevaluasi dampak dari aktivitas operasinya. Melihat dari paradigma ekonomi humanistik, perusahaan tidak hanya berfokus pada pencapaian finansial, tetapi turut mempertimbangkan prinsip dan nilai-nilai etika dalam menjalankan aktivitas ekonomi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Jika ditelaah dan dilakukan perbandingan seberapa besar upaya yang dilakukan oleh perusahaan dengan dampaknya terhadap lingkungan?
Baca juga:
- Ekspor Pasir Laut: Ancaman untuk Lingkungan dan Masyarakat Pesisir
- Absennya Marxisme dalam Perdebatan Etika dan Moral Lingkungan Hidup
- Isu Lingkungan di Tangan Perempuan
Berangkat dari pertanyaan tersebut kita sebagai masyarakat seyogianya tetap bernalar kritis dalam merespons dampak dari aktivitas perusahaan. Sangat menggugah semangat ketika melihat aktivis lingkungan dan kelompok masyarakat yang konsisten dan lantang menyuarakan isu-isu terkait kerusakan lingkungan terutama yang disebabkan oleh perusahaan.
Pertobatan Ekologis
Saya teringat saat momen kontestasi pilpres beberapa bulan silam, sebuah ungkapan oleh salah seorang wapres tentang ajakan “tobat ekologis”. Tentu pertobatan itu bersumber dari etika. Mari kita coba telisik beberapa kasus yang terkait.
Saat ini tengah bertebaran berita terkait suku Awyu dan suku Moi yang mendatangi gedung Mahkamah Agung untuk melayangkan gugatan. Jelas bahwa aksi tersebut menggambarkan seberapa besar kekhawatiran masyarakat adat di Papua atas tindakan pemerintah yang mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup kepada perusahaan sawit. Dilansir di laman Tempo izin lingkungan tersebut seluas 36.094 hektar dan berada di hutan adat marga Woro yang sudah turun temurun di suku Awyu.
Nyatanya keresahan ini tidak hanya menyangkut satu perusahaan, tetapi beberapa perusahaan yang sudah beroperasi bahkan akan melakukan ekspansi. Padahal hutan seluas itu memberi begitu banyak penghidupan bagi masyarakat sekitar, lantas jika dibandingkan dengan manfaat dari perusahaan berupa terbukanya lapangan kerja atau seperti program-program CSR yang saya sebutkan di atas, tentu tidak akan sebanding dengan manfaat eksistensi hutan adat tersebut.
Greenpeace, salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga lantang menyuarakan isu ini, mengungkapkan bahwa sawit bukan bukan hutan dan tidak akan menggantikan fungsi hutan. Karena penanaman sawit diawali dengan membabat habis pohon juga sawit ditanam dengan jarak tertentu dan tidak seperti hutan pada umumnya yang rapat pepohonan, alhasil jumlah karbon yang diserap akan lebih sedikit. Dan yang paling krusial, selain menyerap karbon, hutan banyak memberi manfaat di antaranya keanekaragaman hayati yang melimpah, obat-obatan, makanan dan lingkungan untuk pariwisata. Hutan tersebut juga menjadi identitas masyarakat Papua yang terkandung nilai-nilai budaya di dalamnya.
Humanisme Semu
Jika kita melihat fenomena ini dengan kacamata ekonomi humanistik, kita mempertanyakan di mana letak nilai-nilai humanis dalam aktivitas operasi perusahaan jika pada kenyataanya dari aktivitas tersebut berujung pada menyengsarakan masyarakat sekitar. Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, secara keseluruhan masyarakat Indonesia akan turut merasakannya akibat adanya pembabatan hutan.
Sekali lagi kita perlu refleksikan, memang tidak bisa dipungkiri bahwa adanya perusahaan yang terus berekspansi akan memperluas peluang lapangan pekerjaan. Namun itu tidak sebanding dengan UMKM yang menurut Kementerian Keuangan mampu membuka lapangan pekerjaan kurang lebih 100 juta orang Indonesia. Sehingga sangat tidak rasional merelakan hutan yang sudah jelas memberi banyak manfaat.
Para elit korporat perlu bercermin atas apa yang mereka lakukan. Memang sulit jika kapitalisme itu sudah mandarah daging. Bukan saja pihak korporat yang perlu disoroti, tentu tindakan pemerintah juga harus dievaluasi. Sebab sebagai regulator yang memegang kewenangan atas kebijakan dan peraturan tidak menepis hak-hak rakyat bahkan mengikis nilai-nilai humanis itu.
Baca juga:
- Absennya Partai Politik dalam Isu Lingkungan
- Nirkomitmen Isu Lingkungan dalam Pemilu 2024
- Agama sebagai Sebab dan Solusi Krisis Lingkungan
Fenomena di atas hanya salah satu dari sekian banyak permasalahan ekologis yang terjadi di negeri ini. Pun sebenarnya masih banyak lagi. Saya pikir banyak pasang mata masyarakat telah menyaksikan kasus-kasus lainnya. Mengikuti isu-isu yang disuarakan oleh Greenpeace, misalnya kasus food estate – tanpa menyangkut pautkan dengan politik – yang jelas ada peran korporasi di situ dan tentu saja kolusi dengan pemerintah dalam penggarapannya. Juga isu terkait salah satu perusahaan di sektor distribusi barang konsumsi, paling banyak memproduksi kemasan sachet menuju 53 miliar tahun ini.
Berlandaskan pada perspektif ekonomi humanistik, entitas perusahaan harus memperhatikan dampak dari aktivitas operasinya terhadap masyarakat. Dari sebuah webinar saya mendapatkan istilahnya ekonomi sirkular, yang fokus pertumbuhan ekonominya dapat meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan. Setiap perusahaan seyogianya dapat menerapkan hal tersebut.
Selain itu pemerintah sebagai regulator harus mempertimbangkan hak-hak rakyat sebelum menerbitkan kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Jangan mimpi mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) terutama pada aspek penanganan perubahan iklim jika tindakan sama sekali tidak mencerminkan upaya mencapainya. Dan tentunya sebagai masyarakat, tetap berupaya mengkritisi dan menyuarakan atas kerusakan lingkungan ini untuk mempertahakan kehidupan yang layak bagi generasi masa depan.
Saya yakin telah banyak perusahaan menggaungkan konsep keberlanjutan, salah satunya dengan melaporkan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola atau ESG dalam bentuk sustainability report. Namun realitanya jauh panggang dari api, sama sekali tidak mencerminkan hakikat konsep keberlanjutan. Atau mungkin saja laporan keberlanjutan itu hanya sekadar eufimisme untuk mempertahakan legitimasi perusahaan? (*)
Editor: Kukuh Basuki