Indonesian Young Leaders Program (IYLP) INSPIRASI 2024 New Zealand

Agama sebagai Sebab dan Solusi Krisis Lingkungan

Andi Alfian

2 min read

Di tengah krisis lingkungan, peran agama sering menjadi bahan perdebatan. Apakah agama, dengan ajaran dan praktik etisnya, menjadi penyebab kerusakan alam? Atau ia justru menjadi penyembuh yang dapat menawarkan solusi? Ketika ormas-ormas keagamaan di Indonesia menerima tawaran untuk mengelola industri pertambangan dan mengotori tangan-tangan mereka, pertanyaan ini kembali menjadi relevan.

Setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 pada 30 Mei 2024 lalu, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, akhirnya resmi menerima tawaran izin usaha pertambangan. Aturan ini merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 dan memungkinan ormas keagamaan untuk mengajukan atau menerima wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari pemerintah untuk dikelola.

Kebijakan ini mencerminkan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap dampak lingkungan yang selama ini dihasilkan oleh industri-industri pertambangan. Pemerintah mengabaikan kenyataan bahwa pertambangan sering kali merusak ekosistem, mencemari sumber daya air, dan memperburuk krisis lingkungan. Pada saat yang bersamaan, ormas-ormas keagamaan, yang seharusnya menjadi agen moral untuk menegakkan keadilan lingkungan, mengabaikan tanggung jawab etis-ekologis mereka. Penerimaan mereka terhadap tawaran izin pertambangan jelas mengecewakan.

Baca juga:

Agama sebagai Sebab

Partisipasi ormas-ormas keagamaan dalam industri pertambangan menegaskan kembali tesis Lynn White Jr 57 tahun yang lalu. Dia menyatakan bahwa agama adalah akar dari krisis ekologis yang kita hadapi. Lewat tulisannya berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis,” Lynn White menerangkan bahwa krisis lingkungan di era modern memiliki akar historis yang terkait erat dengan pandangan dunia Kristen Barat, khususnya pandangan tentang alam sebagai “ciptaan” yang boleh dimanfaatkan seenaknya tanpa batas. Lynn White berargumen bahwa ajaran teologis Kristen Barat yang menafsir manusia sebagai “penguasa” telah memicu eksploitasi lingkungan secara berlebihan. Kiwari, ajaran teologis-antroposentris serupa ditemukan dalam agama-agama yang lain.

Apa yang diutarakan oleh Lynn White pada dasarnya berangkat dari tesis bahwa agama adalah salah satu paradigma yang signifikan membentuk sikap manusia terhadap alam. Lynn White di artikelnya itu menekankan:

“What people do about their ecology depends on what they think about themselves in relation to things around them. Human ecology is deeply conditioned by beliefs about our nature and destiny—that is, by religion.”

Apa yang kita lakukan terhadap lingkungan bergantung pada pemahaman kita tentang hubungan diri kita dengan lingkungan sekitar kita. Sederhananya, pemahaman kita tentang alam sangat ditentukan oleh bagaimana kita menghayati agama.

Dalam konteks inilah, Lynn White berkeyakinan bahwa akar historis dari krisis ekologis yang kita hadapi hari ini tidak terlepas dari ajaran agama yang antroposentris yang mula-mula digaungkan oleh Kristen Barat. Ajaran antroposentris ini menghasilkan saintis-saintis yang mendesakralisasi alam. Alam dipandang sekadar sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa batas untuk kepentingan manusia, sehingga muncullah apa yang disebut oleh Lynn White sebagai ecologic crisis (krisis ekologi). Dengan demikian, sebagai sebab, agama mestinya bertanggung jawab atas apa yang telah disebabkannya. Seperti kata Lynn White, “Christianity bears a huge burden of guilt” atau “Kekristenan mestinya memikul beban rasa bersalah yang amat besar” atas apa yang telah dihasilkannya.

Agama sebagai Solusi

Meski kritik terhadap agama tak terhindarkan, beberapa pemikir agama dan lingkungan optimis pada potensi agama sebagai solusi, bahwa ajaran religius bisa menjadi kompas bagi kita untuk menghadapi krisis ini. Seyyed Hossein Nasr, filsuf dan teolog Islam, misalnya, dalam karyanya “Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man,” menekankan pentingnya kembali pada nilai spiritual dalam upaya melestarikan alam. Nasr berargumen bahwa ajaran Islam menawarkan pandangan hidup yang harmonis antara manusia dan alam. Gagasan serupa sebetulnya dapat ditemukan pada akar ajaran setiap agama-agama dunia. Cara berpikir modern-kapitalistik-antroposentris-lah yang merusak fitrah agama yang sejatinya mengajarkan hidup harmonis dengan alam.

Baca juga:

Gagasan ini sejalan dengan apa yang ditawarkan oleh Lynn White yang, setelah mengkritik agama Kristen Barat habis-habisan, menyatakan bahwa, “since the roots of our trouble are so largely religious, the remedy must also be essentially religious.” Karena sejak awal akar masalahnya adalah bersifat religius, maka obatnya pun pada dasarnya harus bersifat religius.

Lynn White juga mengingatkan bahwa “more science and more technology are not going to get us out of the present eco-crisis until we find a new religion or rethink our old one.” Ini menunjukkan bahwa solusi untuk krisis lingkungan tidak semata-mata terletak pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi pada pencarian baru atau peninjauan kembali nilai-nilai agama yang kita hayati.

Untuk menjadikan agama sebagai solusi, belajar dari Lynn White dan Seyyed Hossein Nasr, ada tiga hal yang setidaknya bisa kita lakukan terhadap ajaran dan praktik agama yang antroposentris. Pertama, penemuan kembali, yakni upaya untuk kembali ke tradisi awal agama yang harmonis dengan lingkungan. Kedua, reformasi, yakni upaya untuk menerjemahkan ulang tradisi ekologis yang kita punyai dalam ajaran agama untuk menjadi kontekstual di masa krisis. Ketiga, penggantian, yakni mencari agama baru yang lebih ramah lingkungan. Jika tidak bisa ketiganya, haruskah kita meninggalkan agama demi lingkungan?

Andi Alfian
Andi Alfian Indonesian Young Leaders Program (IYLP) INSPIRASI 2024 New Zealand

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email