Narasi politik menjelang pemilu yang tinggal kurang beberapa bulan lagi masih berkutat pada topik tokoh dan koalisi. Siapakah tokoh yang diusung partai A hingga partai manakah yang sukses bikin mars agar masyarakat mudah mengingatnya. Partai politik seolah menjadi agensi artis yang sibuk mencari potensi untuk segera dibintangkan sebagai “wajah” partainya.
Jarang sekali partai politik mengangkat narasi permasalahan publik. Kalau pun ada, polanya sudah khatam dipahami masyarakat—berulang tanpa ada pengaruh yang berarti, terutama untuk isu ekonomi pembangunan berbasis infrastruktur dan isu agama dalam politik identitas. Anehnya, jarang sekali ada partai politik yang menggunakan narasi politik hijau alias mengangkat isu lingkungan. Padahal, isu lingkungan adalah masalah multidimensional yang sedang mencuri perhatian banyak generasi muda.
Baca juga:
Masalah lingkungan bukan hanya perkara sampah. Kebakaran hutan yang semakin meningkat tiap tahunnya, pencemaran sungai yang berpengaruh pada minimnya ketersediaan air bersih, banjir yang merepotkan, hingga krisis iklim nyatanya belum mampu membawa isu lingkungan masuk dalam agenda utama banyak partai politik.
Disfungsi Partai Politik
Bagi generasi muda, partai politik hanyalah wadah untuk memperkuat kepentingan pribadi. Ini bisa dilihat dari bagaimana topik pembicaraan tentang partai politik di media sosial; banyak generasi muda yang terang-terangan me-roasting partai politik melalui tokoh-tokohnya yang selalu memberi statement kocak dan branding yang norak.
Generasi muda yang mendominasi komposisi penduduk Indonesia ini tak dijadikan modal yang kuat untuk mengangkat narasi isu lingkungan dalam aktivitas partai politik. Partai politik seolah tak belajar dari Pemilu 2019 yang, menurut Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), upaya partai politik dalam menciptakan narasi politik berbasis topik lingkungan hidup masih minim dilakukan. Bahkan, dari banyaknya partai politik saat itu, hanya satu yang menyebutkan kata lingkungan dalam dokumen visi dan misinya.
Menjelang Pemilu 2024, hanya ada dua parpol yang sudah “gerak” menunjukkan aksinya dalam bidang lingkungan. Itu pun hanya dilakukan secara seremonial. Misalnya, saat perayaan HUT partai atau saat hari lingkungan hidup. Pada perayaan HUT ke-48, Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum PDIP, menyeru kadernya untuk peduli terhadap lingkungan hidup. Di acara itu pula, Mega meresmikan gerakan penghijauan dan gerakan bersih sungai yang wajib dilakukan oleh seluruh kader partai. Namun, lagi-lagi, aksi mereka melakukan komunikasi politik tak memperlihatkan keseriusan terhadap masalah lingkungan dalam agenda politik utama partai.
Isu lingkungan yang diangkat oleh segelintir partai politik hanya komoditas yang tidak mempertegas fungsi parpol sebagai alat komunikasi politik. Dalam pengantar buku Ilmu Politik dalam Negara Demokrasi, yang dimaksud dengan fungsi komunikasi politik adalah fungsi parpol sebagai penjaga arus informasi dari pemerintah ke masyarakat, juga menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga telah dijelaskan bahwa partai politik berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat.
Di Indonesia, isu lingkungan masih digerakkan oleh kelompok masyarakat dan aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi. Sementara itu, di ranah individu, kita mengenal Farwiza Hasan yang concern dalam isu konservasi dan perlindungan hutan atau Budi Pego yang malang-melintang sebagai aktivis antitambang asal Banyuwangi. Padahal, di sejumlah negara, isu lingkungan juga diperjuangkan oleh partai politik, khususnya partai hijau (green party). Di Jerman, ada partai Die Grunen yang beraksi dengan menutup reaktor nuklir hingga menjadi partai terbesar kedua yang menduduki koalisi parlemen Jerman.
Baca juga:
Lingkungan No, Oligarki Yes
Dalam penelitian berjudul Dominasi Oligarki dan Ketidakhadiran Partai Politik Hijau di Indonesia, dijelaskan bahwa cawe-cawe oligarki mendominasi penyelesaian konflik lingkungan. Alhasil, masalah lingkungan dan banyaknya konflik yang menyertainya selalu berakhir dengan kriminalisasi dan upaya ganti rugi yang tak terbayarkan. Penyelesaian konflik lingkungan dengan tekanan dan keuntungan sesaat adalah bentuk kekuasaan berdasarkan kepentingan segelintir orang, bukan kepentingan publik.
Entah bagaimana Pemilu 2024 nanti. Akankah masih berisik dengan buzzer yang mempermasalahkan perbedaan keyakinan atau tidak belajar dari banyaknya kematian petugas pemilu seperti yang terjadi pada 2019 lalu?
PR-mu banyak parpol! Kalau sibuk terus-terusan cari calon, mending jadi agensi pencarian bakat, aja!
Editor: Emma Amelia