Penulis

Guru Kencing di WA, Murid Kencing di Metaverse

Amy Djafar

2 min read

Saat angka melek digital di Indonesia masih terbilang rendah, pemerintah melalui Menteri BUMN, Erick Tohir, meminta sejumlah BUMN sektor telekomunikasi, mulai menggarap proyek rancana proyek bisnis dunia digital (Metaverse). Sungguh sebuah ironi, bukan?

Pertumbuhan digital yang sangat masif memang tak bisa ditolak. Jika memang pembangunan Metaverse telah menjadi tujuan, harusnya perbaikan pendidikan harus segera dikejar. Apalagi, peran perangkat digital akan menjadi salah satu instrumen penting, dalam proses belajar mengajar. Pandemi telah memaksa setiap institusi pendidikan untuk memanfaatkan perangkat digital dalam kegiatan belajar mengajar. Dan terbukti, SDM pendidik di Indonesia belum siap.

Berkaca pada proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau secara daring, selama masa Pandemi Covid-19, ternyata muncul banyak masalah baru akibat ketidaksiapan tenaga pendidik. Meski sebenarnya tenaga pendidik juga ingin belajar lebih dalam, tapi dibutuhkan pelatihan khusus untuk mempelajari semuanya. Akibatnya, ada pengajar yang mengaku hanya menggunakan Whatsapp dalam mentransfer ilmu. Sebab hanya itulah aplikasi dalam perangkat digital, yang telah lama dikuasai. Sebagian juga memberikan tugas dengan cara mengumpulkan lewat email.

Aplikasi Whatsapp, kemudian menjadi penopang utama kegiatan belajar mengajar sekaligus zona nyaman. Sementara, aplikasi belajar langsung, seperti perangkat Zoom, Loom, Slack, Google Meet, Google Form, dan berbagai perangkat yang bisa digunakan, tak banyak yang tahu. Hal ini menandakan, kesiapan SDM belum memadai untuk memasuki era digital apalagi untuk ramai-ramai beranjak ke Metaverse.

Sudah seharusnya, sebelum memasuki sebuah program seperti dunia digital, perlu menyiapkan SDM terlebih dahulu. Apalagi, generasi saat ini, banyak yang dengan mudah belajar mengenai dunia digital, dengan banyaknya perangkat. Jangan sampai, SDM peserta didik lebih siap, dibanding SDM pendidik.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada April 2021 menyebutkan, 60 persen guru di tanah air masih memiliki kemampuan terbatas dalam menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Meski memang, Kemendikbud telah melaksanakan beberapa upaya, tapi dibutuhkan upaya lebih keras untuk mengentaskan masalah 60 persen itu. Bahwa tenaga pendidik, tak hanya diberikan pengetahuan pemanfaatan mesin pencari, tetapi juga menggunakan perangkatnya dan mentransfernya pada siswa.

Mungkin perlu juga untuk menengok langkah yang dilakukan negara tetangga. Pemerintah Singapura menerapkan program Code For Fun (CFF) untuk mencetak lebih banyak banyak talenta digital guna menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Karena itu, seluruh siswa sekolah dasar di Singapura akan membpelajari pemograman alias coding mulai 2020 lalu.

Jika Indonesia belum bisa menyasar siswa SD seperti yang dilakukan negara tetangga, setidaknya SDM tenaga pendidik harus disiapkan dengan baik. Apalagi, sesuai kurikulum 2013 yang menekankan tentang pentingnya penerapan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebelum ke tingkat perguruan tinggi, kesiapan siswa melalui materi dari guru yang memiliki SDM digital baik, tentunya akan berdampak pada jangka panjang.

Selain itu, berdasarkan data dari Pusdatin Kemendikbud.go.id, per Agustus 2020, sebanyak 19 persen satuan pendidikan masih kesulitan mendapatkan akses internet. Dari jumlah itu, ada 42.159 sekolah yang memang belum terakses internet. Sementara 175.356 sekolah yang sudah tersambung internet (80 persen). Dengan demikian, perbaikan dan kesiapan jaringan juga harus didukung dengan baik di bidang pendidikan.

Bagaimana mungkin membangun Metaverse demi perekonomian nasionala kalau masih banyak guru dan sekolah yang tak bisa mengakses internet?

Pertengahan Januari 2022 ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerja sama dengan Google News Initiative memberikan Training of Trainers (TOT) Literasi Digital untuk akademisi di wilayah Indonesia tengah dan Timur. Materi yang disampaikan berupa mengenali informasi digital, mis-dis informasi, jurnalisme digital, verifikasi informasi digital, pengetahuan serta tools keamanan digital. Dari pelatihan itu terlihat betapa masih timpangnya penguasaan teknologi dalam masyarakat. Kabar baiknya adalah, dukungan untuk membangun literasi digital juga hadir dari pihak di luar pemerintah.

Era digital memang butuh dukungan dan kolaborasi semua pihak. Bukan semata menjual jargon atau mimpi bombastis melainkan langkah nyata untuk menyiapkan pondasi. Dan pondasi itu adalah guru-guru yang melek literasi digetal, yang bisa mengajarkan pada murid-muridnya dan menyiapkan generasi baru Indonesia yang siap memasuki Metaverse.

Amy Djafar

One Reply to “Guru Kencing di WA, Murid Kencing di Metaverse”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email