Tahun 2023 menjadi momentum tepat untuk memulai perubahan dalam dunia pendidikan. Ada banyak resolusi yang bisa direncanakan, ditulis, dan dikembangkan. Namun, opsi resolusi yang paling penting adalah bagaimana mengubah pola pembelajaran kompetitif menjadi kolaboratif.
Dilansir dari Kompas, Dosen dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Putera Manuaba, menyatakan, “Kita telah melampui era kompetitif, dan sudah meningkat pada era kolaborasi.”
Era kolaborasi adalah sebuah konsep di mana individu atau organisasi bekerja sama secara terpadu untuk mencapai tujuan bersama. Era kolaborasi dianggap sebagai era baru, orang-orang bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan yang lebih besar sambil mempertimbangkan kepentingan masing-masing.
Era kolaborasi dapat terjadi di berbagai bidang, mulai dari bisnis, pendidikan, hiburan, keagamaan, ilmu pengetahuan, hingga kegiatan sosial. Intinya, kolaborasi memiliki ruang luas dan fleksibel. Kolaborasi dapat terjadi antara individu atau organisasi yang memiliki tujuan sama atau saling melengkapi.
Selain itu, era kolaborasi dianggap sebagai era penuh peluang dan kesempatan untuk bekerja sama. Manfaat paling nyata kolaborasi adalah dapat membantu meningkatkan efisiensi dan inovasi, serta membantu mencapai tujuan yang lebih ambisius.
Kehadiran teknologi seperti Zoom, Google Meet, aplikasi chat, dan sejenisnya memungkinkan konsep kolaborasi berjalan dan terwadahi. Itu sebabnya pola kompetisi kurang relevan untuk dijalani.
Baca juga:
Dari sinilah pendidikan bisa masuk, bersenyawa, serta mengadaptasi konsep kolaborasi pada standar proses dan isinya. Konsep persaingan ala liberal sudah harus ditinggalkan, apalagi model konvensional sentralistik seperti pada zaman kolonial dan Orde Baru.
Kolaborasi dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
Selain pembelajaran berbasis diferensiasi, sodoran utama dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah konsep kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Secara teknis, kegiatan P5 masuk dalam lingkup kokurikuler, bukan intrakurikuler apalagi ekstrakurikuler. Sekolah harus mengerti batas ruang antara intra, koku, dan ekstra agar implementasinya tidak tumpang tindih, memberatkan, hingga salah kaprah.
Intrakurikuler adalah kegiatan inti alias mata pelajaran; kokurikuler adalah kegiatan penguat kegiatan intra dalam ranah karakterisasi; sedangkan ekstrakurikuler adalah kegiatan penunjang bakat dan minat. Dari pengelompokan tersebut, jelas diketahui bahwa P5 adalah kegiatan yang berorientasi afektif atau karakter.
Dalam P5 sendiri terdapat 6 dimensi utama (beriman, mandiri, bergotong-royong, berkebhinekaan, kritis, dan kreatif). Untuk mencapai salah satu dimensi tersebut, model kolaborasi bisa jadi alternatif utama.
Kolaborasi dalam hal ini jangan sampai dipersempit ruangnya sebatas antara siswa, guru, atau lingkungan sekolah, melainkan harus meluas menjangkau komunitas, pabrik, politikus, agamawan, perusahaan, profesional, petani, dan unit-unit aktif lainnya.
Sekolah harus mampu menjangkau dan menerima ruang lingkup itu, sebab akan percuma bila konsep kolaboratif disikapi dalam ruang lingkup yang sempit dan terbatas. Sekolah dikhawatirkan akan kembali terjebak pada gaya sentralistik dan persaingan tertutup.
Misalnya bila sekolah ingin mencapai dimensi beriman. Mengandalkan kehadiran dan identitas guru agama sekolah, bimbingan konseling, hingga wali kelas tidak mungkin cukup, sebab identitas mereka terbatas sebagai guru mata pelajaran. Sedangkan karakterisasi atau nilai afektif adalah perluasan dari sosok yang besar, luas, dan nyata.
Sekolah dalam hal ini bisa mencoba kolaborasi dengan menghadirkan para agamawan, cendekiawan, atau bahkan negarawan lintas agama, membuka ruang dialog, bahkan bila perlu mempertimbangkan kontinuitas materi dalam proses praktiknya. Kalaupun levelnya terlalu tinggi, minimal tokoh agama yang populer di sekitar lingkungan sekolah bisa coba dihadirkan. Langkah seperti itu sudah lebih dari cukup disebut sebagai kolaborasi.
Kemudian, untuk mencapai dimensi mandiri sekolah bisa menghadirkan para pegiat industri kreatif skala UMKM hingga pabrik atau perusahaan. Para praktisi bisnis dan wirausaha tersebut suruh saja mengajari karakter mandiri. Mulai dari bagaimana memulai usaha, bagaimana memahami pasar, bagaimana melihat peluang, dsb.
Konsep praktik bisnis dan usaha ini jelas tidak memungkinkan bila harus diselesaikan di ruang kelas oleh guru ekonomi, prakarya, atau seni budaya. Nilai capaian dimensi mandiri akan gagal tumbuh dan mekar, sebab konsep nyata keterampilan tidak pernah dimasukkan.
Baca juga:
Pada pencapaian dimensi P5 lainnya (gotong-royong, berkebhinekaan, kritis, dan kreatif) juga sama. Sekolah harus menggaet dunia luar di sekitar sekolah dan lingkungan murid tinggal sebagai bentuk kolaborasi. Tidak perlu jauh-jauh, datangi saja tempat di sekeliling sekolah. Tidak perlu melakukan studi banding luar kota yang butuh biaya. Cukup manfaatkan lingkungan sekitar, analisis lingkungan sekitar, petakan ketersediaan unit di sana, sebelum akhirnya membuat ikatan kerja sama.
Praktisnya, buatlah proposal pengajuan kerja sama yang bagus, jujur, dan natural. Dalam banyak kasus, komunitas dan unit aktif lainnya jauh lebih terbuka dan menerima, sebab pada dasarnya mereka juga butuh ruang untuk kampanye keterampilan. Di sinilah kolaborasi menjadi alternatif pada era seperti sekarang ini.
Perlu menjadi kesadaran bersama, bagaimanapun murid adalah subjek hidup bagi sekitarnya. Usahakan ilmu yang didapat tidak terlepas dan berbeda jauh dari lingkungannya tinggal.
Tantangan Kolaborasi
Sekali pun banyak manfaat atas suatu kolaborasi, tantangan atau hambatan pasti juga selalu ada. Tantangan tersebut antara lain masalah komunikasi, koordinasi, kepercayaan, konflik, kepemimpinan, divergensi visi, manajemen waktu, kultur kerja yang berbeda, dan kemampuan teknis.
Tantangan-tantangan tersebut pada dasarnya bisa terselesaikan melalui dialog yang saling berpihak satu sama lain. Titik tengah dalam dialog harus benar-benar disepakati dalam bentuk komitmen. Sekolah dan pihak kolaborator harus saling melengkapi dan menyepakati segala kelebihan dan kekurangan. Di antara mereka tidak boleh lagi ada hierarki identitas dan fungsi. Hanya dengan begitu segala model dan jenis tantangan dalam kolaborasi lebih mudah terselesaikan dan terjalin.
Editor: Prihandini N