Dunia kita saat ini boleh dibayangkan sebagai semacam jejaring relasi yang amat kompleks; dunia yang telah terseret jauh oleh gelombang kekuatan globalisasi. Kita telah sampai pada titik “all that is solid melts into air“. Globalisasi, meski pada awalnya dielu-elukan sebagai mekanisme yang menyatukan peradaban, kini menjadi mesin penguasa yang menyebar dan memperkuat ketimpangan di seluruh dunia, melahirkan kembali kekuasaan kolonial dalam rupa yang baru. Globalisasi adalah entitas yang tak kasat mata namun amat nyata; ia tak bisa ditolak, sekaligus tak bisa dipeluk. Sebuah mesin yang, seperti Body without Organsala Deleuze, mendistorsi setiap sistem lokal untuk melayani tujuan ekonomi global yang seragam.
Sebenarnya, Apa yang Terjadi?
Globalisasi bukanlah entitas monolitik yang datang dalam bentuk yang netral atau murni. Pembentukan entitas ini justru melibatkan serangkaian “kekuasaan disipliner” yang tersamarkan dalam jaringan ekonomi, politik, dan teknologi transnasional yang beroperasi dengan logika kapitalistik. Bahkan, dalam kondisi yang diidealkan sebagai “global village“, globalisasi membawa serta sebuah fenomena di mana masyarakat pasca kolonial tidak pernah betul-betul “beranjak” dari bayang-bayang kolonialisme. Dalam konteks ini, hubungan kekuasaan antarnegara dan antarkorporasi transnasional menciptakan sebuah struktur dominasi baru yang bahkan lebih rumit, menyamarkan dominasi lama di bawah ilusi keterhubungan, kebebasan, dan mobilitas.
“Barangkali kolonialisme memang telah berlalu,” begitu Edward Said berkata, namun diskursus Barat yang merumuskan Timur sebagai “yang lain” tidak berhenti pada kolonialisme. Narasi kolonialisme tetap hidup dalam bentuk wacana globalisasi, membentuk episteme yang mendikte bagaimana negara-negara berkembang harus beradaptasi, bagaimana identitas mereka seharusnya diartikulasikan. Negara-negara pascakolonial, seolah dihipnotis oleh janji kemajuan dan modernitas yang semu, secara sistemik diracuni oleh cara pandang yang mengharuskan mereka untuk menerima standardized codes dari globalisasi ini.
Seperti halnya kolonialisme yang mengklaim diri sebagai pembawa pencerahan, globalisasi juga memperlihatkan narasi universal yang menggiring masyarakat dunia pada nilai dan tata ekonomi yang seragam. Lebih jauh lagi, globalisasi berhasil menciptakan menciptakan semacam “ideologi kemajuan” yang berakar pada kapitalisme neo-liberal, yang dalam masyarakat pasca-kolonial diterima sebagai paradigma universal tanpa menimbang konteks sosial-historis lokal.
Baca juga:
Asumsi tentang pasar bebas sebagai prinsip universal, misalnya, membawa dampak sistemik bagi masyarakat lokal, terutama dalam ranah pertanian, akses terhadap lahan, serta tata ruang kota yang sebelumnya didominasi oleh adat istiadat atau sistem ekonomi subsisten. Dalam berbagai kasus, globalisasi telah mendorong masyarakat lokal ke dalam jejaring kapitalis yang menyingkirkan sistem pertukaran kultural, sosial, dan ekologi yang mereka miliki sebelumnya.
Globalisasi dijajakan sebagai konsep yang memfasilitasi keterhubungan yang lebih baik dan akses terhadap pengetahuan yang lebih luas. Namun, di balik janji akan kemakmuran, terdapat stratifikasi yang jelas dalam akses terhadap kekayaan dan sumber daya, yang lebih sering disalurkan ke negara-negara maju. Negara-negara pasca-kolonial sering menjadi laboratorium untuk eksperimen kapitalisme neoliberal yang diimpor dari Barat dan dipaksakan oleh kebijakan ekonomi global.
Dalam konteks ini, negara-negara pasca-kolonial sering kali menjadi produsen komoditas murah yang menopang gaya hidup konsumtif di belahan dunia lain, sementara kondisi pekerja dan standar hidup rakyatnya tetap jauh dari ideal. Seolah-olah dalam sistem dunia modern, negara-negara perifer ditakdirkan untuk terus berada dalam subordinasi atas negara-negara inti; bukan hanya melalui kekuasaan politik tetapi juga melalui ketergantungan ekonomi, budaya dan ideologis. Fenomena seperti ekspansi pasar, perjanjian perdagangan bebas, dan investasi internasional hanyalah alat baru untuk menaklukkan “wilayah-wilayah tak berdaya” dengan janji-janji neoliberal. Maka, budaya lokal dan segala bentuk resistensi dilucuti maknanya oleh kekuatan pasar yang melahap, mengomodifikasi, dan meratakan segala bentuk diferensiasi yang dianggap tidak kompatibel.
Proyek globalisasi, dengan demikian, adalah upaya untuk mendikte dan “mendisiplinkan” identitas budaya masyarakat pasca-kolonial ke dalam kerangka neoliberal yang berorientasi pada produktivitas dan efisiensi—di bawah kendali negara-negara Utara.
Implikasi Globalisasi terhadap Budaya, Identitas dan Hibriditas Kultural
Dalam wacana ini, kebudayaan tidak hanya menjadi entitas pasif yang tertahan dalam ruang di hadapan dominasi, tetapi juga menjadi objek yang diambil alih, didaur ulang, dan dihadirkan kembali dalam bentuk yang dapat dijual. Identitas lokal yang dulunya bermakna kini direduksi menjadi “eksotika yang terjangkau,” dan budaya tradisional yang dulu penuh spiritualitas dipermainkan oleh industri pariwisata dan konsumsi kultural. Hingga pada titik ini, apa yang terlihat adalah bentuk lain dari kolonialisme, di mana identitas dan keberadaan masyarakat pascakolonial dibentuk kembali oleh pandangan luar yang melihat mereka sebagai objek estetis, bukan sebagai subjek sejarah.
Di sisi lain, masyarakat poskolonial dihadapkan pada tekanan untuk menerima dan beradaptasi dengan budaya dan nilai-nilai yang sering kali bertentangan dengan warisan dan sistem nilai mereka sendiri, yang pada akhirnya mengubah tatanan sosial dan struktur identitas mereka. Selain itu, mekanisme budaya global melalui film, musik, dan media sosial menjadi kanal utama yang terus mengekspansi nilai-nilai dari pusat kekuasaan ke pinggiran, meminggirkan budaya lokal menjadi objek komodifikasi.
Baca juga:
Salah satu dampak dari globalisasi terhadap masyarakat pasca-kolonial adalah terciptanya identitas yang hibrid, yang memadukan unsur-unsur lokal dan global. Identitas ini tidak lagi “murni” atau statis, tetapi terus berubah seiring dengan interaksi budaya yang melibatkan berbagai aktor dalam arena transnasional. Homi K. Bhabha menyebut fenomena ini sebagai “hibriditas,” yang merupakan hasil dari kontak dan pertemuan budaya yang tak terelakkan. Hibriditas ini, meskipun tampak ambivalen, sesungguhnya membuka ruang bagi identitas yang dinamis dan fleksibel, meskipun dalam banyak kasus ia juga menjadi arena konflik antara yang lokal dan yang global.
Dalam proses ini, globalisasi tidak hanya menggerus identitas, tetapi juga menciptakan “ruang ketiga” (the third space) tempat berbagai identitas dan nilai-nilai kultural bernegosiasi dan membentuk sesuatu yang baru. Di satu sisi, ruang ini dapat memperkaya masyarakat pasca-kolonial dengan perspektif baru; di sisi lain, ruang ini juga mengandung potensi destruktif, di mana elemen-elemen lokal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai global bisa jadi akan terpinggirkan atau bahkan lenyap.
Masyarakat pasca kolonial, dengan demikian, mengalami alienasi yang berlapis-lapis: selain dari warisan kolonialisme, mereka juga teralienasi dari kebudayaan mereka sendiri yang kini direduksi menjadi komoditas wisata atau merek dagang dalam pasar global. Representasi kebudayaan lokal menjadi sekadar “tanda” yang diperdagangkan, dan dalam proses ini, makna serta signifikansi sejarah budaya menjadi terdistorsi.
Pembunuhan Pengetahuan “Selatan”
Di bawah dominasi globalisasi, konstruk atas pengetahuan adalah bukti bagaimana sebenarnya representasi dunia tidak bebas nilai, tetapi sebagai instrumen kekuasaan. Produksi pengetahuan telah lama dikendalikan oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional yang beroperasi atas nama “pembangunan” atau “kemajuan”. Hal ini mengakibatkan marginalisasi pengetahuan lokal dan praktik tradisional yang dinilai tidak sesuai dengan logika kapitalisme. Boaventura de Sousa Santos, dalam Epistimologies of The South, menyebutnya sebagai “epistemicide,” atau pembunuhan pengetahuan lokal. Hal tersebut terjadi ketika hanya pengetahuan yang dianggap modern, rasional, dan ilmiah (menurut standar Barat) yang diakui dan dijadikan dasar untuk kebijakan global.
Menurut Foucault, setiap masyarakat atau masa memiliki “rezim kebenaran” yang menentukan standar dan batasan bagi apa yang dianggap sah sebagai pengetahuan. Dalam konteks modernisasi dan globalisasi, rezim ini sering ditentukan oleh institusi dan negara-negara dominan yang memperjuangkan bentuk pengetahuan tertentu sebagai “universal” dan “objektif.” Padahal, definisi tersebut sangat subjektif dan sering diwarnai oleh kepentingan politik serta ekonomi yang mendasarinya. Dalam proses ini, berbagai cara pengetahuan lokal dihancurkan, bukan hanya di ranah praktis tetapi juga di ranah ideologi, di mana yang dianggap sebagai pengetahuan valid adalah produk dari “episteme” Barat yang modern.
Ketika pengetahuan lokal dianggap liyan dan diremehkan, masyarakat pengusung pengetahuan tersebut sering kali mengalami ketidakadilan epistemik atau kekerasan epistemik. Ketidakadilan epistemik ini, mengacu pada ketidakadilan yang diterima suatu kelompok berdasarkan prasangka terhadap identitas sosial mereka. Prasangka ini bisa meliputi berbagai faktor, seperti ras, etnis, kelas sosial, hingga keyakinan budaya yang mereka miliki. Dalam masyarakat yang mendahulukan kriteria pengetahuan yang didiktekan oleh kekuatan hegemonik, kontribusi pengetahuan lokal tidak diberi tempat dalam perumusan kebijakan, yang kemudian menghasilkan eksklusi struktural dalam pengambilan keputusan.
Lebih jauh lagi, globalisasi telah mengkondisikan masyarakat pasca-kolonial untuk bergantung pada “pengetahuan teknokratis” yang mengesampingkan perspektif subaltern. Ini adalah bentuk “kolonialitas pengetahuan”, di mana pemahaman lokal tentang lingkungan, kesehatan, atau pertanian digantikan oleh narasi Barat yang menawarkan solusi “universal” tanpa mempertimbangkan konteks spesifik budaya setempat.
Editor: Prihandini N