Fresh graduated Psychology Scholar. Keen to read about feminism, and slowly learning about philosophy.

Merawat Indonesia dengan Nalar, Naluri, Nurani

Kamila El sabilla

2 min read

Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2024, telah lahir Yayasan Nalar Naluri Nurani, yang berfokus pada kesehatan mental, demokrasi, kebudayaan dan lingkungan hidup.

Bertempat di Pinarak coffee and eatery, sepelemparan batu dari UGM, Prof M. Baiquni, Ganjar Pranowo, Okky Madasari, Nazir Fuad dan Nia Sjarifuddin secara resmi meresmikan Yayasan Nalar Naluri Nurani. Dipenuhi oleh peserta dari beragam kalangan, dari mahasiswa, penulis, seniman, dan akademisi, peluncuran Yayasan Nalar Naluri Nurani sangatlah meriah. Setelah tumpeng dipotong, maka Yayasan Nalar Naluri Nurani, resmi berdiri.
Diselingi dengan makan siang, para pendiri yayasan menggelar bincang-bincang.

Yayasan ini berawal dari keprihatinan Ganjar Pranowo, yang menurutnya, bangsa ini sedang berada dalam ketakutan kolektif. Untuk menghindari ketakutan kolektif tersebut, diperlukan pengetahuan tentang hubungan antar sesama. Dalam mencapainya, salah satunya adalah dengan membicarakan isu kesehatan mental, yang kurang mendapatkan kepedulian. Proses bangkit individu dengan gangguan mental, menurut Ganjar, masih jarang dibahas. Bangsa Indonesia masih tidak memiliki clue tentang bagaimana kesehatan mental seharusnya dibahas.

Nia Sjarifuddin, aktivis perempuan senior Indonesia, menambahkan bahwa bangsa Indonesia lahir dari keberagaman, harusnya menjadi kekuatan, bukan menjadi sebuah kelemahan. Sumpah pemuda adalah proses kebangsaan. Dan Pancasila adalah konsesnsus kebangsaan. Sayangnya, Bangsa Indonesia masih mengingkari apa yang telah disepakati. Pancasila belum diamalkan, hanya sekadar hapalan. Dengan hadirnya yayasan ini, adalah upaya mengembangkan Indonesia.

Yayasan ini menurut saya merupakan sebuah upaya untuk menelisik kembali, sampai mana bangsa ini bisa berkembang. Menarik melihat bagaimana Ganjar menyatakan bahwa yayasan ini tidak mau hanya sampai pelatihan, tapi harus juga berkembang dengan inisiatif. Dukungan-dukungan terhadap pelaku kebudayaan, adalah salah satu cara mengembangkan inisiatif tersebut. Klaim yang besar, mengingat bagaimana pelaku seni budaya sering dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bonafide. Orang-orang Indonesia sekarang, lebih peduli dengan bagaimana bisa makan esok hari, daripada mengembangkan seni budaya. Terlihat dengan bagaimana seni budaya kita terus mendaur ulang materi yang telah lampau, juga mulai muncul budaya budaya yang merugikan, seperti sound horeg. Seni hanya membuat bahagia, bukan membuat perut menjadi kenyang.

Dalam piramida Maslow, mendapatkan kebutuhan dasar adalah bagian piramida paling bawah. Individu rela tidak memiliki integritas, yang penting kebutuhan dasarnya terpenuhi. Kesenian, lingkungan hidup, demokrasi, dan kesehatan mental, adalah bagian paling atas dari piramida Maslow. Individu rela kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dinikmati, selama belum menuntaskan tingkatan piramida paling bawah.

Beberapa hari setelah kemelut politik akhirnya mereda, dan terduga pelaku kejahatan berat 1998 diangkat menjadi Presiden terbaru Republik Indonesia, dengan wakilnya yang merupakan nepo baby orde sebelumnya, hari demi hari, Indonesia seperti diganjar berita buruk bertubi-tubi. Yayasan Nalar Naluri Nurani menjadi angin segar pertama dalam demokrasi Indonesia yang terancam carut marut. Memang, menjadi peduli bagi sebuah isu berat, setelah berhasil mendapatkan rasa aman dan menggapai tingkat-tingkatan piramida Maslow, adalah sebuah keistimewaan. Saya senang, bahwa diantara individu-individu yang mendapatkan keistimewaan tersebut, mengajak individu-individu lain untuk berkoalisi, memfokuskan hal-hal lain yang terlupa.

Maka, saya menyebut pembentukan Yayasan Nalar, Naluri, Nurani adalah sebuah usaha yang membutuhkan waktu panjang, untuk merealisasikan semua cita-citanya. Memang tidak mustahil, namun melihat bagaimana penyebaran informasi yang dapat dibelokkan arahnya ke manapun, baik oleh para pendengung, simpatisan tokoh, ataupun pihak pemerintah itu sendiri. Perlu adanya pemaknaan baru, bagaimana informasi tidak selamanya benar, seperti yang kita lihat ketika zaman belum mengenal internet. Sekarang, informasi datang dari berbagai arah, dan memiliki kemungkinan dimanipulasi lebih besar, daripada zaman internet belum dikenal.

Merawat Indonesia, memang menjadi tanggung jawab kita semua. Tapi, terdapat beberapa pihak yang mendahulukan hasrat dan kepentinganya, demi kesejahterahan dirinya sendiri, dibandingkan kondisi lingkungan tanah air Indonesia tercinta. Masih segar dalam ingatan, food estate yang membabat habis hutan di Merauke, dan menukarnya dengan tanaman bukan endemik. Indonesia bukan lagi merupakan paru-paru dunia, deforestasi hutan tanah Kalimantan nyata adanya. Oksigen yang kita hirup bercampur polusi, kita hanya bisa menikmati kemewahan udara segar hanya di daerah-daerah tertentu, dan di waktu-waktu tertentu.

Sedang bersusah hati, adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan kegagalan kita merawat sumberdaya yang kita tidak pernah perhitungkan, sumber daya hayati, dan sumber daya kesuburan.

Saya bersyukur, ternyata masih ada yang peduli dengan lingkungan hidup kita. Harta tertinggi sebuah negara, adalah keanekaragaman hayati. Dalam menyongsong pemanasan bumi yang semakin tidak terhindarkan, hendaknya kita melihat apa yang harus dilakukan untuk mengembalikanya. Kerja keras, dan pada akhirnya, alam akan membalas.

Bangsa kita sudah berdiri lebih lama daripada 79 tahun de facto kita merdeka. Berbagai orde telah dilewati, dan berbagai cobaan telah dihempaskan. Secara pribadi, dinamika kita sebagai sebuah bangsa sangat berbeda dengan dinamika yang dialami oleh para bapak proklamator kita. Penyebaran informasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi membuat kita hampir kehilangan jati diri kita. Saya berharap, dengan berdirinya Yayasan Nalar, Naluri dan Nurani, bangsa kita kembali menjadi bangsa yang bermartabat, bukan sekadar bangsa yang berdaulat. (*)

Kamila El sabilla
Kamila El sabilla Fresh graduated Psychology Scholar. Keen to read about feminism, and slowly learning about philosophy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email