Kita mengakui kalau alam semesta penuh dengan misteri, penuh dengan kejutan, keindahan, fenomena-fenomena aneh dan peristiwa di luar harapan. Kita gugup dan gagap ketika malapetaka menjamah, dan memuji jika senja melipir di ufuk barat. Kita bertanya-tanya; apa itu? bagaimana bisa terjadi? mengapa begitu indah?
Sebuah misteri alam semesta. Kita bisa mengada-ngada jika peristiwa itu karena tangan dewa, atau karena ulah dukun A. Kita juga bisa mengarang dan menyebarkan pada semua khalayak, misalnya kita adalah orang pilihan yang memiliki kesaktian. Makhluk adimanusia yang dapat melihat masa depan. Sepertinya, itu yang dibayangkan oleh dukun-dukun di sekitar kita, dan belakangan juga media sosial.
Semua kejadian dan fenomena di alam semesta dengan mudah dijawab. Jika kau sakit, datanglah ke orang yang tak tidur tujuh hari dengan bekal minum kopi dan es, penyakit akan sembuh dengan mantra yang diberikannya. Dia benar-benar sakti, katanya begitu. Kau tak akan susah payah mengikuti anjuran dan resep dokter. Cukup datang ke orang sakti itu, maka semua permasalahan bakal teratasi. Kalau kau ingin tahu tentang gempa bumi, tsunami, atau bencana alam lainnya, mintalah pendapat, pasti terjawab dengan gampang, “Genderuwone duwe gawe”.
Dari Mitos ke Sains
Peralihan mitos ke logos yang sedari abad keenam sebelum Masehi sampai sekarang belum tuntas. Fenomena dan peristiwa di alam semesta masih dijelaskan dalam bentuk antah-berantah. Posisi sains dikesampingkan.
Melalui buku The Magic of Reality, Richard Dawkins ini mengajak pembaca untuk beralih dari mitos ke sains. Mitos dan dongeng ditampilkan di awal pembahasan bab dalam buku sebagai contoh pengetahuan yang—dalam istilah positivisme logis—tidak bermakna.
Kita mungkin akan membayangkan kalau buku The Magic of Reality yang diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2015 ini rumit dan membosanka. Penuh sesak dengan teori terbelit-belit khas buku ilmiah. Nyatanya Dawkins menuliskan buku ini dengan bahasa yang renyah dan gampang dipahami. Belum lagi pembaca akan dimanjakan dengan ilustrasi ciamik dari ilustrator Inggris, Dave Mckean, pada beberapa halaman di dalamnya.
Memang buku ini sekilas tampak seperti buku anak-anak bergambar. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya salah, karena Dawkins sendiri juga menargetkan buku ini pada anak-anak. Pokok pembahasan The Magic of Reality relevan bagi semua usia dan kalangan.
Baca juga:
Sihir Realitas
“Satu-satunya alasan bagus untuk mempercayai bahwa sesuatu itu ada adalah bila ditemukan bukti nyata mengenai keberadaannya,” terang Dawkins.
Supranatural adalah tembok ratapan sejak lampau. Di Yunani kuno misalnya, orang-orang yang sakit akan dibawa ke kuil dan dipersembahkan ke dewa penyembuhan, yaitu, Asklepius. Mereka meyakini kalau dewa tersebut dapat menyembuhkan penyakit.
Hal seperti itu di masa sekarang masih kerap terjadi. Masalah-masalah dunia disandarkan pada yang di luar dunia—yang entah. Tentu, ini bisa dimanfaatkan sebagai profesi yang mendapatkan banyak cuan. Hanya perlu menghafal mantra dan berbekal segelas air mentah, si dukun dengan mudah menyembuhkan dan menangani segala macam persoalan. Dawkins menyebutnya pesulap pembohong. Berbeda dengan pentas sulap yang memang bertujuan menghibur seperti di televisi, pasar malam atau alun-alun kota, pesulap pembohong memanfaatkan kerapuhan seseorang untuk meraup keuntungan.
Kekuatan supranatural tak dapat menjawab atau mementaskan permasalahan. Menjelaskanpun akan sangat kacau, alih-alih bisa memecahkan masalah.
Sebaliknya sains menguji perkiraan dengan rumus-rumus atau metode dan pengumpulan data-data yang di dapat dari pengamatan, entah melalui pancaindra langsung atau alat bantu—mikroskop misalnya. Jika hasilnya kemungkinan benar, maka dapat dijadikan wakil realitas. Ketika perkiraan kita salah, maka metode akan dimodifikasi dan dibenahi lagi. Namun jika sudah tidak memungkinkan diperbaiki maka metode itu akan dibuang dan beralih ke metode yang lebih baru.
Sains inilah yang disebut Dawkins sebagai “sihir puitis”. Temuan-temuan sains yang mengandalkan data faktual bagikan sihir.
Baca juga:
Keajaiban dan Cara Memikirkannya
Mungkin kita tahu, bahkan pernah mengalami pengalaman melihat hantu, pocong, suster ngesot, kuntilanak dan kawan-kawan lainnya. Sepertinya penampakan makhluk astral itu nyata dan wujudnya benar-benar ada, sehingga kita meyakini kalau memang ada. Namun, sebenarnya itu hanya khayalan kita saja.
Manusia adalah makhluk sosial, seperti yang dijelaskan Dawkins, secara evolusioner otak kita terprogram untuk melihat pola wajah dari semua komposisi bentuk. Kita bisa berkhayal melihat sesosok wajah kendati kita tidak berhadapan dengan orang lain.
Selain itu, kita pasti pernah mengalami atau melihat sebuah peristiwa di luar nalar, yang menurut kita tidak mungkin terjadi dan oleh sebab itu dianggap keajaiban. Misalnya kita bersiul agar angin datang dan membawa layang-layang terbang ke langit. Kemudian kita mengatakan pada kawan kita, “Benarkan, bersiul mengundang angin?” Celakanya, teman kita juga percaya.
Pengalaman seperti itu juga sering terjadi dan bermacam-macam bentuknya. Misalnya pada tahun 1917, dua anak Inggris, Frences Grifftiths dan Elsie Wright berfoto sama peri. Berita tersebut menyebar dan banyak orang percaya, salah satunya Sir Arthur Conan Doyle—pengarang novel Sharlock Holmes.
Menyikapi berita tersebut, hanya ada dua kemungkinan: Peri itu benar-benar ada atau foto tersebut palsu. Jika kita menganggap benar, karena dua gadis tersebut tidak mungkin berbohong, kalau mengikuti penalaran Hume, “mereka berbohong masih merupakan keajaiban yang lebih kecil dari pada peri-peri yang mereka coba tunjukkan benar-benar ada.” Maka kebenaran foto tersebut adalah palsu.
Sebuah keajaiban merupakan pelanggaran hukum alam. Hume tidak menolak secara tegas mengenai keajaiban. Dia hanya menganggap keajaiban sebagai peristiwa yang kemungkinan kecil bisa terjadi. Sedangkan Dawkins meradikalkan kalau berhadapan dengan hal tersebut. Anggap saja sebagai kebohongan dan khayalan belaka, “Semakin kita pikirkan, semakin kita sadari bahwa gagasan mengenai keajaiban supranatural itu sendiri adalah omong kosong.”
Jika sesuatu tidak dapat dijelaskan, bukan berarti alasan yang tepat untuk beralih ke penjelasan supranatural. Cukup beranggapan kalau hal tersebut adalah teka-teki aneh dan sulit yang perlu dikulik lebih dalam sampai menemukan penjelasan yang lebih baik. Sains masih berlanjut, dan masa depan membuka kemungkinan temuan-temuan yang menjawab misteri kehidupan. (*)
Editor: Kukuh Basuki