Seseorang tidak bisa mengklaim dirinya feminis jika ternyata dia juga seorang zionis. Kita patut mempertanyakan segala bentuk klaim feminis yang netral atau bahkan pro kepada Israel.
Perempuan dan anak menjadi korban yang sangat rentan di wilayah konflik mana pun, apalagi dalam skala genosida. Perempuan, anak-anak, dan bayi secara tidak proporsional menanggung beban eskalasi konflik di wilayah Gaza, Palestina. Pada tanggal 3 November, 2.326 perempuan dan 3.760 anak-anak menjadi korban tewas. Angka tersebut menunjukkan 67% dari total korban. Sementara itu, ribuan lainnya mengalami luka-luka. Setiap harinya, 420 anak-anak menjadi korban tewas atau luka-luka, beberapa di antaranya masih berusia beberapa bulan saja.
Tidak hanya di Palestina, terdapat juga korban perempuan dan anak di Israel. Namun, kita perlu berhati-hati dan tidak terjebak dalam problem di Palestina. Tentu kita mengutuk penyerangan terhadap perempuan dan anak-anak di wilayah mana pun. Namun, penting bagi kita untuk melihat dan menyadari bahwa problem di Palestina bukanlah masalah identitas yang tunggal. Saat membicarakan perempuan dan anak dalam genosida di Palestina, kita tidak bisa menggunakan feminisme neoliberal yang justru mendukung agenda imperialisme ini. Feminisme neoliberal menggeser gerakan solidaritas sesama perempuan ke arah kebebasan individu. Dalam problem di Palestina, feminisme neoliberal justru akan semakin melanggengkan imperialisme.
Baca juga:
Di sosial media, ada banyak artis, influencer, atau tokoh lainnya yang mengklaim diri sebagai feminis tetapi bersikap netral bahkan pro terhadap Israel. Seharusnya tidak ada yang bisa mengklaim dirinya feminis sementara dia juga seorang zionis. Di sinilah kita harus berhati-hati dan mengkritik agenda feminis kulit putih, sebab salah satu perjuangan feminisme patutnya adalah mengakhiri zionisme.
Penting bagi kita untuk mempertanyakan agenda feminisme Barat atau kulit putih yang tidak melek sejarah terhadap proyek imperialisme. Tidak ada netralitas dalam genosida yang jelas menunjukkan watak kolonial dan imperial Israel beserta negara pendukungnya dalam menghancurkan Palestina. Penting bagi kita untuk mempelajari penindasan yang terjadi di Palestina sebagai proyek imperialisme dan penindasan yang telah berlangsung lama.
Mariam Barghouti, dalam tulisannya “No, You Can’t Be A Feminist And A Zionist’’ dengan jelas menyiratkan bahwa kita tidak bisa menjadi feminis dan juga zionis. Ini adalah kontradiksi nyata. Seorang feminis zionis dianggap kontradiktif karena ia terlibat dalam memperkuat supremasi dan dominasi atas suatu bangsa, sementara pada saat yang sama ia memperjuangkan akhir patriarki. Feminis zionis mengingatkan kita pada jenis feminis lainnya, yaitu feminis kulit putih. Perempuan kulit berwarna selalu terpinggirkan dalam gerakan feminis, terutama karena perempuan kulit putih mengabaikan isu keadilan rasial dan mengurangi penekanan pada penindasan yang dialami oleh orang-orang kulit berwarna karena ras, etnis, dan kelas mereka.Â
Seperti yang dijelaskan oleh Bell Hooks: “Selama perempuan menggunakan kelas atau ras atau kekuasaan untuk mendominasi perempuan lain, persaudaraan feminis tidak dapat sepenuhnya diwujudkan.” Secara mendasar, feminisme tidak dapat mendukung rasisme, supremasi, dan dominasi penindasan dalam bentuk apa pun.
Zionisme sering dikampanyekan sebagai panggilan untuk mendapatkan tanah air Yahudi serta untuk memastikan bahwa teror penindasan antisemit tidak terjadi lagi. Namun, dalam narasi yang disederhanakan ini ada hal tersembunyi, yakni fakta bahwa pencarian tanah air Yahudi dimulai oleh agen kolonial, yang berarti secara otomatis merampas tanah dan budaya, serta mengusir orang-orang yang tinggal di wilayah Palestina selama ribuan tahun.
Pencurian tanah dan pelanggaran martabat manusia serta hukum internasional ini terus berlanjut atas nama zionisme. Hal ini memperpanjang penderitaan rakyat Palestina, hak asasi mereka atas etnis dan ras dirampas. Oleh karena itu, saya sepakat dengan Mariam Barghouti, kita harus merasa curiga dan tidak percaya pada feminis zionis. Feminis zionis dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa zionisme telah memajukan dirinya melalui berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Setelah mempertimbangkan semua hal di atas, saya sepakat dengan pendapat Bell Hooks yang menyatakan bahwa politik feminis yang sejati selalu membawa kita dari perbudakan menuju kebebasan, dari kekurangan cinta menuju penuh kasih. Feminisme tidak bisa dipilih-pilih. Kerangka kerjanya berasal dari pembebasan yang benar-benar mutlak. Bukan hanya bagi perempuan, melainkan bagi semua orang. Oleh karena itu, zionisme dan feminisme tidak bisa digabungkan. Seorang feminis harus antikolonial, antirasis, menentang berbagai bentuk penindasan, serta tidak melayani kepentingan segmen tunggal dari komunitas global.
Jalan alternatif bagi feminis zionis adalah mengakui dan bergabung dalam perjuangan melawan penindasan sistematis. Jadilah cukup berani dan berdiri melawan banyak wajah penindasan dan ketidaksetaraan. Peluklah feminisme sebagai kekuatan dan jadilah tangguh serta konsisten melawan segala bentuk penjajahan.
 Dalam tulisan “Palestinian Feminist Critique and the Physics of Power: Feminists Between Thought and Practice’’, Nadera Shalhoub-Kevorkian menjelaskan bagaimana cara menggarisbawahi pentingnya memperluas lensa kritis feminis untuk memperhitungkan faktor kekuasaan, antara lain melibatkan pemahaman konteks geopolitik dan ekonomi yang telah mengubah manusia menjadi komoditas di tangan negara-negara dominan dan membuat mereka buta terhadap genosida yang terjadi sekarang. Pemahaman mengenai aspek kekuatan feminis memerlukan: (a) dekonstruksi feminisme yang menolak menganggap Nakba sebagai sumber teori feminis yang analitis dan aktual, dan (b) pembangkangan dalam menghadapi amnesia global, regional, dan lokal menuju hak hidup warga Palestina di hadapan rezim kontrol nekropolitik Israel.
Baca juga:
Memahami aspek kekuasaan, seperti yang diusulkan dalam analisis kritis feminis Palestina, memerlukan pengakuan bahwa negara Yahudi tidak dapat didirikan dan tidak dapat terus ada selain melalui kekerasan, sosiosida, geopolitik, biopolitik, dan intervensi politik. Negara Yahudi tidak puas dengan apa yang telah dicapainya sejauh ini; mereka belum menyelesaikan proyek kolonialisme pemukim yang dimiliterisasi, sementara kelangsungan hidup mereka bergantung pada kemampuan untuk menghancurkan semua oposisi.
Untuk menghentikan perampasan hak milik tersebut, diperlukan pembangunan wacana feminis dan praksis politik yang baru dan aktif untuk mengatasi realita kompleks dari penolakan global dan lokal tersebut. Dalam arti lain, penting untuk mempertanyakan posisi kita sebagai feminis, apakah betul kita mendukung agenda pembebasan Palestina atau hanya semu semata.
Terakhir, kutipan dari Angela Davis berikut ini penting untuk diresapi sebagai upaya pembebasan Palestina dan perempuan.
We are still faced with the challenge of understanding the complex ways race, class, gender, sexuality, nation and ability are intertwined—but also how we move beyond these categories to  understand the interrelationships of ideas and processes that seem to be separate and unrelated. Insisting on the connections between struggles and racism in the United States and struggles against the Israeli repression of Palestinians, in this sense, is a feminist process—Angela Davis. (2016)
Kita harus meyakini bahwa isu-isu perempuan tidak dapat diselesaikan jika dipisahkan dari politik. Emansipasi perempuan di kawasan Arab terkait erat dengan rezim tempat kita hidup, rezim yang sebagian besar didukung oleh Amerika Serikat. Perjuangan pembebasan Palestina mempunyai dampak penting terhadap situasi politik. Selain itu, bagaimana bisa kita berbicara tentang pembebasan perempuan Palestina tanpa berbicara tentang hak mereka untuk memiliki tanah tempat tinggal? Bagaimana bisa kita berbicara tentang hak-hak perempuan Arab di Palestina dan Israel tanpa menentang diskriminasi rasial dan genosida yang dilakukan rezim Israel terhadap mereka?
From The river to The Sea, Palestine Will be Free, Women Will be Free!
Editor: Prihandini N