“Aku merindukan suatu zaman yang di dalamnya moncong-moncong senapan digantikan dengan mata pena. Karena mata pena telah terbukti menyumbang bagi kemanusiaan, sementara moncong-moncong senapan tidak.” -Imam Khomeini-
Tafshil Tsanawi atau Detail Kecil adalah rudal yang menghantam topeng dunia literasi Frankfurt Book Fair dan penghargaan LiberaturPreis 2023 yang curang. Tidak ada iron dome yang mampu mencegat buku kecil ini untuk menjadi saksi bagaimana intervensi zionisme menggagalkan penobatan Detail Kecil sebagai kisah yang sejatinya akan mendapatkan penganugerahan tertinggi.
Ada begitu banyak kisah kejam genosida penjajah Israel, bahkan beberapa bisa kita saksikan secara langsung melalui kanal-kanal media sosial. Sebagian besar mereka sensor, baik yang ada dalam rekaman digital maupun buku. Detail Kecil, salah satu contoh bentuk evakuasi ingatan yang akan menjadi museum bangsa Palestina dengan mencoba merekam dan mengarsipkannya kembali. Dan kita pun kini bersyukur bisa mengunjunginya.
Novel tipis, kecil, dari Detail Kecil memberikan sumbangsih besar perlawanan atas penjajahan Israel yang mencoba menutupi kebengisan mereka selama ini. Jenis kebejatan mereka sungguh banyak hingga berita pemerkosaan gadis Badui oleh serdadu zionis yang pernah tayang di surat kabar pasca setahun peristiwa Nakba 1948 seakan tertutupi gunung berita kejam lainnya yang datang bertubi-tubi. Inilah pesan inti dari kisah penting ini, kisah yang bagi sebagian besar orang telah dilupakan dan mungkin dinormalisasi dengan alasan kejahatan besar lainnya menghampiri bangsa Palestina bagai hujan meteor. Begitulah zionisme bekerja membumihanguskan Palestina.
Sang pengarang, Adania Shibli, ingin mengantar kita ke dalam problematik berpikir seperti di atas. Ia menyadarkan kita bahwa serangan psikis yang diterima warga Palestina tak kalah gencarnya dengan serangan fisik.
Selain hal tersebut, di novel ini kita juga bisa menyaksikan kerusakan ekologis pada perbedaan kondisi geografis yang mencolok. Seperti sumber daya alam Israel dan Palestina yang terjadi tidak secara alamiah. Penjajahan Israel telah menerapkan aturan ketat hingga intervensi teknologi untuk membatasi kesuburan vegetasi dan debit air yang ada di Palestina.
Memang benar setiap penjajahan pasti menyisakan kerusakan dari banyak bidang, terutama manusia dan lingkungan. Kolonialisme pendudukan Israel menerapkan politik apartheid, rasisme, kapitalisme ekologi, dan genosida. Israel paham betul pentingnya relasi manusia dan alam. Untuk memperlancar tujuannya, mereka menggunakan teknokrat ekonomi sebagai mesin pembiayaan perang, politisi sebagai mesin pelobi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan sekutunya (negara-negara diplomatik) untuk mengirimkan bantuan militer, dan insinyur-insinyur pembangunan yang bekerja untuk membuat tanah Palestina tandus dan kering.
Kering dan tandusnya tanah Palestina juga turut diperparah oleh terminologi keliru memahami “Tanah Perjanjian” yang coba disempitkan maknanya. Agresor Israel memonopoli penguasaan maknanya sedemikian rupa agar terasa menyiksa bagi manusia lainnya. Tidak hanya tanah yang diduduki oleh Israel tapi juga sebuah makna. Anggapan “Tanah Perjanjian” hanya berlaku bagi satu kelompok tertentu sungguh melecehkan ajaran Tuhan. Andai dimaknai secara universal dan progresif maka pemahamannya menjadi Tuhan memang menjanjikan sebuah tanah, tapi itu untuk semua umat manusia, namun dengan catatan yang perlu digaris bawahi, “Tanah untuk mereka yang memiliki rasa kemanusiaan. Terkecuali manusia yang bersifat iblis.”
Barangkali dengan tafsir sempit Israel itulah menjadi alasan desa-desa Palestina leluasa mereka gusur, kota-kota Palestina dilenyapkan, nama-nama jalan yang sebelumnya dari bahasa Arab diganti bahasa Ibrani, arsitektur Arab yang indah dirubuhkan. Kenyataan ini dituturkan dalam keadaan gemetar, perasaan takut yang bimbang, dipandu penyaksian langsung oleh tokoh pegawai perempuan Palestina yang ada di dalam novel ini, yang nekat menelusuri jejak peristiwa lampau yang usianya hampir serempat abad tahun kelahirannya. Dia melewati lapisan-lapisan pos pemeriksaan ketat tentara Israel, berbekal identitas palsu hasil pinjaman dari seorang temannya sebagai syarat penyewaan mobil.
Kesederhanaan Shibli
Jalanan aspal yang mulus, sepi, dan besar, ia susuri dengan mobil sewaan. Si tokoh pegawai Palestina seolah melihat dunia luar yang asing, yang sebelumnya merupakan tanah airnya sendiri. Jejak itu kini berada di tanah pendudukan yang diawasi ketat oleh tentara Israel. Jejaknya tidak buram begitu saja oleh waktu melainkan dibuat gelap oleh rezim zionis. Perjalanannya yang sangat beresiko tersebut nekat ia perjuangkan. Demi melengkapi sebuah catatan penelitiannya yang harapannya akan menjadi perhatian dunia.
Cara bertutur Adania Shibli barangkali terlihat ringkas, ramping, plot ceritanya tidak rumit, dan tokoh yang ada dalam ceritanya hanya mengandalkan dua narator: tentara Israel dan pegawai Palestina. Tapi, kita bisa merasakan bahwa sesungguhnya cerita yang ia masak tak perlu menggunakan bumbu yang begitu banyak agar kelihatan mewah dengan kompleksitas. Kelezatan cerita Shibli justru terletak pada orisinalitas Arabnya yang mengusung kesederhanaan namun kaya makna.
Detail Kecil diterbitkan pertamakali oleh Darul Al Adab tahun 2017. Telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 11 bahasa. Penerbit Bentang Pustaka menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia kemudian dicetak September 2024 dengan kualitas cukup baik.
Shibli mengajak kita untuk tidak hanya merenung saja. Tak banyak waktu tersedia untuk itu. Di kala gempuran mesin propaganda Hasbara yang ditiupkan oleh para intelektual, tokoh-tokoh, bahkan ulama-ulama besar yang seakan terlihat moderat, atau aktivis-aktivis yang meyakini nirkekerasan sebagai sikap yang absolut tapi diam dengan bom-bom Israel yang menargetkan masyarakat sipil bahkan korbanya sebagaian besar adalah anak-anak. Rasanya, sikap netral dan diam hanyalah bahasa lain dari pro-pendudukan Israel.
Sasaran perlawanan anti zionisme yang hanya terkosentrasi pada Israel tidak akan begitu berdampak jika tidak dibarengi melawan kebijakan AS terutama soal dukungan penuh militernya terhadap Israel. Pernyataan retorik AS yang sering kita dengar “Israel berhak mempertahankan teritorialnya dari berbagai ancaman” adalah kebalikan dari fakta di lapangan “Israel berhak menjajah dan menerapkan genosida.” Dalam hal ini, Noam Chomsky pernah mengatakan, “Untuk peduli terhadap hak-hak rakyat Palestina tidak ada yang lebih prioritas dari pada upaya untuk mengubah kebijakan AS, yang bukan sekadar mimpi sia-sia.”
Misinformasi dan Disinformasi
Kini, satu tahun sudah peristiwa badai taufan 7 Oktober. Peristiwa yang dijungkirbalikan narasinya oleh pihak agresor, digunakan sebagai dalih genosida yang hingga sekarang masih berlangsung. Bahkan kini rakyat Lebonon seakan turut diserang imbas dukungan solidaritas perlawanan mereka terhadap Palestina.
Kenyataan serangan Taufan 7 Oktober Hamas bisa kita baca pada investigasi media besar Israel Haaretz. Sebagai saksi langsung di lapangan, salah satu tentara Israel mengakui tindakan pembunuhan brutal peserta Supernova Festival dilakukan oleh tentara Israel sendiri, bukan oleh Hamas.
Begitupun kisah pemerkosaan perempuan dan bayi yang dipanggang. Cerita bohong itu dituduhkan kepada Hamas yang kemudian telah diluruskan oleh media AS Associated Press. Tapi tajuk berita yang disukai AS dan Barat lebih memilih berita bohong karena sensasionalnya. Meski itu berita palsu, dukungan penuh aksi militer Israel tetap dilancarkan.
Kesalahan informasi yang berimbas agresi militer belum juga mereda, namun kesalahpahaman atas konflik Palestina juga mesti diluruskan. Menurut Ilan Pappe, seorang Yahudi dan sejarawan progresif, konflik ini bukanlah konflik dua gerakan nasional antara Israel merdeka dan Palestina merdeka. Ini adalah kolonialisme pemukiman yang kemudian memunculkan dua kesalahpahaman mendasar. Pertama, mereka menganggap konflik dimulai kurang lebih dari tahun 1967-an dengan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kedua, karena dasar kekeliruan pertama tersebut kedua wilayah itu (Jalur Gaza dan Tepi Barat) dipandang lebih “Palestina” dari sifat dan sejarahnya dibanding dengan Palestina lainnya.
Pandangan keliru ini konsekuensi fatalistik dari resolusi dua negara. Solusi dua negara adalah pandangan ilmu politik AS yang klasik. Dengan konsekuensi 80% tanah untuk Israel dan 20% tanah untuk Palestina. Ini usulan perdamaian yang sifatnya ortodoks.
Hingga kini solusi dua negara belum tercapai. Kalaupun tercapai, usulan perdamaian ini bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah. Perang (genosida) yang terjadi di Palestina bukanlah soal dua bangsa yang menuntut kemerdekaan, tapi kolonialisme. Sebuah penjajahan yang dilakukan oleh pemukim yahudi (zionisme) dengan menggunakan pembersihan etnis Arab dan entitas Palestina. Dan perlawanan rakyat Palestina adalah perjuangan anti kolonialisme. Oleh sebab itu keliru jika melihat konflik ini sebagai perjuangan kemerdekaan antar dua bangsa.
Kini, negara-negara Barat terutama dan beberapa negara lainnya yang seirama dengan pandangan AS (dan beberapa pendukung zionis) menyetujui solusi dua negara. Bahkan Otoritas Palestina (PA) pun mendukung usulan ini.
Keterlibatan PA yang terkesan tunduk dengan cara bermain Israel bukan hanya ditemui pada usulan masa depan perdamaian dengan solusi dua negara. Solusi tersebut selain menyediakan sangat sedikit bagian wilayah untuk Palestina (20%), PA juga masih harus berada di bawah kontrol otoritas Israel. Namun yang banyak luput dari perhatian masyarakat internasional ialah bahwa usulan solusi dua negara memiliki konsekuensi buruk soal demografis. Tujuannya meminimalkan orang Arab Palestina (penduduk asli) yang kini sebagai pengungsi untuk kembali ke rumah mereka.
Proses Perdamaian Semu
Sebagaimana geger “Palestina Paper” yang pernah dilaporkan oleh Aljazeera. Laporan itu membocorkan sikap Otoritas Palestina (PA) yang telah menyerahkan seutuhnya kedaulatan kepada pihak Israel untuk persoalan hak pengungsi Palestina dalam menentukan apakah para pengungsi itu dapat kembali atau tidak ke rumah mereka.
Persoalan pengungsi tidak begitu sering dibicarakan dalam usulan-usulan perdamaian, baik itu di forum resmi PBB maupun dalam narasi global yang informal. Kondisi ini justru sangat menguntungkan Israel untuk menuntaskan persoalan demografisnya di mana harus menyingkirkan sebanyak-banyaknya penduduk asli Arab Palestina dari tanah Palestina.
Israel sebenarnya sadar, jika tak ada “proses perdamaian” maka ia akan menjadi negara paria, terpapar boikot, hingga sanksi internasional. Namun Israel masa bodoh dengan itu semua. Sebelum menuju perdamaian solusi dua negara, Israel terus memperluas proyek pemukimannya di Gaza, Tepi Barat, Jerusalem Raya dan mungkin juga Lebonon secara ilegal.
Ilan Pappe menekankan zionisme sebagai kolonialisme. Israel adalah rezim apartheid. Tawaran Ilan Pappe menyerukan dekolonisasi, perubahan rezim, dan solusi satu negara.
Ketidakpedulian, cerai-berai, bersikap pasifisme adalah harapan besar zionisme. Bisa jadi itu merupakan bagian dari serangan senyapnya yang bisa menimbulkan korban dengan kontrol jarak jauh sebagaimana peristiwa ledakan pager-pager rakyat Lebanon.
Akhirnya, Shibli mengantar kita ke dalam pusaran tragik ini. Tidak ada kedamaian abadi tanpa perang, begitu juga tak ada perang yang tak kunjung usai tanpa cita-cita perdamaian. Peradaban telah membuktikan, senjata pembunuhan massal bukanlah satu-satunya instrumen perang yang hebat. Pena juga merupakan senjata perang yang ampuh. Saya melihat Detail Kecil seperti misil yang sudah diluncurkan Shibli untuk membela kemerdekaan Palestina. (*)
Editor: Kukuh Basuki