Ada sesuatu yang pelan-pelan berubah dalam lanskap kekuasaan nasional. Bukan revolusi besar-besaran, bukan pula kudeta militer yang gegap gempita. Melainkan perubahan halus, berlangsung melalui celah hukum, perundang-undangan, kompromi politik, dan kooptasi terhadap institusi sipil.
Demokrasi tetap dipertahankan secara prosedural, tetapi ruh dan etosnya dikooptasi. Inilah wajah otoritarianisme gaya baru, sebuah konfigurasi kekuasaan yang berlapis, bercita rasa legal, namun pada dasarnya menumpulkan prinsip-prinsip utama dari negara demokratis.
Konsep ini bukan dugaan semata. Ia tumbuh dari jejak panjang sejarah kekuasaan Indonesia, dari cara kekuasaan dikelola, dijaga, dan dikembalikan ke tangan segelintir elite. Era Reformasi memang membawa sejumlah pembaruan. Muncul desakan kuat untuk menegakkan pemerintahan sipil, mengakhiri dominasi militer dalam politik, serta membatasi kekuasaan melalui desentralisasi dan supremasi hukum.
Tapi, sebagaimana sejarah mencatat berkali-kali, kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung mencari jalannya sendiri untuk tetap lestari. Otoritarianisme gaya baru ini tak datang dari luar, melainkan tumbuh dari tubuh demokrasi itu sendiri.
Masih teringat dalam tulisan Ingo Wandelt (2007), bagaimana operasi militer di Timor Timur pada 1995 Prabowo melibatkan pembentukan milisi sipil Garda Muda Penegak Integrasi. Program yang awalnya diklaim sebagai kegiatan sosial berubah menjadi operasi perang urat saraf yang menyebar teror ke pemukiman penduduk.
Ini bukan kasus tunggal. Ia mencerminkan paradigma kekuasaan yang memelihara ketertiban bukan dengan keadilan, melainkan dengan rasa takut. Ketertiban bukan dibangun dari partisipasi warga, tapi dari pembungkaman. Kemenangan Prabowo sebagai presiden akan melanggengkan pembungkaman.
Konsep “loot a burning house” (rampoklah rumah yang sedang terbakar, yang pernah dikemukakan Prabowo dalam forum pencalonan presiden tahun 2004, menggambarkan cara pandang kekuasaan terhadap kekacauan sebagai peluang.
Baca juga:
Dalam perspektif ini, penderitaan rakyat bukanlah peristiwa yang perlu diatasi, tetapi dapat dijadikan batu loncatan untuk akumulasi kekuasaan lebih lanjut. Maka tak heran jika narasi stabilitas menjadi retorika dominan, sementara praktik di balik layar justru menunjukkan pemusatan kekuasaan yang semakin tak terbendung.
Strategi politik yang mulai dirancang sejak tahun 1990-an memperlihatkan keberanian untuk membangun aliansi dengan kelompok-kelompok Islam konservatif. Aliansi ini memang sah dalam sistem demokrasi, namun yang dipersoalkan bukan sekadar persekutuannya, melainkan produksi narasi kebencian yang menyertainya.
Saat kelompok minoritas etnis dan agama dituding sebagai biang kerok krisis, sesungguhnya yang sedang dibangun adalah politik identitas yang eksklusif dan memecah belah. Hingga kini, pola itu tetap direplikasi. Sentimen agama, etnis, dan ras terus digunakan sebagai alat propaganda politik untuk memenangkan suara, bukan sebagai refleksi keberagaman bangsa.
Narasi glorifikasi terhadap masa Orde Baru juga kembali digemakan, seolah masa itu adalah masa keemasan yang penuh keteraturan dan kejayaan ekonomi. Tapi sejarah berbicara lain. Di balik pertumbuhan ekonomi tinggi, terjadi eksploitasi sumber daya yang masif, konsentrasi kekayaan di tangan elite, dan praktik KKN yang dilembagakan.
Ketimpangan struktural yang diwariskan oleh Orde Baru justru menjadi sumber utama dari konflik-konflik sosial di berbagai daerah. Dalam berbagai studi pembangunan, termasuk yang dilakukan oleh Anne Booth dan Howard Dick, terungkap bahwa pembangunan Orde Baru tidak adil secara spasial maupun sosial. Jawa menjadi pusat ekonomi dan kekuasaan, sementara wilayah luar Jawa hanya dilirik jika mengandung nilai ekstraktif.
Orde Baru dalam Tubuh Demokrasi Pasca-Reformasi
Kini, spirit Orde Baru tersebut kembali tumbuh dalam tubuh demokrasi Indonesia. Tapi wajahnya lebih canggih: dibungkus hukum, didorong oleh legislasi, dan dilegitimasi melalui pemilu. Revisi sejumlah undang-undang menunjukkan arah regresi yang mencolok.
Revisi Undang-Undang KPK tahun 2019, yakni UU No. 19 Tahun 2019, mereduksi secara drastis independensi lembaga tersebut. Pegawai KPK dijadikan ASN, kewenangan penyadapan dipersulit, dan pembentukan Dewan Pengawas menjadi alat intervensi kekuasaan. Lembaga yang dulu menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi kini hanya menjadi bayangan dari dirinya sendiri.
Lalu disusul dengan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada Desember 2022, yang antara lain menghidupkan kembali pasal-pasal karet seperti pasal penghinaan terhadap presiden dan simbol negara (Pasal 218–220 KUHP). Pasal ini dulunya telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi, namun kini kembali dihidupkan.
Tak berhenti di situ, pasal-pasal moralis seperti larangan seks pranikah, kohabitasi di luar nikah, hingga kriminalisasi terhadap ilmu hitam dan aborsi juga diperkenalkan kembali. Peraturan ini bukan saja mencederai hak individu dan perempuan, tetapi juga membuka ruang represi terhadap kelompok rentan dan minoritas.
Dalam dimensi budaya, represi terhadap ekspresi semakin terasa. Berbagai kegiatan seni dibubarkan oleh aparat dengan alasan keamanan atau ketidakcocokan dengan nilai lokal. Pameran lukisan Yos Suprapto, teater Mulyono oleh Teater Payung Hitam, dan intimidasi terhadap Sukatani menjadi bukti bahwa kebebasan berekspresi semakin sempit. Sensor tidak lagi dilakukan oleh lembaga resmi, tetapi oleh tekanan sosial dan intimidasi oleh aparat keamanan.
Sementara itu, militer perlahan tapi pasti kembali menempati ruang-ruang sipil. Berdasarkan laporan media dan riset seperti yang dikutip oleh Detik News, sejak 2019 telah terjadi gerilya penempatan perwira aktif di kementerian, BUMN, dan institusi sipil lainnya.
Baca juga:
UU TNI yang disahkan pada 2025 diperkirakan hanya akan mengesahkan praktik de facto ini secara legal. Apa yang dulu dikenal sebagai dwifungsi ABRI, yang sempat dikubur lewat TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000, kini bangkit kembali dengan wajah baru—bukan sebagai kekuatan formal di parlemen, tetapi sebagai aktor informal yang mempengaruhi kebijakan dari dalam.
Lebih dari itu, konfigurasi otoritarianisme gaya baru ini bercorak hibrida: ia bukan murni sipil, bukan pula sepenuhnya militer. Ia merupakan fusi antara oligarki politik, kekuatan ekonomi, dan militerisme. Tipologinya lebih mirip dengan rezim sipil-militer Uruguay di era Bordaberry, yang memulai represi dengan alasan stabilitas, dan akhirnya jatuh ke dalam otokrasi legal. Rezim seperti ini tidak menghancurkan demokrasi secara frontal, melainkan melucutinya dari dalam.
Pemilu tetap berlangsung, tetapi maknanya direduksi menjadi ritual lima tahunan tanpa substansi. Koalisi gemuk yang mencakup hampir seluruh partai politik besar telah menghilangkan fungsi oposisi. Media arus utama sebagian besar sudah terkooptasi. Kritik dibungkam dengan pelaporan hukum, ancaman, dan bahkan kekerasan. Dan semua itu dilakukan atas nama hukum, nasionalisme, dan ketertiban sosial.
Dalam kondisi seperti ini, membayangkan masa depan Indonesia yang demokratis menjadi pekerjaan berat. Namun yang lebih berbahaya dari itu adalah ketidaksadaran publik akan ancaman yang sedang tumbuh di depan mata. Ketika semua tampak normal, UU disahkan, pemilu berjalan, parlemen bekerja justru saat itulah otoritarianisme bersembunyi di balik kemasan demokrasi. Dan sebagaimana dicatat oleh banyak sarjana politik dari Juan Linz hingga Steven Levitsky, demokrasi jarang mati oleh kudeta. Ia lebih sering dibunuh secara perlahan oleh mereka yang justru memenangi pemilu.
Maka penting untuk melihat konfigurasi kekuasaan saat ini dengan kewaspadaan historis. Jika pelajaran Orde Baru dikhianati, yang sedang dihadapi bukan sekadar kemunduran sesaat lagi, tetapi penyusunan ulang rezim otoriter dalam wajah yang lebih halus, lebih canggih, dan lebih sulit dilawan.
Editor: Prihandini N