Krisis Makna dalam Demokrasi Indonesia

Annisa Mauditha Ardianti

3 min read

Pemerintah semakin menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola negara secara rasional dan kehilangan orientasi demokratis. Aksi yang bertajuk Indonesia Gelap dan Tolak RUU TNI mencerminkan akumulasi kemarahan rakyat terhadap berbagai kebijakan yang semakin tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Beberapa diantaranya adalah efisiensi anggaran pendidikan, penyempitan kebebasan berekspresi, serta legalisasi peran militer dalam ranah sipil melalui RUU TNI dan RUU Polri yang menandakan kembalinya otoritarianisme.

Kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus sebagai bentuk teror simbolis kepada jurnalis Tempo serta pembunuhan jurnalis perempuan Newsday oleh prajurit TNI AL di kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan yang merupakan cerminan nyata dari upaya sistematis untuk membungkam pers.

Baca juga:

Dekonstruksi kesadaran Publik

Masyarakat Indonesia dibuat tenggelam dalam polarisasi, dogmatisme, dan propaganda. Hal itu menjadikan manusia hilang dalam esensinya sebagai individu yang berpikir secara bebas. Masyarakat tak ubahnya pion dalam permainan kekuasaan, di mana propaganda diterima tanpa analisis, dan informasi dikonsumsi tanpa refleksi (cognitive laziness). Mereka bukan lagi pemegang kendali atas dirinya sendiri, melainkan sekadar instrumen dalam dinamika kekuasaan yang lebih besar yaitu, kehilangan makna, kehilangan arah, dan pada akhirnya, kehilangan eksistensi sebagai manusia yang berpikir. Kehilangan eksistensi ini bukan sekedar akibat dari kendali kekuasaan, namun karena manusia sendiri kehilangan kesadaran sebagai makhluk yang berpikir dan mencari makna.

Kebebasan berpikir bukan sekadar memiliki akses terhadap banyak informasi, tetapi tentang kemampuan memilah, mempertanyakan, dan membentuk opini dengan kesadaran penuh. Namun, ruang ini semakin sempit akibat dirampas secara sistematis oleh pemerintah melalui kontrol informasi, regulasi ketat, dan manipulasi opini publik, menciptakan masyarakat yang pasif dan patuh tanpa mempertanyakan. Akibatnya, daya kritis melemah, dan publik lebih mudah terbawa arus tanpa menyadari makna dari realitas yang mereka hadapi.

Situasi ini melahirkan sikap fatalisme sebagai dampak dari konstruksi historis dan sosiologis, yang pada akhirnya mempercepat kemunduran kognitif. Dampaknya tidak hanya terlihat dalam cara manusia berpikir, tetapi juga dalam bagaimana mereka diperlakukan oleh sistem yang represif, baik sebagai objek yang dikendalikan maupun sebagai alat dalam dinamika kekuasaan yang pada esensinya mengandung dorongan sadisme.

Efisiensi anggaran pendidikan menjadi bukti konkret bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan lagi prioritas utama pemerintah. Pemotongan anggaran ini menyebabkan upah guru honorer semakin tidak memadai. Hal itu pastinya akan berdampak langsung pada kualitas pengajaran serta menurunkan motivasi dalam mendidik.

Program Beasiswa KIPK yang seharusnya membantu pelajar kurang mampu melanjutkan pendidikan tinggi justru menghadapi permasalahan distribusi. Akibatnya, kesenjangan dalam memperoleh pendidikan berkualitas semakin sulit, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang dibiarkan tumbuh tanpa daya kritis dan kemampuan untuk memahami realitas secara mendalam. Kondisi ini mencerminkan apa yang dikatakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, bahwa pendidikan yang menindas adalah pendidikan yang tidak memberikan ruang bagi individu untuk mengembangkan berpikir kritis.

Baca juga:

Dalam sistem seperti ini, pendidikan bukan lagi alat pembebasan, melainkan alat kontrol. Kurikulum dikendalikan, buku-buku dibatasi, dan wacana kritis dipinggirkan atau diabaikan. Jika pendidikan adalah kunci kesadaran, maka penghancuran pendidikan adalah strategi untuk menciptakan kepatuhan.

Pada akhirnya, kondisi ini semakin mempercepat dehumanisasi, di mana manusia tidak lagi dipandang sebagai individu yang berpikir, melainkan sekadar bagian dari mesin kekuasaan yang pasif. Dehumanisasi ini adalah bentuk penghancuran eksistensial, di mana individu kehilangan kendali atas dirinya sendiri, terperangkap dalam absurditas sistem yang menolak memberikan mereka ruang untuk memahami, mempertanyakan, dan mencari makna.

Masuknya kembali militer ke ranah sipil, mengingatkan pada dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Saat Orde Baru berkuasa, tentara tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga mengendalikan aspek politik, ekonomi, dan sosial. Militer menjadi aktor utama dalam birokrasi, menguasai kursi-kursi strategis di pemerintahan.

Kontrol militer atas sipil tidak hanya berbentuk represif secara fisik, tetapi juga menumbuhkan ketakutan secara kolektif rasa diawasi, dibatasi, dan dilarang berpikir secara bebas. Kebebasan berekspresi dibungkam melalui sensor ketat terhadap media, pemenjaraan aktivis, hingga propaganda negara yang membentuk realitas masyarakat sesuai kepentingan rezim sebagai upaya sistematis untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada dalam kontrolnya agar masyarakat tetap tunduk.

Dalam kondisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Karl Marx, “sejarah berulang, pertama sebagai tragedi kedua sebagai lelucon” di bawah kemimpinan yang memiliki keterkaitan erat dengan warisan Orde Baru, militer kembali diberi ruang dalam urusan sipil. Perwira tinggi ditempatkan dalam kementerian, institusi negara, hingga lembaga sipil. Pemerintah sedang menggali kembali kuburan Orde Baru, bukan sebagai sejarah yang sudah usai, tetapi sebagai masa depan yang perlahan dihidupkan kembali.Ketakutan di masa lalu terhadap penculikan, penghilangan paksa, dan pembuhunan perlahan kembali menghantui.

Kesadaran sebagai Bentuk Perlawanan

Sistem yang tidak manusiawi menciptakan kompleksitas jiwa manusia dari ketidakberdayaan. Dalam absurditas ini, manusia dihadapkan pada pilihan: tunduk atau melawan. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menyatakan, manusia yang sadar akan absurditas tetapi tetap menjalani hidup dengan kesadaran penuh seperti Sisyphus yang terus mendorong batu meskipun tahu itu sia-sia adalah bentuk perlawanan tertinggi.

Baca juga:

Di tengah sistem yang berusaha merenggut kebebasan berpikir, mempertahankan kesadaran akan realitas dan kesadaran diri menjadi satu-satunya bentuk kebebasan yang tersisa. Kesadaran bukan sekadar memahami bahwa ketidakadilan terjadi, tetapi juga menolak untuk menjadi bagian dari mekanisme yang menindas. Dalam kondisi yang penuh tekanan, berpikir kritis dan bertindak dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah bentuk perlawanan yang paling mendasar.

Sejarah telah menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu lahir dari kekuatan besar, tetapi dari individu-individu yang tetap memelihara kesadaran di tengah represi. Seperti Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning yang menegaskan bahwa dalam situasi paling menindas, manusia masih memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya. Maka, di tengah realitas yang semakin membelenggu, mempertahankan kemerdekaan berpikir bukan hanya sebuah hak, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga agar makna kemanusiaan tidak lenyap. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Annisa Mauditha Ardianti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email