Hideaki Anno bukan hanya seorang sutradara; ia adalah seorang filsuf yang mengekspresikan gagasannya melalui medium visual. Karya-karyanya tidak sekadar hiburan, tetapi sebuah refleksi atas identitas, keterasingan, dan pencarian makna dalam dunia yang serba tidak pasti. Dari Evangelion hingga Shin Godzilla, estetika Anno selalu membawa kita ke dalam ruang ketidakpastian, di mana realitas terfragmentasi, hubungan antarmanusia rapuh, dan kebenaran sering kali tidak pernah sepenuhnya terungkap. Dalam dunia yang ia ciptakan, keindahan tidak terletak pada kesempurnaan, tetapi dalam proses kehancuran dan pencarian makna yang tak berujung.
Filosofi Fragmentasi: Keindahan dalam Kehancuran
Salah satu elemen utama dalam estetika Anno adalah fragmentasi. Ia jarang menyajikan dunia sebagai sesuatu yang utuh dan stabil. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa kehidupan dan identitas manusia adalah kepingan-kepingan yang terus berubah. Melalui teknik seperti pemotongan mendadak, adegan diam yang berkepanjangan, dan gangguan realitas dalam bentuk mimpi atau ilusi, Anno mencerminkan bagaimana manusia mengalami dunia yang penuh kontradiksi.
Baca juga:
Dalam Evangelion, para karakter seperti Shinji, Asuka, dan Rei tidak pernah benar-benar memiliki identitas yang stabil. Mereka terus-menerus mempertanyakan diri mereka sendiri, terperangkap dalam ketidakpastian apakah mereka benar-benar memiliki tempat di dunia ini. Ini mengingatkan kita pada pemikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksi—di mana makna dan identitas tidak pernah mutlak, tetapi selalu berubah dan bergantung pada kontradiksi internal yang membentuknya.
Di sisi lain, dalam Shin Godzilla, fragmentasi tidak hanya hadir dalam karakter, tetapi juga dalam struktur pemerintahan Jepang yang diperlihatkan sebagai lembaga yang kaku dan tidak mampu merespons krisis dengan cepat. Negara digambarkan sebagai entitas yang tersusun dari berbagai kepentingan yang saling bertentangan, memperlihatkan bagaimana sistem sosial pun tidak pernah benar-benar solid. Dalam estetika Anno, tidak ada sesuatu yang benar-benar utuh; semua dalam kondisi yang terus berubah dan berproses.
Keterasingan dan Absurdnya Keberadaan
Banyak karakter Anno digambarkan sebagai individu yang kecil dan terasing dalam dunia yang jauh lebih besar daripada mereka. Ia sering menempatkan karakter-karakternya dalam ruang yang luas dan kosong, seolah-olah mereka hanyalah titik kecil di tengah kekosongan. Ini bukan sekadar keputusan estetis, tetapi sebuah pernyataan filosofis tentang keberadaan manusia.
Eksistensialisme Jean-Paul Sartre dan Albert Camus sangat relevan dalam memahami visi Anno. Sartre berpendapat bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan dan harus mendefinisikan diri mereka sendiri melalui tindakan. Namun, tindakan itu sendiri penuh dengan ketakutan, karena setiap pilihan membawa risiko kehilangan sesuatu. Karakter-karakter dalam Evangelion mengalami hal ini secara ekstrem—mereka ingin terhubung dengan orang lain, tetapi pada saat yang sama takut terhadap konsekuensinya.
Baca juga:
Asuka, misalnya, sangat mendambakan perhatian dan kasih sayang, tetapi harga dirinya tidak mengizinkannya untuk menunjukkan kelemahan. Shinji ingin diterima, tetapi ia takut untuk benar-benar membuka diri. Keterasingan yang mereka alami adalah sesuatu yang universal—sebuah ketegangan antara keinginan untuk dekat dengan orang lain dan ketakutan terhadap luka yang bisa ditimbulkan oleh kedekatan itu.
Dalam The End of Evangelion, konflik ini mencapai puncaknya ketika Shinji harus memilih antara individualitas yang penuh dengan penderitaan atau pelepasan identitas yang total dalam bentuk penyatuan dengan seluruh umat manusia. Pilihan ini mengingatkan kita pada pemikiran Camus tentang absurditas—apakah kita akan menerima bahwa dunia ini tidak memiliki makna dan tetap hidup, atau menyerah dan membiarkan diri kita larut dalam kehampaan? Anno tidak memberikan jawaban yang mudah, karena bagi dirinya, makna tidak pernah datang dari luar; makna harus diciptakan sendiri oleh individu.
Kekosongan sebagai Makna: Ketika Keheningan Lebih Keras dari Kata-kata
Anno memiliki kemampuan luar biasa dalam menggunakan kekosongan—baik dalam bentuk keheningan maupun ruang visual yang tidak terisi. Ia tidak takut untuk membiarkan adegan diam dalam waktu yang lama, menciptakan ketidaknyamanan yang memaksa penonton untuk benar-benar menghadapi perasaan mereka sendiri.
Konsep ini sangat dekat dengan filosofi Zen, khususnya prinsip Ma (間), yang berarti “ruang antara sesuatu.” Dalam seni Jepang, ruang kosong sama pentingnya dengan elemen visual itu sendiri, karena ia menciptakan keseimbangan dan memberi kesempatan bagi penonton untuk merenung. Dalam Evangelion, momen-momen diam sering kali lebih berbicara daripada dialog panjang. Satu adegan di dalam kereta, di mana karakter hanya duduk dalam keheningan, bisa lebih bermakna daripada ratusan kata yang diucapkan.
Hal ini juga terlihat dalam Shin Godzilla, di mana film tidak selalu dipenuhi dengan aksi atau ledakan seperti film kaiju pada umumnya. Sebaliknya, ada banyak adegan yang hanya berisi pejabat pemerintah duduk diam, menunggu keputusan yang tidak kunjung datang. Keheningan dalam adegan-adegan ini bukan sekadar kekosongan, tetapi perwujudan dari ketidakmampuan sistem untuk bertindak cepat. Kekosongan menjadi cerminan dari realitas yang absurd dan tidak selalu memberi jawaban.
Kehancuran yang Tak Terhindarkan: Dekonstruksi Harapan dan Rekonstruksi
Tema kehancuran selalu hadir dalam karya-karya Anno, tetapi ia tidak memandang kehancuran sebagai akhir. Sebaliknya, kehancuran adalah bagian dari siklus di mana sesuatu yang baru bisa lahir. Ini sangat berkaitan dengan konsep Mujō (無常) dalam Buddhisme—segala sesuatu bersifat sementara, dan perubahan adalah satu-satunya kepastian dalam hidup.
Dalam Evangelion, dunia terus mengalami kehancuran, tetapi selalu ada kemungkinan untuk membangun sesuatu yang baru. Dalam Shin Godzilla, Tokyo hancur oleh makhluk raksasa, tetapi para pemimpin Jepang harus menerima kenyataan bahwa mereka harus terus bergerak maju, meskipun mereka tahu bahwa bencana lain mungkin akan datang.
Namun, Anno tidak menawarkan optimisme yang kosong. Ia menyadari bahwa bangkit dari kehancuran bukanlah sesuatu yang mudah. Proses ini membutuhkan keberanian untuk menghadapi ketidaktahuan dan menerima kenyataan bahwa tidak ada kepastian dalam hidup. Setiap karakter dalam karyanya yang berhasil bertahan adalah mereka yang memilih untuk terus maju, meskipun mereka tidak memiliki jaminan bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.
Metanarasi dan Refleksi Diri Sang Kreator
Anno tidak hanya berbicara tentang karakter-karakternya; ia juga berbicara tentang dirinya sendiri. Evangelion dimulai sebagai proyek mecha standar, tetapi perlahan-lahan berubah menjadi eksplorasi mendalam tentang depresi dan kecemasan pribadinya.
The End of Evangelion adalah sebuah reaksi terhadap ekspektasi penonton dan kritik terhadap industri hiburan yang sering kali menuntut jawaban yang mudah. Anno tidak ingin memberi jawaban yang menyenangkan, karena ia sendiri tidak memiliki jawaban. Ia memahami bahwa dalam seni, seperti dalam hidup, tidak semua pertanyaan memiliki resolusi yang memuaskan.
Dalam film Rebuild of Evangelion, kita melihat bagaimana Anno berdamai dengan masa lalunya. Ia membangun ulang cerita yang dulu ia dekonstruksi, menunjukkan bahwa meskipun ia tetap mempertanyakan banyak hal, ia telah menerima bahwa hidup harus terus berjalan. Dalam Shin Godzilla, ia mengkritik sistem yang stagnan, tetapi tetap menunjukkan bahwa perubahan, meskipun sulit, tetap mungkin terjadi.
Kesimpulan: Estetika Ketidaksempurnaan
Estetika Hideaki Anno adalah estetika ketidaksempurnaan. Ia tidak menawarkan dunia yang rapi dan penuh kepastian, tetapi dunia yang hancur, terpecah, dan selalu dalam proses menjadi sesuatu yang lain. Melalui fragmentasi, keterasingan, keheningan, dan kehancuran, ia mengajukan pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti: Apa arti menjadi manusia? Apa yang membuat hidup layak dijalani?
Dalam akhirnya, Anno tidak meminta kita untuk menemukan jawaban yang sempurna. Ia hanya meminta kita untuk terus bertanya, dan yang lebih penting, untuk terus maju, meskipun kita tidak tahu ke mana arah yang sebenarnya. (*)
Editor: Kukuh Basuki