Bagi generasi milenial seumuran saya yang pernah mencicipi sekolah dasar di masa Orde Baru, pastilah tidak mudah memahami proses Reformasi. Hal itu memang wajar karena kita selalu dicekoki doktrin tentang kebaikan Orde Baru. Segala sumber informasi massa seperti koran, radio, televisi, tabloid, dan majalah lainnya sudah melewati kurasi dan penyaringan ketat sehingga narasi negatif tentang Orde Baru nyaris tidak pernah saya dengar. Semuanya serba nyaman dan indah.
Doktrin yang saya terima di sekolah masuk melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Di dalamnya saya diberikan rambu-rambu untuk menjadi warga negara yang baik versi Orde Baru. Kita diwajibkan mempelajari butir-butir Pancasila, sebuah tafsir tunggal tentang bagaimana memahami dan mengamalkan Pancasila yang termuat pada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Di sekolah saya juga diajarkan tentang betapa jahatnya musuh-musuh Orde Baru seperti komunisme dan segala turunannya. Setiap tanggal 30 September, semua warga negara yang baik diajak menonton film Pengkhianatan G30S PKI. Besok paginya, disuruh bikin resensi filmnya dalam kertas folio bergaris dan dikumpulkan di sekolah. Film genre gore fiksi sejarah besutan Arifin C. Noer itu sukses membuat kita percaya kalau komunis itu kejam dan Soeharto adalah juru selamat.
Baca juga:
Namun, kenangan manis Orde Baru itu luntur dari benak saya seiring lengsernya Presiden Soeharto dalam peristiwa reformasi 1998. Awalnya, saya sempat gusar mengapa presiden yang saya anggap baik waktu itu dipaksa mundur? Mengapa krisis moneter begitu menggila? Mengapa terjadi kerusuhan di mana-mana? Waktu itu, usia saya masih 11 tahun, korban doktrinasi Orde Baru juga di sekolah, jadi wajar mengalami sebuah kebingungan.
Seiring berjalannya pemerintahan yang baru dan kebebasan pers, perlahan tapi pasti saya mulai memahami mengapa Soeharto harus dilengserkan. Berita dan informasi tentang keburukan dan kekejaman Orde Baru mulai mudah saya temukan di media massa. Walau buku pelajaran sekolah masih tidak mau terlalu jujur dan terbuka, saya bisa mengetahui sejarah alternatif dari buku, majalah, dan koran yang sudah semakin bebas menyiarkan berita.
Pasca Reformasi, tidak lagi ada kewajiban menonton film Pengkhianatan G30S PKI. Dihapusnya dwifungsi ABRI, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang seolah identik dan marak di era Orde Baru pun mulai diberantas. Departemen penerangan yang menjadi filter berita nasional dibubarkan dan diganti menjadi Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi.
Tantangan Gen Z
Dalam memahami Orde Baru dan peristiwa Reformasi, generasi z (gen z) mempunyai keunggulan sekaligus tantangannya sendiri. Jika generasi milenial sempat merasakan cekokan paksa kurikulum ala Orde Baru di sekolah dasar, gen z bersih dari indoktrinasi sistematis itu. Mereka tidak mempunyai kenangan indah Orde Baru ataupun perasaan takjub pada Pak Harto.
Itulah sebabnya sisa-sisa simpatisan Orde Baru yang membuat meme gambar Pak Harto tersenyum dan tangan melambai dengan slogan “Piye Kabare? Isih penak jamanku to?” itu sebenarnya menunjukkan pesan itu pada generasi milenial dan generasi-generasi sebelumnya. Generasi z tak akan relate dengan meme itu.
Ketiadaan pengalaman empiris hidup dan sekolah di Orde Baru itu bukan berarti gen z aman. Tidak adanya era pembanding itu membuat gen z terlena dengan apa yang dinamakan masa sekarang. Masa di mana orang bebas berpendapat, berkumpul, berdiskusi, dan mengkonsumsi informasi dianggap sesuatu yang terjadi begitu saja. Mereka terlena dengan keadaan nyaman ini dan menggapnya sebagai sesuatu yang given.
Gen z tak mempunyai pembanding sehingga tak banyak yang mengetahui bahwa kebebasan-kebebasan yang kita anggap wajar sekarang ini adalah hasil perjuangan gelombang protes mahasiswa dan masyarakat pro Reformasi yang diwarnai luka-luka, kematian, dan penculikan. Tanpa membaca sejarah dengan lebih tekun dan memanfaatkan semua informasi yang ada, gen z tidak mempunyai sensitivitas ini.
Mindset Orde Baru
Dari pembicaraan dengan seorang teman penulis, saya mendapatkan sebuah terma yang sangat mengena, yaitu “mindset Orde Baru”. Bagi teman saya, Orde Baru itu bukan sekadar orde dalam pemerintahan Indonesia; Orde Baru adalah pola pikir. Oleh sebab itu, walau rezim Orde Baru sudah tumbang, mindset Orde Baru tetap ada di kepala simpatisan-simpatisannya.
Mindset Orde Baru kini mulai berkembang, menyebar, dan menemui inang barunya. Itulah mengapa nilai-nilai yang lekat dengan Orde Baru satu per satu mulai bermunculan dan menemukan pendukung-pendukung barunya. Ide-ide khas Orde Baru seperti pembatasan pers, dwifungsi ABRI, dan politik dinasti, atau dulu kita kenal dengan nepotisme, perlahan tapi pasti mulai bermunculan lagi.
Baca juga:
Mungkin kini telinga kita akrab dengan potongan anekdot “politik dinasti adalah human right” dan “politik dinasti adalah Asian value”. Pengucapnya kebetulan adalah anak-anak muda pembawa acara podcast bertemakan politik. Politik dinasti yang dengan susah payah dihancurkan di era Reformasi, kini bangkit kembali dengan pemaknaan barunya yang jauh dari kesan negatif. Mindset Orde Baru telah sampai pada generasi terbarunya.
Ketika banyak generasi muda dibingungkan dengan kebutuhan sehari-hari, diguncang dengan isu rumah mahal, UKT mahal, lapangan kerja sulit, dan pemotongan gaji untuk Tapera, ada sebentuk kekhawatiran yang muncul dalam benak saya. Apakah generasi muda, khususnya gen z, masih mempunyai waktu untuk membuka-buka buku, membaca jurnal, dan mempelajari sejarah Reformasi secara komprehensif di sela-sela perjuangan mereka mencapai kemapanan ekonomi pribadi? Ataukah mereka sudah cukup lelah hingga tak terasa di sela-sela istirahatnya menangkap mindset Orde Baru dengan penuh suka cita dari influencer dunia maya?
Editor: Emma Amelia