Pada akhirnya, hidup Meng tetap penuh kemurungan dan kesedihan. Sudah jalannya. Tak ada yang bisa diharapkan dari apa pun. Bedanya, di tahun-tahun yang lewat, Meng hidup dengan versi terbaik dari dirinya. Kemurungan dan kesedihan bekerja cuma sebagai latar. Ia punya energi berlebih, bisa nongkrong ke mana saja, dengan siapa saja, dan kapan saja. Ia tertawa terlalu banyak dan bersedih kelewat sedikit. Ia hobi mengganggu penjual ikan cue di pasar sampai tak jarang diusir sambil ditendang. Tapi tak ada yang berarti. Meng menikmati semuanya.
Waktu itu, Meng hidup dengan menertawakan diri sendiri dan kemurungan-kemurungan hidupnya bersama kawan dekatnya, seekor kucing dari gang buntu dengan bulu tebal warna hitam-putih yang mempesona bagi Meng dan memiliki kepintaran tak mengagumkan. Saudara satu per satu mati, berkabung saja barang beberapa hari. Bapak-induk tak tahu juntrungnya, tak masalah, asal bisa mencuri ikan di pasar. Tak dapat kucing betina, ya sudah. Tak dapat ikan, masih ada tempat makan di mana orang-orang memberi potongan daging ayam. Dikejar kucing-kucing penghuni taman, tinggal lari. Cukup jalani saja. Tak ada yang sulit waktu itu. Semua terasa cukup, jika lengkap terlalu berlebihan.
Dan waktu berjalan dan hidup Meng berubah.
Meng tiba di titik Meng mengusahakan agar segalanya baik-baik saja. Segalanya harus pas. Seperti potongan ikan yang pas untuk dua hari. Seperti tanah yang cukup kering untuk dijadikan berak. Meng hidup kelewat keras pada dirinya. Tak lagi luwes seperti dulu. Segalanya harus sesuai dengan harapannya. Meng marah pada dirinya jika gagal mencuri ikan dari pasar, Meng harus mempertahankan tempat berak untuk dirinya sendiri, punya tempat nongkrong pribadi di pinggir jalan, menjaga perkawanan dengan kucing-kucing dari pojok-pojok gang yang lain, mengesankan kawan dekatnya, dan sebagainya, dan sebagainya.
Pernah suatu hari Meng terlalu jumawa atas kecukupannya, sehingga kawan-kawannya sebal dan memilih tak lagi menghiraukannya. Meng sakit hati. Suatu energi timbul dari alam bawah sadarnya dan mendorong Meng untuk memarahi dan menggeplak kepala kawan-kawannya, termasuk kawan dekatnya. Suatu jalan pintas menuju kesendirian. Meng menyesal dan mengutuki diri sendiri di pinggir jalan, mengeong-ngeong tak jelas sampai orang-orang lewat menatap heran. Dalam sepuluh kali malam hari, Meng kehilangan banyak hal. Termasuk dirinya sendiri.
Meng tak lagi dapat mengenali dirinya. Jika hidup pada dasarnya adalah sebuah proses kemajuan, Meng merasa mengalami kemunduran. Meng jadi gampang marah bahkan terhadap hal sekecil tempat nongkrongnya diduduki kucing-kucing lain, Meng tidak lagi menikmati kebiasaannya berak di tempat favorit dengan khidmat, Meng kehilangan minat mencuri dan makan ikan dari pasar, Meng gampang canggung bertemu dan mengobrol dengan kucing lain, Meng jadi berpikir lambat sehingga kerap hilang kesigapan di pasar dan kerap ditendang orang. Semuanya serba salah dan di luar kendalinya. Meng tak berdaya melakukan apa pun.
Akhirnya Meng lelah sendiri. Semua yang ia rasa berada di depan matanya, berada dalam lingkaran sekelilingnya, lepas begitu saja. Meng merasa ia bukan dirinya lagi. Ia menjelma kucing yang berbeda. Sekarang, Meng hidup lagi dengan kemurungan dan kesedihan. Seperti yang sudah-sudah. Hanya saja, dengan versi terburuk dari dirinya. Kemurungan dan kesedihan bekerja langsung di kepalanya. Dan semua itu ia surukkan jauh-jauh ke dalam dirinya.
“Dulu kau lucu dan riang, sekarang bahkan bayanganmu ini sama murungnya,” ucap Meng pada diri sendiri saat hendak minum di sebuah genangan pinggir jalan dan melihat dirinya dari pantulan air.
Dikejar kucing lain, digeplak tukang ikan, ditendang orang makan, dijahili orang lewat, berebut tempat berak, itu hal biasa. Dulu Meng menjalani hari demi hari dengan riang. Sekarang, sambil duduk di trotoar dan bengong mengarah ke jalan besar, Meng berpikir, enak juga kalau tiba-tiba melompat ke jalan besar itu dan ditabrak oleh satu dari benda besar itu.
Tapi sekali lagi pikiran itu datang. Meng takut mati. Ia tak tahu pasti apa yang akan terjadi setelah kucing mati. Kawan dekatnya pernah bilang bahwa kucing mati akan jadi hantu kucing gentayangan, dan di sekitar mereka sebetulnya banyak kucing tak kelihatan. Kucing hitam kecoklatan di ujung gang pernah bilang kalau kucing mati akan terlahir kembali menjadi anak kucing di belahan tempat lain. Kucing jantan belang tiga di dekat toko ikan pernah bilang kalau kucing mati akan masuk dunia di mana semua kucing bahagia dan sentosa, sebuah dunia di mana kucing memiliki limpahan ikannya sendiri-sendiri dan tempat berak masing-masing. Tapi kucing berbulu lebat di bangunan besar di jalan sepi itu pernah bilang juga, kalau kucing mati tidak akan ke mana-mana, yang ada hanya kehampaan.
“Dungu sekali”, pikir Meng. Mana ada tidak ada apa-apa. Pasti semuanya ada apa-apa. Ada sesuatu. “dan di dunia ini masih banyak ikan untuk dimakan, untuk dicuri. Apalagi makanan kecil-kecil renyah dan agak keras yang sering teronggok dekat bangku di pinggir jalan.”
Hanya beberapa hal yang bikin Meng kuat dan merasa hidup tetap mesti dilanjutkan. Ikan-ikan melimpah di dunia ini yang mesti dicuri, potongan daging sisa orang makan di tempat penuh makanan, kucing berbulu lebat yang dungu, kelakuan ajaib kucing berbulu oren, dan mempertahankan tempat berak favorit.
“Setiap kucing pernah berada di titik terendah. Maka, setiap kucing berhak menentukan tindakannya,” katanya. Dengan begitu pula, Meng berhak untuk bersedih dan menikmatinya.
Maka, pilihan yang Meng ambil selalu sama. Meng jalan terus. Hadapi terus. Bonyok dikit tak pengaruh. Semua kucing pernah bonyok. Dan pilihan Meng adalah menikmatinya. Menikmati kebonyokan demi kebonyokan dengan beberapa jeda iklan.
*****
Editor: Moch Aldy MA