Bermain-main transdisiplin.

Uji Ambang Batas Puitika dan Puisi Lainnya

Amos Ursia

1 min read

Delicium, Quo Vadis?

Semua orang memiliki Golgotanya, tapi sudikah kita berbagi Golgota itu? 

Berbagi jalan di bukit itu, seperti tubuh-Nya yang tercerai-berai di Ganjuran, Katedral, dan warteg kesayangan di Utan Kayu. 

Ke manakah via dolorosa ini akan menuju? Apakah pada jalan tiada ujung itu?

Semua orang memiliki Golgotanya, tapi sudikah kita berbagi Golgota itu?

Uji Ambang Batas Puitika

Akankah kita merayakan ketakmampuan untuk mengucap,

yang-tak-terbahasakan,

yang-tak-berbunyi:

Deus ibi est?

Yang Menari Sendiri di Jalan Gelap Berkabut

Untuk Lestari

ternyata kamu jelmaan rumah panggung di Mande, Cianjur, yang meski dihantam 4.6 skala Richter tapi memapak kekokohan: 

melindung tubuh adik yang baru pulang bermain-main di langgar desa sore ini, menaung tubuh Ibu yang ketiduran karena lelah memanen ungunya terong segar tadi pagi, melantas tubuhku yang entah bagaimana selalu jenjam dalam suaramu. 

pada beton-beton yang merintihkan tangis bayi, kokoh adalah himne keabadian. 

berjalan menitip nasib pada pendar-pendar matahari kita. 

merangkak-rangkak melampaui gelap kabut kita. 

tetap kulihat kamu makin menjelma sebagai rumah panggung di Mande, 

kokoh dalam runtuhan dunia dan puing-puingnya. 

***

berisik tetap rapalan doa-doa keselamatan itu, namun tak semua manusia berani menempuh jalan ini. 

pada puing-puing kesementaraan, pada jalan tiada ujung, pada reruntuk tragedi, kamu dan aku menoreh himne keabadian. 

maka, menarilah kita dalam jalan gelap dan berkabut itu!

maka, menarilah kita pada naskah orasi kebudayaan yang menantang zaman edan!

maka, menarilah kita pada bait-bait puisi yang melantamkan kemenangan kecil! 

Cianjur, Desember 2022. 

Riwayat Obrol-obrol

Kapan bisa membicarakan komodifikasi seni yang perlu menyontek Walter Benjamin lagi? Kuingat, pembicaraan soal Aime Cesaire saja belum tuntas kemarin. 

Bagaimana soal Baudrillard? Meski kuyakin posmodernisme dan Foucault sudah terlalu membosankan untuk kita.

Frankfurt? Fromm tak menarik untuk paragrafnya dilahap lagi, apalagi lembaran lain untuk dilanjutkan. 

Tadi siang aku bicara sebentar dengan Martin, panjang sekali bab sepuluhnya yang penuh rumus-rumus matematis. Martin juga nulis soal historiografi sastra Indonesia melalui jok motor ojek online. Entah gimana caranya ada orang seperti dia, gila. Tapi, bagaimana kita bicara soal Tuhan yang mengosongkan diri-Nya untuk menjadi sepuluh lembar koyo cabe? 

Ah, ternyata limbah epistemik makin membuat kita perlu mendaur ulang pikiran! Apalagi, limbah-limbah estetika, sudah terlalu basi untuk sekadar kita bongkar tempat sampah bernama kesenian! Tersisa akhirnya berkas-berkas manuskrip tentang obrol-obrol yang tak pernah usai. 

Sore di EFIBE

Ketika arsip-arsip membangun dunia baru, kantin sastra tetap jadi omong kosong epistemik. 

Seliweran omong besar soal Chomsky, Adorno, Habermas, dan Spivak, tapi penyapu lantai masih tetap berjalan miring.

Ketika arsip-arsip membangun rumah bernama sejarah, pohon-pohon artifisial masih tetap jadi ornamen palsu. 

Seliweran mahasiswa fashionable, cukrek-cekrek, cukrek-cekrek: hey aku menemukan raison d’etre diriku! 

Ketika arsip-arsip membicarakan bangunan kosong berhantu, puntung rokok itu masih berteriak tentang keadilan semu. 

Seliweran guru besar dengan otak kecil, scopas-scopus, scopas-scopus: hey aku ini intelektual jalang dari kumpulan übermensch, amalkan tridharmamu, dan mengabdi Tuhan, dan mengabdi bangsa, dan negara Indonesia! 

Ketika arsip-arsip membangun dunia gila, dunia masih berjalan entah kemana, entah dimana. Teringat sahut Petrus pada Yesus, maka sahutku: “Delicium, quo vadis?”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email