Kabar duka beruntun datang dari berhentinya produksi surat kabar cetak Republika; publikasi selanjutnya akan difokuskan sepenuhnya di wahana digital. Menyusulnya, ada Tabloid Nova dan sejumlah majalah, yakni Bobo Junior, Mombi, dan Mombi SD yang akan berhenti total mulai akhir Desember 2022.
Baca juga:
Media cetak mewarnai hari-hari ketika sekolah meminta siswa mencari koran bekas untuk tugas kliping di pelajaran bahasa Indonesia atau ketika orang-orang punya banyak waktu senggang sehingga iseng membaca majalah. Bagi banyak orang, makna media cetak bisa beragam dan lebih berarti lagi.
Koran dan majalah yang selama ini menemani masa kecil hingga dewasa perlahan redup setelah melalui perjuangan dan persaingan yang luar biasa dengan media digital. Sedih sekali rasanya, tetapi juga tidak bisa dielak bahwa membaca berita digital ini begitu mudah; lebih praktis dan terjangkau sehingga lebih banyak kalangan tidak ketinggalan informasi terkini.
Survei tahunan Reuters Institute dan Universitas Oxford bertajuk Digital News Report 2022 mengungkap bahwa 82% responden dari 46 negara mendapatkan berita dari media digital, media sosial, dan portal berita daring. Sejumlah 57% di antaranya secara khusus mengakses berita dari kanal media sosial. Kemudian, sebanyak 68% atau 2.068 responden asal Indonesia menjadikan media sosial sebagai sumber utama berita sehingga 88% warganet Indonesia mengonsumsi berita dari kanal media sosial ataupun portal berita.
Mudahnya warganet mengakses informasi melalui media sosial dapat menyebabkan kecanduan media sosial yang memengaruhi kemampuan bersosial. Lebih lanjut, kegagalan memanfaatkan kemajuan teknologi bisa mengakibatkan masyarakat tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi, perundungan siber, dan ujaran kebencian.
Bersamaan dengan itu, tingkat ketidakmampuan masyarakat untuk membedakan misinformasi, disinformasi, dan malainformasi pun tinggi. Alhasil, orang mudah menelan hoaks mentah-mentah, bahkan secara aktif turut menyebarkannya.
Jauh dari dampak positifnya, berlebihnya penggunaan media digital justru membuat nilai kemanusiaan luntur. Menurut saya, dunia menjadi semakin aneh ketika segala yang ada di media sosial bisa kehilangan value.
Media cetak melalui proses yang panjang dan lama sehingga menghasilkan berita yang lebih mendalam yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini agar bisa mendapatkan pandangan yang lebih luas dan kritis. Sementara itu, media digital, yang lebih mementingkan aspek kecepatan, sering kali menghadirkan berita yang bersifat keras alias tidak ditelaah lebih dalam dan langsung disebarkan di media sosial.
Ketika saya bertanya kepada kawan-kawan di real life mengapa mereka jarang membaca berita dari platform media, jawaban pertama yang terlontar dari mulut mereka adalah malas. Sebab, banyak beredar berita clickbait sehingga mereka lebih percaya apa yang diunggah oleh selebritas atau influencer media sosial.
Tentunya kita jarang melihat clickbait di koran dibanding di berita yang hanya disebarkan lewat media sosial bukan? Media cetak, di sisi lain, menghadirkan berita yang lebih komplet meskipun lama. Harga yang relatif lebih murah bisa dijangkau berbagai kelas masyarakat.
Namun, karena minat membaca media cetak yang semakin rendah dan persaingan dengan media digital yang semakin ketat, harga majalah dan koran pun meningkat. Amat disayangkan, tetapi kemudian saya teringat catatan pinggir Goenawan Mohamad: terlalu sulit, terlalu sulit.
Sebenarnya, peralihan media cetak ke media digital ini memerlukan model bisnis yang segar dan akurat, yakni jurnalisme berbayar. Singkatnya, seperti sistem Netflix. Pembaca membayar untuk mendapatkan berita dengan kualitas yang tidak kaleng-kaleng.
Informasi yang tidak utuh sering bermunculan ketika peristiwa terkini terjadi, seperti kabar kecelakaan dan kebakaran. Jurnalisme berbayar dibutuhkan untuk menghadirkan informasi berkualitas agar bisa mengungkap makna atau temuan dari suatu peristiwa sehingga masyarakat bisa mendapatkan muatan pemaparan informasi yang lengkap dan akurat.
Mendukung jurnalisme berbayar dengan cara subscribe atau berlangganan akan sangat amat berarti bagi perkembangan media digital yang bermutu di Indonesia. Memberikan dan menemani jalan media untuk bertahan di masa sekarang sama dengan turut berpartisipasi dalam mempertahankan demokrasi yang bermakna yang akan menguntungkan pula bagi masyarakat.
Pilar media mainstream di Indonesia seperti Kompas, Tempo, dan Republika sangat perlu membangun kultur berlangganan dan kesadaran sehingga masyarakat bisa mendukung dan percaya bahwa kualitas informasi yang didapatkan sebanding dengan biaya langganan. Kala lingkungan media sehat tercipta, hoaks pun bisa hilang serta demokrasi bisa pulih. Sebab, demokrasi membutuhkan media dan jurnalis yang kritis serta independen.
Baca juga:
Meredupnya media cetak di Indonesia merupakan kemunduran yang memilukan. Berbagai media cetak yang bertemu dengan gelapnya jalan nantinya akan meraih terangnya kembali, semoga saja. Terlalu sulit, terlalu sulit, tetapi tidak apa-apa.
Editor: Emma Amelia