“KTP-nya ditulis beragama Kristen, meskipun sebetulnya dia masih menganut ajaran Marapu.”
Kutipan di dalam buku “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” ini sontak memantik sebuah pertanyaan: Kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa agama lokal tidak diakui sehingga penganutnya mau tidak mau mengakui agama resmi yang berlaku di negeri ini? Bukankah memilih keyakinan adalah hak setiap orang?
Marapu
Marapu merupakan salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Sumba. Konon, semua masyarakat Sumba yang lahir dan memiliki orang tua keturunan Sumba merupakan penganut agama ini, sebelum akhirnya agama Kristen masuk dan disebarkan sehingga menjadi agama mayoritas di Sumba.
Terkait definisi Marapu sendiri, ada dua pendapat yang berbeda. Menurut L Ovlee yang dikutip dari “Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1900”, kata Marapu berasal dari penggabungan dua kata, yaitu kata ma dan rappu. Ma bermakna “yang” dan rappu bermakna “dihormati”. Sehingga, Marapu memiliki makna “yang dihormati”.
Pendapat berbeda diucapkan oleh A.A. Yewangoe dalam tulisannya pada majalah Peninjau yang berjudul “Korban Agama Marappu”, dia berpendapat bahwa marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan rappu (tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna “yang tersembunyi”.
Karena sehari-hari marapu sering juga digunakan untuk penyebutan nenek moyang, maka anggap saja marapu merupakan sebuah kata yang berfungsi sebagai bentuk kata penghormatan terhadap leluhur bagi penganut agama Marapu.
Terkait panggilan untuk zat tertinggi atau yang dikenal dalam agama abrahamik sebagai Allah atau Tuhan, seperti dilansir dari Kompas, penganut Marapu memanggil-Nya dengan beberapa sebutan. Dua di antaranya adalah Ama A Magholo, Ina A Marawi, yang bermakna “bapa yang membuat (mengukir), ibu yang menjadikan (menenun)” dan Ama Padewama, Ina Paurrama, yang artinya “bapa yang melindungi, ibu yang merawat”. Sampai tahun 2016, berdasarkan data dalam keputusan Mahkamah Konstitusional (MK), penganut agama Marapu berjumlah 81.953 orang.
Baca juga:
Konversi karena Situasi
Pada saat agama Kristen pertama kali disebarkan oleh seorang zendeling bernama JJ. van Alphen pada tahun 1881, agama ini tidak terlalu berhasil berkembang. Dalam 100 tahun, hanya 1.1% orang yang menganut agama ini. Akan tetapi, peningkatan konversi agama dimulai pada dasawarsa 1990-an.
Berdasarkan disertasi Purwadi Soeriadiredja, dosen antropolog Universitas Udayana, konversi pesat ini merupakan hasil pengaruh dari lingkungan serta abainya peran pemerintah. Orang-orang melakukan pencantuman agama Kristen karena mereka ingin mendapatkan kemudahan-kemudahan untuk mengakses pendidikan yang sarat dengan kebutuhan administratif.
Salah satu bentuk adaptasi dalam usaha konversi agama yang dilakukan oleh penganut Marapu adalah dengan menambahkan nama dengan nuansa Kristen pada saat masa pendaftaran sekolah. Penamaan ini ditujukan agar si anak tidak mendapatkan diskriminasi ketika bersekolah.
Salah satu bentuk diskriminasi dialami oleh Lidda Mau Mudde yang berumur 76 tahun dari Kampung Tarung, Waikabubak, Sumba Barat. Dia menceritakan pengalamannya saat menghadap sekolah untuk meminta pertanggungjawaban sekolah terhadap anaknya yang dipukul karena mengaku menganut agama Marapu. Guru tersebut berdalih bahwa sekolah hanya untuk anak-anak Kristen, sementara anak-anak Lidda tidak mencantumkan agama mereka.
Kejadian sama juga dialami Yuliana. Dia mengaku bahwa saat sekolah dulu dia diusir dari sekolahnya karena mengaku menganut agama Marapu. Mau tak mau, akhirnya dia mengaku sebagai penganut agama lain yang diakui pemerintah untuk menahan malu agar tidak keluar sekolah.
Peraturan yang Membatasi Pilihan
Semua diskriminasi ini bermula dari Permendagri No 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama. Peraturan ini terkesan mencantumkan agama resmi menjadi hanya enam. Belum lagi pernyataan tersebut juga turut menyatakan aliran/kebatinan agar dituntun kearah sila pertama Pancasila, seakan-akan para penganut aliran tidak sesuai dengan sila pertama.
Walaupun demikian, menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, kesan tersebut salah tafsir karena hanya bermaksud menjelaskan agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia dan telah dianulir dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009.
Namun tetap saja, keputusan tersebut tetap menjadi preseden atas Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 yang mewajibkan para pemeluk agama selain lima agama untuk memberi garis sebagai pengisi kolom agama mereka, yang turut serta mendepak Konghucu dari enam agama awal. Belum lagi, keputusan MK di atas tidak memberikan penjelasan apapun terhadap perlindungan kepercayaan atau kebatinan.
Pemberian garis miring yang diganti dengan kolom kosong dengan jaminan hak yang diakui Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2016 dalam kolom agama, bukan berarti tidak membawa masalah problematik bersamanya. Nyatanya, para pemeluk masih saja berada dalam bayang-bayang label ateis, sesat, dan kafir. Mereka juga sering ditolak dalam pemakaman.
Sistem Dapodikbud juga tidak memberikan kebebasan untuk tidak mengisi kolom agama dengan memberikan pernyataan “belum diisi dengan agama yang benar”, sebelum akhirnya angin segar putusan MK tahun 2016 membolehkan mereka untuk mengisi kolom agama sebagai penghayat kepercayaan.
Hidup Terjal yang Kekal
Kebebasan Putusan MK tahun 2016 tidak disambut baik oleh semua orang. Salah satu tokoh yang menentang putusan ini adalah Mahruf Amin saat masih menjabat sebagai Ketua MUI. Beliau mencanangkan keputusan diskriminatif agar menciptakan sebuah kartu berbeda untuk penghayat kepercayaan, alih-alih membolehkan mereka mengisi dengan nama penghayat kepercayaan. Alasannya adalah, menurutnya, aliran kepercayaan bukanlah agama.
Walaupun keadilan untuk kurikulum pendidikan bagi para penghayat telah didukung oleh Permendikbud Nomor 27 tahun 2016, peraturan ini juga banyak mengabaikan banyak keberagaman dalam pelaksanaanya.
Salah satu isu ini disorot oleh Subhi Azhari, Direktur Eksekutif Yayasan INKLUSIF yang merupakan sebuah yayasan di bidang inklusivisitas. Menurutnya, sistem yang ditawarkan bisa menjadi bumerang bagi pelaksanaan di lapangan karena mendorong penyeragaman penghayat sebagai satu entitas tunggal.
Selain itu, karena kebijakan ini disusun di tingkat nasional dan terpusat oleh Kemendikbud, maka akan menimbulkan kecenderungan hanya bisa mengakomodasi penghayat yang mau terlibat dalam penyusunan kurikulum. Masalahnya adalah, untuk bisa berkontribusi dalam penyusunan, para penghayat harus tergabung dalam organisasi.
Semakin Tersisih
Realitas penganut agama Marapu dapat dilihat dari pernyataan Umbu Remi dalam tulisan Anjar Jawamara yang berjudul Marapu, Agama Leluhur yang Tersingkir dan Terasing. Dia berkata: “Sampai saat ini (tahun 2021), ribuan anak-anak di Sumba Timur dari usia dini hingga menengah, belum menikmati pendidikan sesuai dengan ajaran kepercayaannya. Pola pendidikan masih sama sebelum kebijakan itu ada. Anak-anak Marapu harus mengikuti pendidikan agama yang mayoritas di sekolah tersebut.”
Selayaknya sudah jatuh tertimpa tangga berkarat, Marapu yang sudah mulai bisa mengecap angin sepoi-sepoi, kini menghadapi masalah baru dalam penyerobotan tanah wilayah mereka. Berdasarkan laporan Project M, PT Muria Sumba Manis melakukan perusakan terhadap lokasi yang menjadi lokasi ritual sembahyang mereka yang telah mendapatkan perhatian Kemendikbud. Namun, tidak ada tindakan lebih lanjut dari pemerintahan setempat. Mirisnya, mereka dipenjara saat melindungi hak mereka sendiri karena melakukan perobohan sebuah tenda tanpa izin di wilayah yang menjadi tempat ritual.
Pada akhirnya, pemeluk penghayat selalu terkesan sama seperti orang-orang taklukan yang harus mengikuti semua peraturan pendatang. Tanah diserobot, pendidikan terpinggirkan, serta kebebasan beragama tak pernah bebas sepenuhnya. Mau tidak mau, semuanya soal memilih posisi yang tepat, atau tersisih cepat atau lambat.