Contemplating, realizing, and breathing.

Rima Ababil: Suara Amarah Rakyat yang Tak Pernah Padam

Nayla Shahira

3 min read

“Dengan khasanah busur serapah tanpa panah,

Dengan ranah yang merubah khotbah menjadi limbah,

Dengan lanskap penuh kesumat, despot melaknat,

Penuh bigot yang bersandar pada jaminan polis dan jimat,

Maka kupinang kepalan pelumat.”

 Homicide, “Rima Ababil

 

Lagu dimulai. Pada detik awal, terdengar suara familiar yang bergaung melalui toa, melantunkan kalimat penuh rasa buncah yang bercampur amarah. Kita pernah mendengarnya di suatu tempat. Suara yang meminta pertanggungjawaban, mengekspresikan kekecewaan di keramaian yang ditujukan pada “mereka” yang gagal untuk gagah.

Di tahun 2004, grup musik rap Homicide sukses menulis dan membawa kegusaran mereka ke dalam kumpulan prosa dan diksi fantastis yang dikemas menjadi lantunan rap berupa lagu. Grup ini mampu mengumpulkan lagu-lagu tersebut menjadi sebuah album apik berjudul Barisan Nisan. Berisikan delapan lagu bergenre hiphop, album ini dirilis pada 5 Desember 2004. Di dalamnya, terdapat “Rima Ababil” yang menjadi sumber dari penggalan kalimat di atas.

Orasi Munir Said Thalib menjadi aktor yang memulai lagu ini dengan mentah dan segar. Ia menciptakan pemantik bagi gairah pendengar yang terbangun sepanjang lagu diputar. Empat menit lima puluh enam detik berisikan vokal cepat khas rap, untaian kalimat ini berjalan seperti mengepal penuh amarah. 

Semua yang terlantun dibumbui banyak kata pelik namun cogah. Mendengarkannya sekali sudah berhasil menarik jiwa kita penuh kekaguman. Homicide mengekspresikan berbagai emosi mereka dengan cara yang flamboyan, terefleksikan melalui pemilihan kalimat yang tidak asal bunyi tetapi jauh amat berisi.

“Hingga liang lahat, dengan eskalasi perang badar

Membakar akar penyeragaman bawah sadar

Pasca kolonial pasca neraka horizontal

Pasca bumi dan langit, aku dan kau menjadi wadal”

Lagu ini sekilas mengingatkan saya pada teori yang dicetuskan oleh Lewis Mumford mengenai perkembangan kota. Di dalamnya, terdapat tahap Tyrannopolis, keadaan di mana kota mulai mengalami kemerosotan dan timbul berbagai permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan, seringkali bersumber dari buruknya tata kelola, keserakahan, serta penindasan politik atau sosial. Kota pada tahap ini cenderung didominasi oleh kekuasaan otoriter yang menempatkan keputusan secara terpusat tanpa melibatkan campur tangan masyarakat. Pemerintah dan para penguasa kota lebih mementingkan kepentingan elit atau kelompok tertentu, yang kemudian mengarahkan kota pada ambang kehancuran. Teori ini menggambarkan potensi sekarat, kacau, dan rentan yang sangat mungkin dihadapi suatu daerah, tak terkecuali kota dan negara yang kita singgahi.

Penggambaran mengenai kehancuran dan keributan di masyarakat yang mengarah pada kondisi destruktif inilah yang hendak digambarkan dalam “Rima Ababil”. Hasrat menggebu-gebu yang ditujukan untuk membakar omong kosong para tirani, menolak menjadi kurban para rezim. Lagu ini dengan bebas berkoar, tidak takut menghadapi kiamat dan akhir berupa kehancuran.

Maka argument terlahir dari kerongkongan korban

Digorok di pagi buta di lapangan pedesaan

Dikubur bernafas di makam semua kutukan

Menaruh rima di atas hitungan ritme pukulan rotan Brimob

Untaian lirik dalam lagu ini juga hadir membawa tema penindasan bagi para korban yang semula berani berargumen dengan lantang. Ia menceritakan luka yang familiar dihadapi bangsa Indonesia, terutama aktivis seperti Munir yang orasinya diputar di awal lagu. Bait ini kembali ditujukan pada korban yang dulu berkoar bersuara, menyuarakan rima melalui kerongkongan mereka untuk masyarakat. Orang-orang tersebut masih abadi dalam lirik ini, suara mereka didengar melalui lagu ini.

Baca juga:

Kendall Walton, dalam artikelnya yang dimuat The Journal of Aeshtetics and Art Criticism, mengatakan bahwa, “Musik sendiri bukanlah penopang seperti pada lukisan atau novel. Apa yang musik lakukan adalah untuk menyuplai kita dengan pengalaman-pengalaman ketika mendengarnya, dan kita menggunakan pengalaman ini sebagai penopang. Ini adalah pengalaman auditori, bukan hanya musik itu sendiri yang menghasilkan kebenaran-kebenaran fiksional.” Hal inilah yang dilakukan Homicide, menyuapi pengalaman kepada pendengar dengan audio, lirik, dan berbagai unsur lainnya. Pengalaman tersebut kemudian mengarahkan mereka pada kebenaran yang terbangun dalam dunia fiksional sebuah lagu, yang sebenarnya tidak terlepas dan diambil dari kebenaran yang terdapat dalam dunia nyata.

Dalam “Rima Ababil”, kebenaran itu berupa rasa gusar dan marah yang terdapat tidak hanya pada musik tersebut, tetapi juga pada masyarakat. Ucok dan kawan-kawan menyoroti sisi kelam dan kotor peradaban Indonesia, menunjukkan kerusakan yang mulai bertumbuhan dan bertumbukkan satu sama lain. Bak pasukan burung Ababil, lagu ini bersuara bersama dengan orang-orang yang pernah turut menyuarakan rimanya untuk Indonesia.

Apa yang kemudian menciptakan dilema yang cukup menggerogoti pikiran saya adalah fakta bahwa lagu ini ditulis hampir dua puluh tahun yang lalu. Imajinasi dan penggambaran yang diberikan seharusnya relevan hanya pada saat itu. Namun, nyatanya lagu ini masih amat sejalan dengan keadaan sekarang. Situasi dulu dan kini tidaklah jauh berbeda, justru masih sama dalam menghadirkan kemelut di kehidupan masyarakat.

Penguasa yang masih sama bengisnya, sumpah serapah yang masih bergaung dengan keras, hingga liang lahat semakin banyak bagi yang berani bersuara. Keadaan tidak pernah membaik, justru semakin keras dan kacau. Lagu yang ditulis oleh Herry Sutresna dan Ridwan Gunawan ini tidak akan pernah mati memudar seiring keadaan Indonesia yang tidak pernah membaik.

Rima ini adalah kontra komando, menolak berkarat

Di pengujung tengat merancang beliung serupa tornado

Untuk balans yang banal, balada dalam kanal dialog satu arah sejarah yang berkoar bertemu final

Hingga satu subuh para sayap terentang, menantang menara rutan dengan kesadaran para pecundang

Dengan lagu ini, Homicide merangkul dan membuat banyak kesadaran untuk bergumul. Amarah rakyat akan tetap bertahan. Mereka menolak untuk lemah dan enggan untuk mundur demi keseimbangan yang tampak biasa dan dinantikan akhirnya. Masyarakat akan terus melantamkan rima-rimanya, berkumpul layaknya burung Ababil untuk menantang tornado dan apapun yang coba menghadang. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Nayla Shahira
Nayla Shahira Contemplating, realizing, and breathing.

One Reply to “Rima Ababil: Suara Amarah Rakyat yang Tak Pernah Padam”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email