Membaca Keluh Kesah George Orwell

Wahid Kurniawan

2 min read

Nama Orwell kiranya cukup dikenal para penikmat sastra di Indonesia. Pengarang novel fenomenal Animal Farm dan 1984 itu dinobatkan sebagai tokoh sastra yang penting dalam sejarah kesusastraan Inggris modern. Lima puluh tahun berlalu sejak meninggalnya sang pengarang, karya-karyanya pun telah menjadi public domain. Penerbit mana pun berhak menerbitkannya tanpa perlu memberikan royalti kepada pemegang hak waris si penulis. Kini, berbagai penerbit di Indonesia tak ketinggalan menghadirkan karya-karya Orwell, bahkan dalam satu edisi khusus, Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengambil kesempatan itu dengan menerbitkan enam novel terkenal Orwell sekaligus—Animal Farm, 1984, Down and Out in Paris and London, Burmesse Days, Tetaplah Jaya, Aspidistra; dan Menghirup Udara Segar.

Tak hanya karya fiksi atau novelnya saja, pembaca Indonesia patut bersyukur sebab terjemahan karya Orwell yang lain juga telah ada. Karya nonfiksinya, kumpulan esai misalnya, diterbitkan oleh Diva Press (2019) dan diberi judul Bagaimana Si Miskin Mati (Bahasa, Kesusastraan, Politik, dan Kemanusiaan). Kumpulan esai ini menjadi rekam jejak si penulis, sebab isinya yang beragam, dari pandangan politiknya, pengalamannya, sampai kecenderungan tertentu akan keadaan sosial di sekitarnya. Orwell, kita tahu, memiliki sejumlah pengalaman menarik dan unik. Pengalaman itu yang menjadi cikal-bakal dari mahakarya-mahakaryanya. Pengalaman-pengalaman itu pula yang banyak dikisahkan dalam buku ini.

Misalnya, Orwell berkisah mengenai pengalamannya menjadi penjaga toko buku di sebuah daerah kumuh di London dalam esai Kenangan di Toko Buku. Ia masih muda kala itu, dan pengalaman menjaga toko buku berisi keseharian yang tak terlupakan baginya. Orwell mengisahkannya dengan gaya yang jenaka, sekaligus membuat pembaca seolah masuk dalam dunia yang dikisahkannya. Uniknya, apa yang ditunjukkan Orwell bukanlah sisi yang baik-baik saja. Sebaliknya, Orwell mengisahkan keburukan-keburukan para pengunjung toko buku dengan segala kekhasannya. Orwell menyebut beberapa tipikal pengunjungnya, misal para lansia yang mencari buku yang pernah dibacanya bertahun-tahun lampau tapi tak ada yang diingatnya selain warna buku itu, dan Orwell dituntut untuk membantu menemukannya; atau kecenderungan pembaca atau pengunjung laki-laki yang tak menggemari romansa, tetapi lebih menggemari cerita detektif yang seru; atau mereka yang memesan buku-buku langka dan meminta Orwell untuk menyimpan buku tersebut, tetapi mereka tidak pernah kembali untuk mengambil pesanan tersebut. Singkatnya, Orwell seperti mengeluhkan pengalamannya terdahulu selama menjadi penjaga toko buku. Pengalaman itu ia tuangkan dalam salah satu karya besarya, yaitu Keep The Aspidistra Flying.

Cerita lainnya, datang dalam esai yang berjudul Pengakuan Seorang Pengulas Buku. Orwell menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam esai ini. Dan sudah barang tentu, subjek cerita ada dalam figur seorang pengulas buku. Dan lagi, apa-apa yang dikisahkan Orwell adalah hal-hal buruk yang dilakukan para pengulas buku. Mereka, misalnya, kerap berbohong manakala menimbang buku-buku yang dikirimkan penerbit untuk diulas. Mereka akan memakai frasa seperti ini buku yang baik atau buku ini patut dibaca, sementara mereka sebetulnya tak menyukai buku itu, atau bahkan menganggap itu buku yang buruk. Tapi toh, dalam ulasan-ulasan yang mereka tulis, mereka jarang sekali mengatakan yang sebenarnya. Keadaan ekonomi menjadi alasan mengapa mereka melakukan itu. Lagipula, buku-buku yang dikirim penerbit kepada para pengulas buku ini pun lebih sering buku-buku bertopik asing. Buku itu jarang dibaca sampai selesai, lebih sering hanya 50 halaman awal, lantas langsung diulas saja. Dalam keadaan itulah, Orwell seperti menggarisbawahi, para pengulas buku itu semata hanya memenuhi tuntutan penerbit. Dari mana Orwell tahu? Ya, itu karena ia sendiri pernah menjadi pengulas buku.

Orwell pun mengelaborasi pandangannya dalam proses menulis seorang pengarang. Orwell mengawali karirnya sebagai penyair di usia muda, lalu menjadi bagian editorial majalah sekolahnya, sebelum kita mengenalnya sebagai novelis cum kolomnis di media-media besar kala itu. Orwell memiliki perspektif unik terhadap profesi penulis. Baginya, setiap pengarang atau penulis memiliki motif tertentu, dan ia menyebutkan ada empat motif seorang menjadi penulis, yaitu: egoisme, antusiasme estetik, dorongan historis, dan tujuan politik. Keempat motif itu bisa jadi muncul secara simultan satu sama lainnya, atau bisa juga salah satu motif atau alasan tersebut tampak lebih menonjol ketimbang ketiga motif lainnya. Tapi yang pasti, hampir selalu, setiap penulis memiliki motif-motif tersebut. Orwell pun demikian. Karya-karyanya mencerminkan keempat motif tersebut.

Demikianlah beberapa pandangan Orwell atas topik-topik yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Lainnya, kita pun bisa menemukan topik seputar kemanusiaan, bahasa, politik, juga kemanusiaan dalam esai Orwell lainnya. Misalnya, ada esai yang merekam pengalamannya saat menjadi polisi imperialisme di Burma; pengalaman saat menjadi penyiar radio; pengalaman saat menyaksikan prosesi hukuman gantung; sampai pengalaman saat ia sakit dan mendapati kenyataan pahit terkait minimnya sisi kemanusiaan sekelompok orang. Kesemua topik itu termaktub dalam esai-esai di buku ini. Proses menyelami sekian esai itu seperti melihat sisi lain dari diri Orwell. Kita seperti menyaksikan kisah hidup seorang yang penuh pengalaman unik yang membuatnya memiliki kekhasan perspektif dan pikiran. Sesuatu yang mengasyikkan di sela menikmati karya fiksinya.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Wahid Kurniawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email