Flexing adalah fenomena memamerkan apa yang seseorang miliki kepada khalayak umum, biasanya di media sosial. Mereka yang melakukan flexing ingin terlihat menarik dan paling unggul dalam berbagai hal di kalangan sesama pengguna media sosial.
Mewajarnya perilaku flexing di media sosial seakan jadi pembelaan dan motivasi bagi para penggunanya untuk berlomba-lomba menampilkan status sosial dan ekonomi mereka. Nyaris segala hal bisa dijadikan bahan pamer, mulai dari pencapaian karier, pengalaman makan di restoran kelas atas, liburan, koleksi barang branded, hingga hobi. Tak heran, fenomena flexing ini sangat menguntungkan industri marketing sebagai cara ampuh mempromosikan produk kepada para calon konsumen yang sesuai target pasar.
Apa yang sering dijadikan bahan pamer atau flexing oleh seseorang itu kemudian turut andil membentuk penjenamaan diri (personal branding) orang tersebut. Selanjutnya, bila personal branding tersebut sukses, orang tinggal menuai buahnya, yakni validasi dari audiens mereka.
Baca juga:
Salah satu pendorong perilaku flexing adalah perasaan insecure. Orang-orang yang merasa keberadaan dirinya kurang dihargai atau kurang dianggap oleh orang lain terobsesi menunjukkan bahwa dirinya berhak diterima dan dihargai. Salah satu caranya tak lain adalah dengan flexing.
Menurut filsuf Jerman, Erich Fromm, insecurity merupakan bentuk hilangnya kebebasan manusia. Baginya, setiap individu yang takut kesepian bakal membunuh kebebasannya hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Lantas, manusia bakal tunduk terhadap manusia lain yang dianggap berperan dalam memberikannya pengakuan. Ini mendorong munculnya perasaan inferior yang membuat individu merasa lebih rendah daripada orang lain.
Muncul satu lagi fenomena, yakni masokisme. Fenomena ini terjadi pada orang yang merasa insecure yang terdorong melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ia inginkan demi memenuhi standar kesuksesan atau kebahagiaan orang lain.
Fenomena masokisme termasuk pula perilaku memaksakan diri walaupun sadar bahwa dirinya tidak memiliki sumber daya atau kapasitas untuk menjadi sama atau serupa dengan sosok yang menjadi role model seseorang. Dalam jangka panjang, masokisme membuat seseorang kehilangan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Wabah flexing yang menjangkiti manusia modern menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan diri hingga rela mati-matian menampilkan apa yang sebenarnya bukan dirinya demi dapat “diterima”. Friedrich Nietzsche, filsuf kenamaan asal Jerman yang menganggap dirinya sendiri sebagai filsuf Psikologi pertama, beranggapan bahwa untuk mengetahui jati dirinya, seseorang harus mampu membuka topeng untuk melihat kedalaman jiwanya. Namun, kebanyakan orang takut pada kompleksitas pedalaman diri mereka dan kelewat nyaman berada di “permukaan”.
Ketidakberanian itulah yang membuat seseorang tidak sadar bahwa mereka sedang tersesat dalam ruangan yang dikelilingi jeruji besi. Tentu bukan secara harfiah. Jeruji besi itu bentuk imajiner dari berbagai macam tekanan dari pihak yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Kehidupan dalam kerangkeng imajiner ini menyebabkan seseorang melulu gagal mencapai kebahagiaan yang sejati.
Kerangkeng dan ketergantungan itulah yang, dalam pandangan Nietzsche, disebut sebagai moralitas budak. Orang yang berkubang dalam moralitas budak tidak pernah berbuat dari dan untuk diri mereka sendiri (ketidakberdayaan) karena tergantung pada tuannya.
Sikap tuan punya sebutannya sendiri, yakni moralitas tuan berupa ungkapan hormat terhadap diri sendiri. Para tuan ini sangat yakin bahwa segala tindakan mereka selalu baik. Moralitas tuan menilai baik atau buruknya suatu perbuatan tidak tergantung pada perbuatannya, tapi tergantung pada pribadi yang melakukannya.
Baca juga:
Masih menurut Nietzsche, kemuliaan tercapai apabila manusia sudah menjadi sosok yang vital, teguh, terampil, dan ningrat. Karakteristik manusia inilah yang ia sebut sebagai Ubermensch. Jika sesorang ingin mencapai kemuliaan tersebut, hendaklah ia melakukan ajaran the will of power atau kehendak berkuasa.
Kehendak berkuasa merupakan daya hidup paling primordial dalam diri manusia. Dengan begitu, kehendak berkuasa mampu membebaskan diri manusia dari belenggu-belenggu psikis sehingga ia dapat menjalankan apa yang benar-benar ia mau.
Apabila kehendak berkuasa sudah tertanam dalam jiwa seseorang dan ketergantungan telah sirna, maka seseorang boleh dikatakan berhasil berdaulat akan dirinya sendiri. Dalam konteks manusia modern yang kecanduan media sosial, seseorang sudah mencapai kebahagian versi dirinya sendiri tanpa perlu flexing dan pengakuan dari orang lain.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Diperbudak Konten”