Kisah yang Hampir Memudar dan Puisi Lainnya

Dimas Anggada

1 min read

Sesuatu yang Menyemai Hidup

Pagi meluncur dalam derap mabuk
angin-angin, menyusuri daratan basah,
daun-daun, dan batang yang rapuh
meremah merupa butir pasir, lalu
memeluk tubuh yang tak lagi hadir

Segala yang menyentuh, tangan,
jari-jemari, pipi-pipi, membekas
guam-guam merah panas
dan menyakitkan

Mata belum lagi mampu menemukan celah
dalam selaput tipis dinding pada batu

Dingin, lalu suam-suam
dingin lagi, demam
hangat, hangat,
sedikit hangat

Rasakan tanah pada telapak ini
rasakan kerikil pada kuku-kuku ini
goresan-goresan menggaris panjang
tak berkesudahan, lalu membentuk
sungai-sungai, arus-arus, dan
semburan-semburan udara
yang ingin bebas, terbang

Matahari pun mengintip
dan menyemai hidup
seperti biji-bijian
yang tersapu hujan

Subuh

Pada subuh yang tertinggal
jam mengarah menunjuk angka ganjil
koak gagak, seperti doa yang dilafal,
mengekor manusia, untuk memeluk
dirinya, dalam naungan bugenvil

hari-hari tak lagi bermusim
masa lalu kini bagai api
membentuk gejolak
melangkah jingkrak-jingkrak
dalam peluh yang penuh
dan juga berbau asam

Jalan pulang menjauh
jalan pulang telah runtuh
jalan pulang, dalam suluh,
menyinari gelap, mengintai tubuh

Barangkali
jelmaan yang tak berupa
mampu membebaskan
mampu menyegarkan
tangkai-daun, bunga,
dan mungkin juga
tanah-tanah gembur
yang disiram tiap hari usai

Kita

Kita telah jauh rupanya
merentang tak terlihat
berkabut berwarna abu

Jarak masih menanti
tahun, bersama waktu,
menunggu hingga penghabisan hari

Dalam duka, juga kegamangan
kesedihan rasanya tak tercatat
dirimu pun menderas, makin mengeras
membentuk kepingan masa lalu

Kenangan tak pernah sama

Wajahmu seakan gugur
pudar oleh lembabnya musim
dan berlalunya hujan

Akhir

Pada momen terakhir
neon-neon mati
waktu diam, dan
bunyi terhenti

Pada seperempat jam sebelum subuh
tak ada lagi rekah

Langit tak terbakar
namun menjelma debu
dengan rintik-rintik dingin
—dan fajar menepi, takut

Orang-orang mati
dan mereka,
mempersiapkan tanah basah
untuk digali,
untuk terakhir kali

Tubuh tak pernah mengira
bahwa hidup akan mengerut

Pada hari ketika tak ada lagi yang ranum—lanskap buram, kemudian kosong
lalu ada yang berkata:

“Mungkin, kita sudah lama mati… ”

Memudar

Pada kisah yang hampir hilang
kau menemukanku
dalam kecemasan

hari-hari tak lagi sama
tak lagi pucat,
bahkan malam
tak lagi sepenuhnya gelap

Ruang seakan menyempit, hingga huruf-huruf menyebrangi pembicaraan kita yang mungkin akan larut

Pada malam pertemuan itu,
aku merasakan tanganmu susut
cahaya pun membinari matamu,
dan, suaramu,
terdengar seperti desiran angin setelah hujan

Kehangatan itu sebentar rupanya, tak sempat untuk dirasakan sebelum menghilang

(2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dimas Anggada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email