Mahasiswa yang mengisi waktu luangnya dengan hal-hal iseng, seperti menulis.

Nasib Kesejahteraan Satwa di Era Konten

Yoga Firman Firdaus

2 min read

Kemajuan teknologi digital memengaruhi interaksi manusia dengan hewan. Semua orang bisa memproduksi konten dengan melibatkan hewan, mulai dari konten hiburan hingga edukasi. Bersamaan dengan itu, muncul kekhawatiran tentang kesejahteraan hewan, khususnya hewan-hewan yang dieksploitasi untuk dijadikan konten.

Periset Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fikom Universitas Padjadjaran, Herlina Agustin, mengatakan bahwa penyiksaan hewan dalam kasus primata sering terjadi dari tahun 2013. Sejak Juli 2020 hingga Agustus 2021 saja, ada 5.480 konten yang menayangkan kekerasan terhadap hewan. Mirisnya, dari jumlah tersebut, sebanyak 1.626 konten penyiksaan berasal dari wilayah Indonesia. Sebanyak 5.480 konten penyiksaan hewan telah ditonton sebanyak 5.347.809.262 kali. Data ini diperoleh dari penelitian Asia For Animals Social Media Animal Cruelty Coalition yang melihat persebaran konten hewan secara global di media sosial YouTube, Facebook, dan TikTok.

Melihat banyaknya penonton konten penyiksaan hewan, boleh dibilang masyarakat terlihat kurang peduli terhadap isu kesejahteraan hewan. Masyarakat Indonesia, selaku penyumbang konten penyiksaan hewan terbanyak sedunia, punya banyak PR terkait pemenuhan kesejahteraan hewan yang mesti segera diselesaikan.

Akan tetapi, cita-cita memenuhi kesejahteraan hewan semakin berat terwujud karena influencer Indonesia mewajarkan produksi konten eksploitasi hewan. Sebut saja konten yang menampilkan monyet sebagai bahan hiburan atau hewan liar seperti harimau yang dijadikan teman bermain.

Baca juga:

Perbuatan menjadikan satwa liar untuk dipelihara atau diperjualbelikan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam UU ini, tidak semua hewan liar terlarang untuk dipelihara dan diperjualbelikan, hanya hewan yang masuk kategori dilindungi yang tidak boleh dipelihara. Selain itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga memberikan aturan tambahan, yakni hewan liar dapat dipelihara asalkan bukan didapat dari alam, tapi dari penangkaran dengan kategori F2.

Namun, perlu untuk diketahui bahwa dalam konsep animal welfare, kesejahteraan hewan liar tidak akan dapat terpenuhi jika ia dipelihara oleh manusia. Sebab, hewan liar yang dipelihara akan kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan perilaku normalnya seperti insting berburu.

Jika merujuk pada UU tersebut serta ketentuan tambahan dari BKSDA, memelihara hewan liar dan mengunggah konten yang memperlihatkan hewan liar dipelihara tidak dapat disalahkan. Celah peraturan ini membuka peluang terjadinya eksploitasi terhadap hewan, setidaknya dalam aspek tidak terpenuhinya kebebasan hidup.

Hewan yang menjadi korban kekerasan demi konten dapat mengalami rasa sakit fisik, ketakutan, dan trauma jangka panjang. Selain itu, menurut pakar animal welfare dari Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) Universitas Airlangga, Prima Ayu Wibawati, terkhusus dalam kasus penyiksaan berbentuk kekerasan seksual, hewan akan mengalami sakit fisik sehingga organ reproduksinya bermasalah. Kemauan seksual hewan akan berkurang, bahkan hilang akibat terhambatnya hormon rangsangan dan juga membuat perilaku hewan tersebut tidak terkontrol.

Bukan hanya hewan yang dikenai perilaku kekerasan yang terdampak dari adanya konten tidak bertanggung jawab itu, penonton konten pun terdampak, terutama  penonton dalam rentang usia anak-anak. Sebuah survei yang dilakukan oleh Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) mengungkap bahwa 23 persen dari anak berusia 10 hingga 18 tahun telah melihat kekejaman terhadap satwa di media sosial. Seorang ahli Psikologi, Mary Lou Randour, yang juga menjadi penasihat senior untuk Program Kekejaman terhadap Satwa di Animal Welfare Institute, menyebut bahwa paparan terhadap kekerasan pada usia dini dapat mengubah neuron dan perkembangan otak secara negatif. Hal ini nantinya akan memengaruhi kemampuan anak untuk mengatur emosi, kesehatan fisik, kapasitas kognitif, dan kontrol perilaku.

Mungkinkah Mencapai Kesejahteraan Hewan?

Perlu kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas untuk menyudahi eksploitasi terhadap dan memenuhi kesejahteraan hewan. Edukasi tentang kesejahteraan hewan menjadi kunci untuk meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa hewan memiliki hak dan ketergantungan pada manusia. Selain upaya organisasi-organisasi yang selama ini sudah giat mengampanyekan hak-hak hewan, peran aktif individu dalam menyosialisasikan isu ini kepada komunitasnya juga sangat penting.

Selama ini, kita sudah punya Pasal 302 KUHP yang menyatakan bahwa perbuatan kekerasan terhadap hewan dapat dipidana hingga 9 bulan dan dikenai denda maksimal Rp400.000,00. Kemudian, ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan yang melarang kegiatan yang menyebabkan penderitaan pada hewan. Namun, nyata-nyata praktik kekerasan terhadap hewan malah semakin marak. Artinya, ada yang kurang dari peraturan maupun penegakan peraturan tersebut.

Perlu ada peraturan yang lebih tegas dan “membikin kapok” terkait tindak kekerasan terhadap hewan di Indonesia. Tak cukup sampai situ, peraturan itu tidak bisa sekadar ada, tapi juga harus benar-benar ditegakkan.

 

Editor: Emma Amelia

Yoga Firman Firdaus
Yoga Firman Firdaus Mahasiswa yang mengisi waktu luangnya dengan hal-hal iseng, seperti menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email