Apakah kamu pernah tergoda menuruti keinginan yang bukan kebutuhan utamamu? Misal, promo flashsale yang memunculkan perasaan sangat sayang untuk dilewatkan sehingga kita tak tahan check out benda lucu, viral, atau aesthetic terbaru yang tidak kita butuhkan. Kadang, kita impulsif berbelanja barang promo tanpa sadar. Namun, seringnya, kita justru melakukan hal itu secara sadar penuh, lalu menyesal setelah mendapati barang yang kita beli semata-mata karena kalap tidak terlalu berguna.
Media sosial membuat kita terpapar gaya hidup dan tren terkini. Sepintas, semua itu tampak modern dan elegan secara visual sehingga menarik minat kita untuk mengikuti tren. Kita ingin terlihat sama dengan orang-orang di media sosial, minimal dalam hal berpakaian. Ini wajar, tetapi jika dilakukan dengan memaksakan diri di luar kemampuan, maka boleh dikatakan kita telah masuk perangkap konsumtivisme. Ya, teknologi bernama media sosial itulah yang mengarahkan kita menjadi masyarakat konsumtif.
Baca juga:
Memang manusia butuh menyenangkan diri sendiri. Namun, sering kali orang terjebak kesenangan berupa konsumsi materi yang tiada henti. Konsumtivisme seakan telah menjadi ideologi baru. Artinya, konsumtivisme memberi makna hidup dengan segala pemenuhan materialistis sampai-sampai orang memikirkan sesuatu dengan ukuran dan tujuan yang sifatnya materialis. Orang dengan sifat konsumtif lantas terjebak dalam keinginan sementara dan tidak memiliki skala prioritas.
Paradigma konsumtivisme ciptaan para kapitalis ini membuat masyarakat terjebak dalam satu dimensi. Herbert Marcuse adalah pemikir mazhab Frankfurt yang menawarkan kritik one dimensional men atau manusia satu dimensi tersebut, yakni kapitalis menciptakan produk dengan tampilan menarik dan halus untuk memikat masyarakat ke jerat konsumtivisme. Kapitalis menawarkan produk-produk mereka seolah sebagai kebutuhan primer sehingga masyarakat lantas tergerak mengumpulkan modal untuk memenuhi kebutuhan palsu itu. Manipulasi kebutuhan inilah yang membentuk pola pikir satu dimensi di masyarakat.
Manusia Satu Dimensi
Kritik Marcuse terinspirasi oleh masyarakat industri modern di Amerika dan Eropa. Lebih lanjut, Marcuse menjelaskan bahwa yang ia maksud sebagai manusia satu dimensi adalah masyarakat yang pasif dan reseptif, serta tidak kritis dan tidak pula menghendaki perubahan. Satu dimensi ini mulai tampak setelah kalangan buruh kehilangan semangat revolusionernya. Buruh bisa menjadi konsumen dan memiliki fasilitas yang sama baiknya dengan para kapitalis karena manipulasi kebutuhan yang dimungkinkan oleh limpahan produksi. Kebutuhan palsu hasil manipulasi ini disebut juga kebutuhan semu.
Kapitalis memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperkuat dan mempertahankan kepentingan beserta kekuasannya. Kapitalis tidak lagi bekerja dengan cara yang kejam atau menuntut, tapi dengan sistem yang lebih lembut dan ramah. Penggunaan cara-cara kekerasan atau teror telah dianggap kuno dan tidak produktif. Tindak kekerasan hanya akan menimbulkan ketakutan sesaat dan menimbulkan kebencian yang diikuti dengan perlawanan. Cara tersebut tidak akan membuat kekuasaan kapitalis bertahan dalam jangka panjang. Maka dari itu, mereka menggantinya dengan cara yang lebih rasional dan terkesan tanpa paksaan, tapi mujarab dan mematikan.
Terlebih, generasi sekarang memiliki ke-aku-an yang tinggi. Mereka ingin mendapat sanjungan dan pelayanan terbaik. Mereka jugalah generasi instan yang menginginkan kemudahan dalam mendapatkan sesuatu. Penguasa kapital lantas membentuk sistem untuk memanjakan generasi saat ini agar terlelap hingga hanyut dalam kenyamanan dan hidup enak.
Mudah bagi kapitalis untuk menggiring masyarakat ke satu pola pikir yang sama. Beragam penawaran produk diberikan narasi logis dengan dalih yang kuat agar menarik. Hasilnya klop ketika dipertemukan dengan masyarakat konsumtif yang menyetujuinya tanpa protes.
Marcuse menganggap kebutuhan palsu sebagai suatu keperluan yang dibebankan oleh aneka kepentingan sosial tertentu kepada tiap individu dengan maksud menindas. Narasi kebutuhan palsu banyak disuarakan melalui media dengan aneka macam promosi, pameran, dan iklan berbagai barang produksi. Narasi ini diciptakan secara sistematis sehingga mengesankan terpenuhinya kepuasan atas fungsi produk yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan konsumen.
Baca juga:
Bebas dari Kebutuhan Palsu
Menurut Marcuse, kepuasan sejati diperoleh melalui pemenuhan kebutuhan yang mendukung perkembangan dan perwujudan diri secara bebas. Kepuasan sejati tidak mungkin diperoleh dari pemenuhan kebutuhan yang terkekang. Yang kedua ini lebih cocok disebut sebagai pelampiasan, alih-alih sewajarnya pemenuhan kebutuhan. Pemuasan kebutuhan yang tepat bisa diukur dengan mempertimbangkan kelayakan, kepantasan, tingkat kebebasan, serta tujuan sesungguhnya yang hendak diraih dari sana.
Naasnya, keputusan seseorang dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sering kali dieksploitasi. Kebebasan individu dalam membuat keputusan dikaburkan dengan adanya doktrin dan manipulasi kesadaran oleh media, utamanya hal-hal viral di media sosial. Orang yang tidak memiliki skala prioritas akan mudah goyah dan tergoda hal-hal material ketika dihadapkan pada situasi ini.
Marcuse menjadi penunjuk jalan bagi generasi selanjutnya untuk agar melek situasi sehingga tidak mudah terjerat pemenuhan keinginan yang jauh dari prioritas. Marcuse ingin menyingkap kesadaran palsu secara materi agar masyarakat mampu bersikap kritis dan revolusioner dalam menghadapi perubahan pola produksi-konsumsi.
Selalu tanyakan kepada diri sendiri tentang kebutuhan yang hendak dipenuhi. Untuk apa, mengapa, dan bagaimana jika produk tersebut kita beli? Jangan-jangan, kita tidak benar-benar butuh, tapi cuma lapar mata.
Sudah pasti butuh pun bisa kita tanyakan lagi preferensi kita terhadap produk-produk dengan fungsi serupa. Mengapa perlu membeli produk dengan merek ternama yang harganya mahal ketika ada produk serupa dengan harga jauh lebih murah biarpun mereknya tidak terkenal? Mampukah kocek kita menjangkau produk-produk bermerek mentereng? Apa keunggulan dan manfaat produk yang mahal bagi kita selain citra?
Nah, mari kita sama-sama berefleksi, apakah diri kita ini termasuk golongan orang-orang konsumtif?
Editor: Emma Amelia