Pada masa kini, kaum menengah ke atas ramai-ramai menyebarkan budaya flexing. Melalui sosial media, mereka menarik perhatian orang-orang dengan menampilkan harta benda atau pencapaian yang berhasil diraih dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi dan juga meningkatkan status sosial.
Budaya Flexing ini tidak terlepas dari pembagian kelas yang terjadi di masyarakat. Kelas borjuis adalah sekelompok orang kaya atau para pemilik kapital. Mereka memiliki peran yang luas dalam mengendalikan kelompok lainnya dengan kekuatan yang mereka miliki. Sedangkan kelompok proletar adalah kelompok masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki kapital. Mereka berada di dalam situasi perekonomian yang biasa saja atau bahkan berada dalam garis kemiskinan.
Kaum proletar ini hanya memiliki tubuh sebagai alat untuk mencari uang. Kaum proletar bekerja kepada para borjuis sebagai pemilik kapital. Perkembangan industri dan gaya hidup menuntut manusia untuk bekerja secara maksimal. Tuntutan ekonomi ini mengharuskan individu untuk terampil dan berprestasi agar mereka dapat mencapai tingkatan baru di dalam masyarakat.
Persona dan Tren
Pengetahuan yang luas dan kepemilikan harta merupakan dua indikator kebermaknaan hidup seseorang. Namun, anggapan itu akhirnya menciptakan generalisasi material, bahwa setiap manusia harus kaya dan intelek agar dirinya layak dan dihormati masyarakat. Perilaku tersebut menimbulkan persaingan antar individu untuk menampilkan persona diri yang maksimal dan selalu mengikuti perubahan tren.
Upaya untuk mendapatkan suatu legitimasi pun dilakukan melalui cara-cara yang dapat menganggu kenyamanan seseorang dan menimbulkan suatu perdebatan struktural. Misalnya, ada seseorang yang berprestrasi dalam bidang pendidikan. Selain mengikuti pendidikan secara formal, ia juga sering mengikuti pelatihan, sertifikasi, serta berbagai macam bentuk self-development yang diselenggarakan oleh instansi. Namun, dibalik kemampuan akademiknya yang baik, ia memiliki sifat haus akan suatu legitimasi. Inilah yang dapat kita katakan sebagai penyakit borjuasi, bahwa setiap kekayaan tidak hanya meliputi kapital yang dimiliki, tetapi juga kekayaan intelektual yang ditujukan untuk mendapatkan pengakuan.
Upaya mereka untuk mendapatkan pengetahuan tidak terbatas hanya sekadar untuk memusatkan perhatian orang kepada dirinya, namun ia berupaya untuk melakukan segmentasi kekayaan intelektual atau material yang bertujuan agar seseorang yang tidak berada di kelas yang sama dapat menjadi suatu objek penindasan fisik dan psikis.
Baca juga:
Passive and Active Flexing
Suatu legitimasi di masyarakat akan membawa kita pada perilaku flexing, di mana kita akan cenderung membabi buta dalam menunjukkan kemampuan kita di ruang umum, baik ketika atau tanpa diminta sekali pun. Ada dua kategori flexing, yaitu felxing passive dan flexing active. Memamerkan dokumentasi intelektual dan material di akun media sosial tanpa menyebabkan perdebatan dapat dikategorikan sebagai passive flexing. Sementara active flexing adalah tindakan flexing secara berulang yang dapat menimbulkan perdebatan dan membuat orang lain tidak nyaman.
Permasalahan ini sering timbul ketika seseorang berupaya untuk menjadi superior atas suatu kemampuan yang ia miliki. Passive flexing sering kita jumpai dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya memotret makanan untuk diunggah ke sosial media, memotret layar laptop ketika sedang meeting secara daring, mengunggah dokumentasi perjalanan selama liburan, dan sebagainya. Passive flexing memiliki peran penting dalam pencarian esensi hidup manusia.
Perilaku passive flexing harus dijaga agar tetap berada pada koridornya. Penyakit borjuasi ini timbul sebagai respons adanya segmentasi baru dalam kelas borjuis, yaitu borjuis kecil, borjuis menengah, dan borjuis besar. Persaingan yang terjadi di antara mereka menyebabkan adanya persaingan intelektual dan material agar dapat legitimasi massa atas suatu pihak. Kepemilikan kapital dan pengetahuan yang berbeda-beda pada setiap segmentasi borjuis ini memiliki pengaruh besar bagi kelas proletar. Para kaum borjuis ini berupaya untuk memberikan pengaruh pada kaum proletar yang berjumlah besar agar mereka dapat membawa kalangan mereka mencapai tingkatan baru dalam segmentasi borjuasi.
Kaum Proletar sebagai Konsumen Flexing Brojuasi
Kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi hanya mampu menjual tenaganya kepada kaum borjuis, tetapi para borjuis ini tidak hanya berebut untuk memeras tenaga kaum proletar. Mereka juga memberikan suatu tuntutan implisit agar para kaum proletar berpihak kepada mereka demi tercapainya tujuan borjuis.
Di sosial media, kaum borjuis yang memiliki sifat active flexing berusaha untuk saling mengalahkan. Mereka saling berlomba untuk mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Kaum proletar yang hanya berperan sebagai konsumen produk flexing tidak jarang terjebak dalam ketergantungan yang merugikan. Iklim legitimasi yang begitu ketat menyebabkan kaum proletar juga ingin mengikuti gaya hidup dari kaum borjuis, mulai dari segi material hingga intelektual. Ketertarikan ini menyebabkan kaum proletar mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengikuti kaum borjuis. Hasilnya, terciptalah suatu bentuk ketergantungan untuk menghasilkan pendapatan yang tidak terputus agar bisa Flexing. Tidak jarang seseorang mengambil pinjaman untuk memenuhi gaya hidupnya. Dan ini menuntut mereka untuk terus bekerja pada kaum borjuis agar dapat membayar tagihan sebagai akibat komersialisasi pencapaian dan material.
Dengan keterikatan tersebut, kaum proletar akan terus bekerja walaupun terjadi diskriminasi fungsi kerja yang dilakukan oleh kaum borjuis demi tercapainya keuntungan yang maksimal. Dan kaum borjuis juga berusaha untuk meningkatkan gengsi dan legitimasi sosial mereka atas suatu pencapaian yang mereka peroleh.
Perlu kita ketahui bahwa flexing memiliki bahaya laten. Budaya flexing mendukung perkembangan gaya hidup yang hanya mementingkan pencapaian kesenangan secara maksial dibandingkan dengan fungsi yang diperlukan untuk menjaga siklus kehidupan manusia.
Penyakit borjuasi ini bukan berarti suatu simtom yang akhirnya membunuh borjuasi secara langsung, simtom ini hanya bertugas untuk menyebarkan pengaruh pada persaingan kelas yang tidak dapat dihindari lagi baik borjuis atau proletar. Pada akhirnya, kaum borjuis cenderung diuntungkan ketika mereka menampilkan perilaku flexing, identifikasi tindakan yang mereka lakukan tersebut semata-mata hanya untuk menambah kekayaan dan gengsi borjuis.
Referensi:
Fromm, Erich. 2019. Mempunyai atau Mengada?. Yogyakarta: IRCiSoD;
Mill, Stuart John. 2009. Utilitarianism. Auckland: The Floating Press.