Mahasiswa Pascasarjana Prodi Studi Agama-Agama UIN Jakarta yang fokus pada kajian agama dan ekologi

Di Mana Posisi dan Peran Agama dalam Isu Krisis Lingkungan?

Fauzan Nur Ilahi

4 min read

Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta baru saja merilis hasil survei mereka, yang kemudian dikemas menjadi satu buku dengan judul menggugah: Dilema Environmentalisme: Seberapa ‘Hijau’ Masyarakat Indonesia?. Orientasi utama dari buku yang terbit pada November 2024 ini adalah untuk mengukur sejauh mana pengetahuan dan praktik environmentalisme di tengah masyarakat Indonesia.

Temuan penelitian ini menumbuhkan optimisme kita bahwa krisis lingkungan nampaknya bisa ditangani dengan baik dengan terus melakukan upaya distribusi informasi yang masif dan aktivisme environmetal. Buku ini menyuguhkan bukti bahwa dari tahun ke tahun masyarakat Indonesia menunjukkan peningkatan terkait pemahaman dan upaya untuk merespons isu-isu lingkungan.

Survei ini melihat berbagai variabel elementer yang dianggap turut menopang kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Di antaranya adalah variabel agama, gender, pendidikan, dan agen sosial. Dan dalam tulisan ini, saya tertarik untuk menelusuri satu di antara beberapa variabel tersebut, yaitu variabel agama.

Urgensi Kajian Environmentalisme Religius

Dalam Indonesia kiwari, geliat untuk meneliti mengenai posisi atau peran agama di tengah problem serta isu lingkungan, tumbuh secara pelan-pelan. Di Indonesia sendiri kajian ini masih terbilang baru. Apa yang disebut dengan ‘environmentalisme religius’ masih belum menjadi kajian utama dalam ranah akademik. Hal ini terbukti dari sedikitnya referensi berbahasa Indonesia dengan tema-tema terkait. Atau jika Anda ingin lebih yakin, silahkan ketik kata kunci ‘Environmentalisme Religius’ di kolom pencarian Google Scholar. Niscaya Anda akan melihat bahwa nyaris semua literatur yang muncul berbahasa Inggris.

Contoh lain, sebagai misal, beberapa karya yang dapat menjadi rujukan dalam mempelajari kajian ini juga disajikan dalam bahasa Inggris. Ada Anna M. Gade dengan bukunya yang berjudul Muslim Environmentalism: Religious and Social Foundations; atau bunga rampai dari berbagai penulis yang dieditori oleh Zainal A. Baqir, Michael S. Northcott, dan Frans Wijsen yang berjudul Varieties of Religion and Ecology: Dispatches from Indonesia. Tulisan ini dipublikasikan oleh CRCS UGM.

Baca juga:

Dalam kalangan umat Muslim di Indonesia, kita mungkin bisa mengacu pada semangat yang sama dalam narasi yang saat ini tengah berkembang, seperti gerakan Green Islam, walaupun narasi ini juga hanya dikenal oleh kelompok yang terbatas (baca: elite), terbukti dari hasil penelitian PPIM.

Padahal, mengingat agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang memengaruhi tingkah polah masyarakat di Indonesia, kajian tentang environmentalisme religius ini sangat penting dan mendesak untuk merespons krisis lingkungan yang kian hari kian parah. Artinya, jika kita memang serius untuk merespons problem lingkungan, maka penelitian terkait environmentalisme religius ini tak mungkin bisa dihindari sebagai salah satu upaya.

Environmentalisme religius, berdasarkan perkembangan definisi yang muncul melalui ragam perdebatan, setidaknya dapat dilihat dari dua sisinya yang berbeda, yaitu embedded environmentalism dan explicit environmentalism. Mengacu pada buku Dilema Environmentalisme yang mengutip Amanda J. Baugh dalam salah satu karyanya yang berjudul Explicit and Embedded Environmentalism: Challenging Normativities in the Greening of Religion, sisi yang pertama merujuk pada ekspresi environmentalisme yang disampaikan secara teologis, bukan politis, dan juga merujuk pada tindak tanduk seseorang atau kelompok yang sekalipun tak diniatkan untuk kelestarian lingkungan, tetapi memiliki dampak terhadap lingkungan. Sementara sisi yang kedua, adalah tindakan konkret berbentuk praktik terpadu yang oreintasinya jelas: memperbaiki atau menjaga lingkungan.

Setelah mengetahui mengenai urgensi kajian environmentalisme religius di Indonesia, pertanyaan selanjutnya adalah, lantas di mana posisi dan peran agama dalam konteks isu-isu environmental yang saat ini menjadi diskursus global?

Posisi dan Peran Agama

Untuk menelisik soal posisi dan peran agama, perlu kita melihat satu tesis yang ditawarkan Lynn White Jr. melalui jurnalnya yang terbit di tahun 1967 dengan judul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”. Jurnal ini setidaknya membawa premis bahwa sisi antroposentris dari agama telah menyumbangkan basis moral atas segala kerusakan lingkungan yang ada saat ini. Dalam tulisannya, White menunjuk pada ‘kontribusi’ agama (Katolik) yang dianggapnya turut serta memosisikan manusia sebagai tuan atas segala alam.

Baca juga:

White mengerti bahwa membicarakan agama dalam konteks teologis seperti dogma, kredo dan sejenisnya, sama halnya dengan membicarakan beragam tafsir dari tokoh-tokoh agama yang tengah dibahas. Maka di bagian akhir tulisan, White menyinggung tafsir alternatif atau dogma yang saat itu seolah tenggelam. Perspektif itu ia ambil dari Santo Fransiskus dari Assisi yang menurutnya lebih dekat dengan spirit ekologis. Perspektif White yang melihat agama sebagai (salah satunya) dibangun atas ragam tafsir atau interpretasi, memang terkesan (sedikit banyak) menghilangkan nilai sakral dan transenden dari agama itu sendiri.

Tetapi bagaimanapun kritik White terhadap antroposentrisme yang subur dalam agama-agama besar di dunia ini patut untuk kita telusuri lebih jauh, walaupun di sisi lain perlu juga kita sadari bahwa perhatian penelitian White ini luput dari agama-agama atau kepercayaan lokal yang tersebar di banyak negara, lebih-lebih di Indonesia, yang dalam bangunan sistem kepercayaannya banyak memuat nilai-nilai ekosentrisme.

Tak pelak saya juga teringat buku Daniel Dennett, Breaking the Spell, di mana pada awal-awal pembahasan, Dennett menegaskan bahwa seberapa tegas pun kelompok ateis tak percaya terhadap Tuhan (atau agama), tetapi fakta bahwa agama itu hidup di antara tingkah laku dan pola pikir banyak sekali masyarakat, tak dapat dinafikan. Kenyataannya, per hari ini masih lebih banyak orang beragama daripada yang tidak, sehingga penelitian soal agama masih sangat relevan.

Premis Dennett juga relevan dalam konteks kajian environmentalisme religius. Sebagai sistem kepercayaan yang menjadi basis pemikiran dan tindakan banyak sekali umat manusia, agama tak syak lagi harus (meminjam istilah Dennett) berada di bawah lensa penelitian untuk diukur peran dan posisinya dalam berbagai bidang kajian, salah satunya environmentalisme.

Seberapa pun sains sudah mampu menjelaskan soal krisis lingkungan dengan begitu apiknya, sejauh ini varibel agama sebagai produk kebudayaan yang nyata, tetap tak bisa ditinggalkan. Wiills Jenkins dan Christopher Key Chapple dalam jurnal berjudul Religion and Environment bahkan menulis:

“In those case, it seems that religion-science collaboration needs religion scholars with the sort of constructivist, reformist engagement with religious communities that facilities confrontation with the ambiguous science of complex environmental problems.”

Jika penelitian PPIM menyimpulkan bahwa posisi atau peran agama berada pada dualisme yang bertentangan, artinya secara inheren agama memiliki potensi untuk menjadi penentang atau pendukung gerakan serta nilai-nilai environmental, maka saya akhirnya melihat bahwa diskurus tentang peran dan posisi agama dalam menanggapi isu lingkukan sejatinya (salah satunya) adalah problem pertarungan wacana.

Baca juga:

Tesis ini selaras dengan apa yang dikemukakan White bahwa agama (setidaknya agama besar di dunia) memiliki banyak sekali cabang interpretasi atas teks dalam kitab suci. Kemenangan satu interpretasi atas interpretasi lainnya akan sangat menentukan tingkah laku para pemeluk agama tersebut. Oleh karena itu, perlu upaya untuk memunculkan dan menyebarluaskan perspektif alternatif yang selaras dengan spirit environmentalisme supaya wacana yang muncul tidak hanya didominasi oleh kelompok konservatif.

Di sisi lain juga perlu ada kajian mendalam dan meluas tentang kepercayaan-kepercayaan lokal yang, melalui bangunan sistem kepercayaannya, memuat nilai-nilai environmental. Penelitian sejenis ini penting jika kita lihat dari dua aspek: politik dan moral.

Dalam aspek politis, per hari ini masih banyak di antara para penghayat kepercayaan yang diberangus hak kebebasan beragamanya, serta dirampas seluruh perangkat budayanya (termasuk tanah adat) atas dasar alasan lemahnya regulasi dari pemerintah atau kekalahan di hadapan kepentingan kapitalistik.

Termarginalisasinya kelompok penghayat kepercayaan atau masyarakat adat pada akhirnya juga menyumbang problem terhadap rusaknya lingkungan di Indonesia. Belum lagi tindakan seperti ini sangat melenceng dari semangat environmentalisme religus untuk terus mempromosikan nilai-nilai kepercayaan yang selaras upaya pelestarian lingkungan. Misalnya seperti yang dialami oleh kelompok Katolik Suku Awyu di Papua yang sampai hari ini masih berjuang mempertahankan tanah adat mereka, dan memanfaatkan sumber daya ajaran agama sebagai bagian dari perlawanan mereka (pemasangan Salib Merah serta baliho yang bergambar buku Laudato Si’ dan Paus Fransiskus).

Kemudian dalam aspek moral, penelitian tentang kepercayaan lokal yang menujukkan spirit ekosentris dalam ajaran mereka, juga menjadi upaya untuk memberikan insight bahwa sangat mungkin suatu sistem kepercayaan menjadi basis moral dan teologis demi kepentingan membangun ekosistem lingkungan yang lebih baik. Jika White hanya melihat sisi antroposentris dari agama-agama besar di dunia, maka mengapa tak kita tunjukkan bahwa banyak kepercayaan lokal di Indonesia yang mampu berjalan beriringan dengan spirit menjaga lingkungan, bahkan kelestarian ekosistem menjadi bagian integral dari ajaran para penghayat kepercayaan sehingga menjaga ekosistem sama artinya dengan patuh pada ajaran yang mereka yakini.

 

 

Editor: Prihandini N

Fauzan Nur Ilahi
Fauzan Nur Ilahi Mahasiswa Pascasarjana Prodi Studi Agama-Agama UIN Jakarta yang fokus pada kajian agama dan ekologi

One Reply to “Di Mana Posisi dan Peran Agama dalam Isu Krisis…”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email