Umat beragama modern banyak yang takut jika iman dan kebenaran yang mereka pegang luntur karena kesadaran dan pandangan mereka atas sains. Mereka merasa bahwa sains akan mematahkan dalil-dalil keagamaan yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Ketakutan mereka muncul sejalan dengan kesadaran akan posisi sosial tinggi yang diisi oleh orang-orang meninggalkan agama atas nama sains dan rasionalitas. Di antara umat beragama ada yang berusaha untuk menjadikan eksistensi agama tetap relevan dengan menempelkan kebenaran versi agama mereka terhadap fakta-fakta sains yang ada. Tujuannya tak lain adalah supaya mereka tetap dianggap sebagai kaum yang modern dan rasional.
Namun, saking berambisinya, mereka seakan abai terhadap kemungkinan bahwa percobaan-percobaan mencocokkan sembarang dalil agama dengan sains ini justru dapat bermuara pada kesesatan berpikir. Mengapa bisa begitu?
Sifat Sains
Sains adalah bentuk pengetahuan yang sistematis, dapat diuji, dan dapat dibuktikan secara empiris atau nyata. Namun, sebelum kita berbicara tentang sains sebagai sebuah kekuatan ideologi, kita harus mengetahui bagaimana sifat-sifat sains sesungguhnya dan mengapa sains dapat hadir dalam kehidupan kita.
Sains lahir dari pertanyaan-pertanyaan liar manusia dan dilanjutkan oleh eksperimen-eksperimen yang tak kalah nekat. Misalnya, ketika kita mempertanyakan mengapa ada hujan, kita akan berusaha menjawabnya dengan melakukan eksperimen-eksperimen dalam pikiran maupun di lapangan. Dari situ, kita mempelajari apa saja variabel-variabel pembentuk hujan, lalu variabel-variabel tersebut kita cocokkan dan hubungkan secara sistematis.
Hasil dari proses-proses itu adalah kesimpulan akhir sebagai barang yang bernama sains. Sains inilah yang dianggap sebagai metode ilmiah dalam menjelaskan sesuatu karena ia telah memenuhi kaidah-kaidah yang nyata dan valid—mengimplikasikan kualitasnya sebagai kebenaran.
Secara fungsional, adanya sains berbuntut pada dua hal, yaitu sains sesaat dan sains sebagai barang dialektika historis. Sains temporer adalah kondisi ketika kita berusaha menjelaskan sesuatu dengan menerapkan metode-metode yang telah ada dan terbukti jelas validitasnya. Misalnya, ketika kita berusaha menjelaskan varietas kehidupan yang ada di muka bumi, kita menerapkan teori evolusi sebagai metode penjelasan terbaik dengan hasil-hasil penelitian yang cenderung sama dan berulang. Untuk itu, sains temporer lebih banyak digunakan dalam konteks penegasan luaran penelitian, bukan dalam konteks merevolusi keseluruhan metode, teori, ataupun paradigma sains yang ada.
Selain itu, ada pula sains berupa sejarah panjang (dialektika historis) yang tidak absolut. Dalam konteks ini, sains sebagai metode tidak pernah absolut dan tidak pernah selesai. Namun, ini bukan karena metode sains temporer salah, melainkan kondisi tak terelakkan bahwa manusia selalu berusaha untuk bertarung menembus batas-batas empiris yang “mungkin”. Contohnya adalah fisika kuantum yang dianggap telah merevolusi seluruh metode sains yang telah kokoh. Fisika kuantum memandang dunia dengan hukum-hukum yang tidak sama dengan hukum Newton yang tadinya mendominasi. Hal ini membuat ilmuwan harap-harap cemas akan realitas yang akan hadir di masa depan.
Pada dasarnya, sifat sains adalah berkembang mengikuti realitas yang ada, bukan absolut. Sains sebagai bentuk absolut akan bermasalah karena keabsolutan realitas tidak dapat dipertanggungjawabkan kekokohannya. Dengan kata lain, tidak ada yang dapat menjamin bahwa metode-metode sains saat ini telah mewakili keseluruhan realitas yang “mungkin”.
Para pembela sains temporer menganggap bahwa metodenya akan bertahan selama-lamanya karena realitas telah dianggap final. Sementara itu, para pembela sains dialektika historis menganggap bahwa metode-metode sains temporer tetap benar untuk kepraktisan semata. Kebenaran sains temporer bisa saja hanya sesaat sekalipun kaidah-kaidah sains mengharuskannya untuk selalu valid dan nyata. Namun, kebenaran menjadi tidak mungkin untuk selalu valid dan nyata karena manusia sendiri tidak tahu batas-batas kenyataan ada di mana. Sesuatu yang kini dianggap tidak nyata bisa saja menjadi nyata di masa depan.
Sifat Agama
Agama berbeda dengan sains terutama karena sifatnya yang absolut baik itu secara temporer maupun secara dialektika historis. Untuk itu, posisi agama tidak dapat disamakan dengan sains. Dengan mengetahui sifat-sifat agama, seharusnya kita dapat lebih jernih dalam melihat hubungan antara sains dan agama, khususnya dalam konteks modernitas.
Agama sebelum sains adalah sesuatu yang absolut, agama setelah sains tetap absolut juga. Hanya saja, orang-orang beragama di zaman modern ini berusaha memandang sains sebagai sesuatu yang absolut dan merasa senang jika ada dalil-dalil agama yang selaras dengan fakta-fakta sains. Sesungguhnya, ini adalah hal yang bodoh dan merugikan umat beragama itu sendiri.
Hal ini dapat terjadi karena banyak tokoh agama merasa minder. Untuk mengatasi perasaan minder itu, mereka berusaha menyatukan agama dan sains untuk membuat agama tetap relevan di zaman modern ini. Padahal, jelas-jelas metode keduanya berbeda.
Sains bersifat relatif secara dialektika historis. Kebenaran dalam sains kemungkinan besar hanya bersifat temporer. Mengapa orang-orang beragama menjadi sangat senang jika dalil-dalil agama mereka yang berusia ribuan tahun tervalidasi oleh sains yang kebenarannya mungkin saja hanya bersifat sementara? Bukankah umat beragama itu juga yang akan kewalahan ketika menemukan fakta sains terbaru yang ternyata tidak sesuai dengan dalil-dalil agama mereka?
Dalam konteks khusus umat Islam, banyak di antara mereka yang merasa bangga ketika dalil-dalil tentang penciptaan makhluk hidup sejalan dengan temuan sains bahwa makhluk hidup berasal dari air. Kebanggaan itu dengan segera menjadi bumerang terhadap umat Islam ketika ayat-ayat kitab suci tentang penciptaan manusia tidak sesuai dengan fakta sains berupa teori evolusi yang mengklaim bahwa manusia tidak tercipta dalam sekejap, tetapi hasil evolusi.
Orang-orang beragama keburu senang ketika kebenaran atau realitas dalam kitab suci tervalidasi oleh sains. Seakan-akan, validasi dari temuan sains itu serta-merta menandakan kebenaran ajaran agama mereka. Padahal, sains terus berkembang dan temuan-temuan sains terus mengalami pemutakhiran.
Seharusnya, orang-orang beragama bersyukur karena ajaran agama berisi hal-hal yang absolut saja. Hal-hal yang absolut tidak dapat dibuktikan oleh sains sebagai pemegang wacana kebenaran.
Oleh karena itu, orang-orang beragama tidak perlu mempermasalahkan fakta-fakta sains yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Toh, bisa saja fakta-fakta sains itu yang justru salah. Sebaliknya, orang-orang beragama cukup menyikapi secara biasa saja fakta sains yang sejalan dengan keyakinan mereka karena bisa saja fakta-fakta itu juga salah di kemudian hari.
Baca juga:
Agama dan sains tidak dapat disatukan. Menyatukan keduanya akan menghina hakikat masing-masing sebagai ide yang sama-sama kokoh. Sains tidak bisa menjadi absolut karena sains sendiri juga tidak tahu yang absolut itu apa. Sementara itu, agama tidak perlu jauh-jauh mencari validasi absolut dari sains karena ajaran agama telah memiliki keabsolutannya sendiri. Membuktikan kebenaran agama lewat sains adalah hal paling bodoh yang pernah ada karena sains sendiri pun tidak tahu kebenaran itu apa.
Tulisan ini dibuat untuk membela kaum beragama yang merasa minder di zaman modern ini. Umat beragama tidak perlu merasa imannya diombang-ambing oleh fakta sains yang ada. Apa-apa yang terjadi pada sains tidaklah mempunyai pengaruh sedikit pun terhadap kekokohan agama karena agama mempunyai keunikan yang tidak dimiliki oleh sains.
Editor: Emma Amelia