Di tengah usulan penundaan Pemilu 2024 dan wacana amandemen Undang -Undang Dasar untuk mengubah pembatasan masa jabatan presiden, mari kita menengok sistem politik Amerika Serikat, negara yang kerap dijadikan role model demokrasi modern, sekaligus kembali mengulik falsafah dan nilai kebudayaan Jawa; sakmadya.
Baca juga:
How Democracy Die, buku yang ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menyatakan bahwa Amerika Serikat bisa bertahan dengan demokrasinya hingga sekarang dengan nilai-nilai konstitusinya yang mereka percayai disebut sebagai pusat keyakinan dan mercusuar harapan. Dengan dasar keyakinan seperti itu, Amerika Serikat telah melalui masa yang panjang dengan konsep demokrasinya. Bagi Amerika Serikat “Pagar Demokrasi” atau “Penjaga Gerbang Demokrasi” adalah partai politik dan hal itu terus menjaga kemurnian nilai dan keyakinan mereka akan konstitusi yang dijadikan mercusuar harapan.
Lantas bagaimana di Indonesia? Konstitusi UUD 1945 sudah selayaknya ditempatkan pada posisi yang terhormat dan mulia, sebagai mercusuar harapan dan pusat keyakinan, mengutip Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracy Die. Hal yang sama juga harus dilakukan, yakni partai politik sebagai “Pagar Demokrasi” atau “Penjaga Gerbang Demokrasi”. Wacana 3 periode jabatan Presiden yang arusnya kencang ini, sesungguhnya dihembuskan oleh siapa?. Jika kita sepakat partai politik punya peran sebagai pagar atau penjaga gerbang.
Selanjutnya secara spesifik mengenai aturan 2 periode yang ada di sistem demokrasi Amerika Serikat. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyebut bahwa dengan saling toleransi atas aturan-aturan tak tertulis akan membawa demokrasi tetap pada jalurnya. Mereka mengungkapkan bahwa konstitusi Amerika Serikat bukanlah suatu produk yang sempurna. Yang menjaganya dapat bertahan adalah sikat masyarakat madani, saling toleransi, dan norma menahan diri yang dimiliki negarawan.
Batas masa jabatan presiden selama sebagian besar sejarah Amerika Serikat bukanlah hukum yang tertulis, namun adalah norma menahan diri. Hal tersebut baru menjadi produk hukum yang membatasi batas jabatan Presiden setelah ratifikasi amandemen ke-21 tahun 1951. Norma itu kemudian menjadi preseden kuat hingga akhirnya lahir produk hukum yang mengatur batas jabatan Presiden. Dimulai dengan contoh negarawan yang tahu betul akan norma menahan diri dan toleransi, yaitu George Washington yang berhenti sesudah 2 masa jabatan pada 1797. Hal itu lalu ditangkap oleh Thomas Jefferson sebagai preseden baik yang harus dilanggengkan demi demokrasi yang tetap pada jalurnya.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt juga mencatat bahwa Amerika Serikat pernah memiliki sejarah bahwa salah satu Presiden diajukan oleh teman-temannya untuk periode 3, yaitu Ulysses S Grant. Ulysses S Grant kala itu termasuk Presiden ambisius dan populer. Namun, pada akhirnya, Ulysses S Grant tidak maju untuk periode 3, meskipun potensi keterpilihannya besar.
Dalam peristiwa tersebut Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat juga mengeluarkan resolusi yang fenomenal yaitu “Preseden yang ditetapkan Washington dan para presiden lain, yaitu berhenti setelah masa jabatan kedua telah menjadi sistem republik kita. Penyimpangan apa pun dari kebiasaan yang dihargai selama ini kiranya tak bijak, tak patriotis, dan membahayakan lembaga-lembaga bebas kita”.
Resolusi Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat ini menunjukkan bahwa ada sikap komunal yang paham betul akan norma dan saling toleransi demi menjaga demokrasi tetap pada jalurnya.
Menahan Diri dan Sakmadya
Tidak ada tendensi over romantisme ataupun mengkultuskan salah satu budaya dan meletakkannya lebih superior dari budaya lain. Namun rasa-rasanya perlu mengaitkan hal ini dengan budaya Jawa yang selaras dengan norma menahan diri dan toleransi yang dijelaskan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Norma menahan diri dan toleransi selaras dengan nilai yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam budaya jawa yaitu sakmadya. Sakmadya, falsafah jawa, diartikan seperlunya, semampunya, sesuai kemampuan atau seadanya. Madya sendiri diatikan pas, takaran pas, tidak kurang, dan tidak lebih. Lebih lanjut bahwa prinsip sakmadya diterapkan untuk menangkal munculnya keinginan yang terlalu muluk. Budaya atau prinsip hidup sakmadya diperlukan dalam diri untuk menghindari ambisi yang sangat berlebihan.
Secara sejarah sakmadya adalah konsep mencapai keselarasan. Sakmadya lahir dari adaptasi masyarakat Jawa yang beralih dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Sakmadya juga merupakan cara berpikir ala orang Jawa yang serba pas. Budayawan Emha Ainun Nadjib yang lebih sering disapa Mbah Nun atau Cak Nun, dalam Maiyahan Blitar 3 Februari 2018, menjelaskan bahwa sakmadya berfungsi menuju keseimbangan. Lebih lanjut, Cak Nun menjelaskan bahwa sakmadya membimbing kita untuk bisa belajar menempatkan sesuatu berlaku pas pada tempatnya.
Nilai yang membimbing Amerika Serikat tetap pada jalurnya yang dilontarkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yaitu norma menahan diri dan toleransi, selaras dengan prinsip sakmadya dalam budaya Jawa atau falsafah Jawa. Kemudian dalam ambang batas pencalonan Presiden prinsip menahan diri dan toleransi atau sakmadya itu diilhami oleh George Washington, diteladani oleh Thomas Jefferson, Andrew Jackson, dan Ullyses S Grant. Meskipun ketiganya Presiden populer dan ambisius namun punya norma menahan diri, toleransi atau sakmadya.
Preseden kuat dan baik yang terbukti menjaga demokrasi dan prinsip keyakinan serta mercusuar harapan di Amerika, barangkali adalah siulan—kalau tidak dapat dikatakan teriakan lantang—di tengah santernya wacana Presiden 3 periode. Seorang presiden seharusnya memiliki sikap sakmadya, mampu menahan diri, dan toleransi.
Jika benar-benar 3 periode ini terjadi, mestinya ada rasa malu karena Thomas Jefferson dkk justri bisa lebih “Jawa” atau Sakmadya