Kulminasi yang menjadi sebab mahasiswa bergerak dewasa ini adalah siasat elite penguasa melalui narasi-narasi penundaan pemilu yang berakibat pada perpanjangan masa jabatan presiden dan/atau amandemen konstitusi dengan menambah satu kali masa periode kepemimpinan presiden dan wakil presiden. Wacana itulah yang kemudian menyulut gerakan mahasiswa di berbagai belahan daerah. Tentu, sebabnya tak berdiri sendiri, ada banyak persoalan-persoalan lain yang lebih fundamental yakni kenaikan harga minyak goreng, kenaikan BBM, kenaikan bahan-bahan pokok, kenaikan tarif pajak (PPN), kesenjangan sosio-pendidikan, involusi demokrasi, dan lain sebagainya.
Baca Editorial:
Ada suasana kebatinan mahasiswa yang resah dengan tindak tanduk penyelewangan elite politik penguasa yang menurutnya sedang mengarahkan gerbong kereta negara ini ke luar jalur kereta menuju bangsa yang tidak beradab. Protes ikhwal penolakan wacana penundaan Pemilu 2024 hanya sebagai pelampung untuk membawa protes-protes lain yang tidak lagi bisa dikompromikan dengan pikiran sehat (common sense). Narasi elite politik vis a vis suara mahasiswa tak lagi semu. Artinya focal point yang dibawa itu kontras secara moral, ide, prinsip, bahkan “representasi dari” siapanya-pun terlihat jelas. Ada batas demarkasi di situ di mana mahasiswa membawa suara akar rumput masyarakat dan kita tahu suara siapa yang digandeng elite politik dan tercermin oleh wacana penundaan pemilu.
Bukan Mustahil
Surplus moral dan defisit ide adalah situasi yang digambarkan hari-hari ini. Kesurplusan moral itu tertanam selalu di jiwa seorang mahasiswa. Ada semacam rasa tidak berharga sebagai seorang pemuda bila suara akar rumput itu ditanggalkan. Rasa kecewa, frustrasi, suasana melankolis adalah harga dari sebuah idealisme mahasiswa yang meninggalkan tugas moral sebagai pengawal bahtera agung yang bernama bangsa Indonesia. Itulah sejatinya mahasiswa. Pun demikian dalam optik elite politik, seantero bangsa tahu bagaimana sikap elite politik menyikapi demonstrasi yang digelar Senin, 11 April 2022.
Elite politik yang kecewa selalu membangun narasi-narasi sebagai berikut: “Demonstrasi mahasiswa ditunggangi penumpang gelap. Hati-hati, aksi itu tidak murni keinginan mahasiswa karena ada pihak terselubung yang mempropaganda”. Ucapan-ucapan itu sering kali terlontar dan terdengar. Sebab moral elite sudah tak lagi dipercaya publik maka jalan satu-satunya yakni mendelegitimasi aksi demonstrasi itu sendiri. Jadi bukannya menandingi pikiran yang dibawa mahasiswa melainkan menjustifikasi dan meminta agar masyarakat jangan menghiraukan demo itu.
Sudahlah, tak zaman lagi ucapan klise itu dikeluarkan. Jujur saja kepada rakyat bahwa isu/wacana penundaan pemilu adalah pesanan oligarki politik/ekonomi yang hanya ingin mengkooptasi nilai pragmatisme politik demi manfaat ekonomi di kemudian hari, titik.
Gerakan Mahasiswa 11 April menjadi term baru agar mudah mengingat penindasan-penindasan yang kembali dilakukan negara.
Wiranto (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden) menulis sebuah ajakan agar persoalan ini diselesaikan dengan kepala dingin. Dalam artikelnya “Bersitegang Mempersoalkan Peristiwa yang Tak Mungkin Terjadi” (Kompas, 8/4/2022), Wiranto menguraikan empat alasan amandemen konstitusi adalah hal yang mustahil; kepastian pemilu, fokus pemerintah terhadap pandemi, sabdo pandito ratu, tan keno wola-wali. Keempat alasan itu sangat mudah untuk dibantah.
Pertama, amandemen konstitusi sangat mudah diagendakan melihat komposisi parlemen yang 80% lebih adalah partai koalisi pemerintah termasuk di kabinet (PAN tinggal menunggu hari kelahirannya) dan DPD selaku senator yang berjumlah 136, sangat mungkin terkonsolidasikan atau satu suara dengan elite politik. Kedua, kepastian pemilu karena penjadwalan, prosedur pemilu, dan hal teknis lain yang sudah terencana sedini mungkin. Dalam hal ini, saya ingin mengutip pandangan Zainal Arifin Mochtar yang mengatakan bahwa mungkin saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku institusi pelaksana menyatakan diri tidak sanggup melaksanakan pemilu 2024 karena beberapa alasan yang dimungkinkan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketiga, fokus pemerintah terhadap pandemi adalah alasan yang kontradiktif (anomali). Terlihat paradoksal dengan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan ketika pandemi sedang di titik tertinggi. Keempat, bahwa wisdom yang mengatakan seorang pemimpin tidak akan berubah dengan apa yang sudah dikatakan.
Buku Man of Contradictions (Ben Bland, 2021) adalah jawaban pamungkas untuk mengakhiri ketidaksingkronan antara apa yang terucap dan apa yang dilaksanakan oleh rezim hari ini . Tidak ada satu pun formulasi negara yang bisa mengubah kegelisahan publik menjadi keyakinan masa depan rakyat. Yang ada, tidak lain dan tidak bukan hanyalah persekongkolan politik elite. Inilah situasi kontemporer perpolitikan Indonesia yang membuat mahasiswa resah dan gelisah yang kemudian membentuk semacam episentrum pikiran jernih melalui aksi demonstrasi 11 April 2022.