Tahun 1970 mungkin dikenang sebagai tahun keberhasilan Brasil meraih gelar Piala Dunia untuk yang ketiga kalinya. Brasil berhasil mengalahkan Italia di final yang kala itu dihelat di Meksiko. Dengan tim bertaburan bintang seperti Pele, Jairzinho, dan Gerson, tidak ada yang pernah meragukan anak asuh dari Mario Zagallo itu.
Keberhasilan Brasil tentulah dirayakan oleh seluruh masyarakatnya. Mereka sejenak lupa dengan cengkraman diktator Emílio Garrastazu Médici. Gemerlap Piala Dunia dan betapa mencekamnya kediktatoran Brasil saat itu menjadi premis dari novel 1970 yang ditulis oleh Henrique Schneider, terjemahan Gladhys Elliona yang diterbitkan Marjin Kiri.
Baca juga:
Salah Tangkap dan Penyiksaan
Situasi yang dibangun dalam novel ini adalah konflik antara militer (pemerintah) yang ingin membasmi kelompok komunis penentang pemerintah. Operasi militer dilakukan untuk menculik dan menyiksa mereka yang diduga menjadi bagian dari kelompok komunis. Operasi inilah yang menjadi mimpi buruk Raul, seorang pegawai bank yang menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan dari militer Brasil.
Mereka yang tidak kuat dengan adegan kekerasan secara eksplisit pasti akan sangat terganggu dengan novel ini. Raul mengalami segala bentuk kekerasan di dalam penjara agar mengaku bahwa ia komunis. Dia juga dipaksa untuk mengakui keterlibatannya dalam sebuah kasus percobaan penculikan seorang konsul Amerika Serikat.
Penculikan dan penyiksaan yang dialami Raul adalah kasus yang umum ditemukan di negara-negara otoriter. Mereka akan menculik, menyiksa, bahkan membunuh orang-orang yang dianggap berbahaya untuk kelangsungan pemerintahan, sebuah praktik yang negara ini juga pernah terapkan selama berpuluh-puluh tahun.
Raul tidak mati. Setidaknya secara fisik. Penggambaran trauma Raul setelah sembilan hari mendekam di penjara mampu digambar Schneider dengan baik.
“Lantas dia tersadar bahwa gerakan kecil itu dapat menarik perhatian, dan dia pun merasa sedih: akan terus seperti ini selamanya mulai sekarang, membatasi diri, mengurangi senyum, menghentikan gerakan, dan ucapan sebelum selesai, khawatir akan pandangannya sendiri dan pandangan orang lain, berhati-hati dengan apa yang dipikirkan, takut sesuatu yang buruk akan menimpanya lagi.” – Hal. 72
Raul dibebaskan tepat di hari pergelaran final Piala Dunia 1970. Dia akhirnya menghirup udara kebebasan yang menjadi hal paling dirindukannya selama di penjara. Dia akhirnya kembali melihat matahari yang sinarnya membutakan. Dia akhirnya mengerti mengapa orang-orang ingin menggulingkan pemerintah, sesuatu yang ia anggap konyol karena selama ini hidup nyaman dan teratur dengan penghasilan yang cukup, sampai alat penyiksa itu menempel di setiap sisi tubuhnya dan mengubah pandangannya.
Baca juga:
- Sepak Bola Tanpa Moral ala PSSI
- Polisi Bukan Lagi Pelindung Rakyat
- Sepak Bola Indonesia yang Saya Impikan
“Hingga beberapa hari lalu, Raul bahkan tidak tahu apa alasan seseorang ingin menggulingkan pemerintah. …. Tapi sekarang, sambil meringkuk di atas matras basah, masih berdarah dan kesakitan, salah tangkap dan disiksa karena kekejaman belaka, dia mulai mengerti.” – Hal. 126
Sepak bola Alat Propaganda Pemerintah
Bukan cuma di negara ini sepak bola dijadikan alat politik. Di Brasil pun saat itu sepak bola dijadikan tameng untuk menutupi kebobrokan pemerintah. Dalam novel 1970, digambarkan betapa meriahnya masyarakat Brasil menyambut final Piala Dunia. Para penyiksa menyamarkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sipil untuk turut ikut dalam perayaan juara. Tidak ada yang tahu kapan tiba giliran mereka mengalami peristiwa seperti yang Raul alami.
Pele, bintang Brasil saat itu, menjadi alat propaganda kemakmuran dari pemerintah. Pele menjadi simbol kedigdayaan ekonomi dan dijuluki mukjizat Brasil. Spanduk-spanduk Pele bertebaran di mana-mana selayaknya baliho caleg yang jamak kita temui saat ini.
Pemerintah menjadikan Pele alat untuk menyamarkan situasi sebenarnya agar masyarakat tetap terlelap dalam gegap gempita perayaan juara. Utang negara kepada bank asing yang melonjak tinggi akibat huru-hara minyak, yang berujung pada seretnya industri dan maraknya pengangguran di Brasil, menjadi ujung kisah dari kediktatoran yang menjadikan sepak bola sebagai tembok untuk bersembunyi dari penghakiman.
Pada akhirnya, novel tipis ini bagus dibaca untuk mengingatkan kita betapa berbahayanya kekuasaan absolut yang didukung oleh militer yang semena-mena. Apalagi jika kekuasaan tersebut diselimuti kebahagiaan semu memabukkan yang biasa kita kenal dengan nama sepak bola.
Editor: Prihandini N