Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Pelajaran Pertama Melukis

Kala Lail

8 min read

Sobekan kasar dan tergesa. 3 kata. Di pojok halaman 63. Beberapa kata di halaman 65 seperti aurat yang terbuka. Sobekan itu ada di dalam bingkai kaca. Di Rudana. Siapa pun akan mengira aku sendiri yang menempelnya. Sebab tak ada nama di sana. Tidak ada. Benar-benar kosong

Sobekan yang hanya sepanjang 13x3cm itu membuat pengunjung garuk kepala. Tafsiran sebelah mana lagi untuk teka-teki seperti ini. Di gantung sendiri di dinding putih-kosong. Mungkin juga isinya kosong. Di tempat yang tak seharusnya. Di antara lukisan Agostino de Romanis. Pulau tersembunyi Siberut dan pulau Enigmatik.

Betapa tak tahu malu. Betapa tak sebanding. Ingin kucopot saja bingkai itu dari tempatnya. Tapi ‘dilarang menyentuh’. Biarkan saja. Itu datang semalam. Entah dari mana. Tapi, tetap biarkan saja. Pengunjung banyak yang mematung mematutinya.

Hanya 3 kata dari ratusan ribu kata di bukuku. Kenapa 3 kata itu. Bukan. Kenapa tidak kusobek saja bukuku. Kupotong-potong. Masing-masing 3 kata. Lalu kubuat pameran tunggal. Dengan tajuk:

“Kata-Kata yang Berlepasan”.

Maksudnya berlepasan meninggalkan tubuh. Menjadi diri sendiri. Tunggal. Tanpa terikat dengan kosakata lain.

Aku membayangkan bingkai yang warna dan ukurannya berlainan. Jati tua. Satu meter. Menempel tepat di tengah. Di balik kaca anti apa saja. Ada yang sederhana. Bingkai kayu. Lebarnya presisi. Ada yang dekat dengan sobekan lain. Ada yang pisah dinding dan ruangan. Sendirian. Dengan 3 kata yang berbeda-beda. Mereka bisa menjadi apa saja. Ya, kan?

“Kau menyalahi pakem,” protes kawan pelukisku. “Lukisan ya lukisan. Tulisan ya tulisan. Kita punya cara yang berbeda untuk bercerita.”

“Tapi lukisan hambar tanpa kata-kata.”

“Kau salah besar. Mereka sudah menjadi tanpa perlu dicampur.” Ia menutup.

Mungkin aku harus bicara dengan penerbit lagi. Tapi kemarin kata mereka, “Gila! Kau kumpulkan saja tak banyak yang baca. Apalagi dipisah.”

Kalimat pertamanya masuk akal. Aku ingin membuatnya sederhana. 3 kata saja. Supaya orang mudah membaca. Mungkin mereka kesulitan memahami ribuan kata yang tumpang tindih jadi satu. Dalam satu buku.

“Kau sedang mabuk. Tidak masuk akal. Pulanglah,” tutup mereka.

Sudah lama aku berurusan dengan ketidak-masuk-akalan. Semua mesti sesuai dan muat dalam akal.

Selasa malam akhirnya nekat kugelar.

Beberapa kritikus sastra dan kritikus lukisan lokal berdatangan. Mereka membawa pisau masing-masing. Kacamata dan sedikit akal. Ada yang memberi pujian. Ada yang mengutuk pelan. Ada yang langsung meninggalkan ruangan. Ada yang menggaruk dagu. Agak lama. Di depan bingkai yang kupajang di tengah ruangan. Kotak kaca. 5 sisi. Semua orang dapat melihat hardcover buku yang sudah kosong itu. Tubuh kosong yang ditinggalkan isinya. Seperti mayit. Seperti kulit kepompong.

Ia adalah pematung. Namanya Wayan Pramunan. Lama tinggal di Dewata. Pukul 1 malam. Ia belum pulang. Masih mematung mencari pemahaman. Aliran seni rupa apa. Aliran seni rupa apa yang tak bertubuh seperti ini. Hanya dua lipat kertas tebal. Depannya lukisan surealis. Belakang prosa semacam Adonis. Dalamnya kosong berwarna gelap. Hanya dua lipat kertas tebal. Semacam rahim yang ditinggalkan. Atau bawang yang baru saja dikupas. Tinggal kulit luarnya yang keras.

Tidak. Itu hanya hardcover buku. Kubilang. Lalu menyuruhnya pulang. Sudah malam.

Esoknya kutemui penjaja buku bekas yang sempat kukenal di panti rehab. Beberapa bulan lalu aku mendekam di sana. Niat hati mengumpulkan cerita. Tapi yang kutemui malah dia. Ia juga aktif menulis. Dari sekian penulis yang kukenal, dia yang paling tidak terlalu menyukai gambar atau lukisan. Menurutnya terlalu vulgar. Telanjang tak karuan.

“Semalam aku memajang kata-kataku di depan umum,” kubilang.

“Sudah dengar. Tidak tertarik.”

“Kenapa?”

“Tugasmu lebih berat.”

“Tugas yang mana?”

“Menyampaikannya pada orang-orang yang suka pada ketelanjangan. Hanya dengan beberapa biji kata? Makin tak waras saja. Orang-orang makin malas mengurus seni.”

Aku hanya menggaruk dagu. Artinya aku harus pamit. Ia tidak mengusir. Biasanya aku yang buru-buru pergi karena tidak tahan mencium bau panti rehab.

“Sebaiknya kau menemui tukang tidur itu,” sarannya.

Tukang tidur. Aku lebih sering memanggilnya penulis impen. Kabarnya ia menulis saat tidur. Tidak pernah disunting. Hanya menggabungkannya dari malam satu ke malam berikutnya. Apa adanya.

“Bagaimana kabarmu?”

“Pulanglah.”

Aku tidak pernah mengharapkan keramahan dari orang ini. Orang-orang di dunia nyata pasti bukan kesukaannya.

“Sudah jam 3. Pulanglah.”

Baru pukul 3 sore. Ia menandai lingkaran jam dindingnya tepat di angka itu. Waktunya bermimpi. Ia biasanya tidur 12 jam sehari. Sekaligus menulis seperempat buku.

“Kau tidak bisa membungkus air dengan selembar daun kering.”

Aku tidak terlalu yakin dengan analogi noraknya, tapi aku hanya perlu pura-pura mampu mengikuti cara berpikirnya itu.

“Sudah kulakukan semalam. Dan sepertinya juga nanti malam.”

Ia terdiam. Membalik-balikan puluhan kertas kuning di tangannya. Aku yakin itu tulisannya semalam. Aku juga yakin ia kesulitan dengan beberapa kalimat di sana. Meski tangannya sendiri yang menulis, tetap mustahil membacanya ulang. Orang tidur tidak sepatutnya menulis tangan.

“Kau tahu kenapa hieroglif dan relief ditulis di atas batu?”

Aku mengangkat bahu.

“Saat menulis di atas batu, kita dapat membacanya dengan semua indra. Tulisan menjadi berbentuk. Bisa diraba. Dibaui. Bahkan didengar!”

Masih belum paham. Ia diam setelah matanya mengenaiku. Dan sepertinya ia membacanya. Kertas kuning itu ia taruh ke dalam rak meja kaca. Sepertinya ia benar-benar akan menyuruhku pulang kali ini. Padahal sebenarnya aku ingin membaca tulisan mustahilnya itu.

Sekarang kertas kuning itu terhalang oleh kaca meja di depanku. Agak samar jika dilihat dari tempatku duduk. Yang menjengkelkan sama sekali tidak bisa dipegang. Tunggu sebentar. Tidak bisa dipegang?

“Selamat tidur. Selamat bermimpi. Selamat tinggal. Aku akan pulang.”

Aku pamit lalu menutup pintu.

Aku memutuskan menjual 27 pigura yang sudah kadung kubeli. Supaya tidak merugi. Aku tidak yakin masih ada yang akan datang ke pameran. Aku harus menemui Wicak.

***

Memang sengaja kumulai dari jari lentik, lalu bokor mengkurep, centhung, sisir jeram, cundhuk metul, dan aneka ragam hayati yang akan menyelip di sanggulmu.

Kali ini bukan dari garis matamu. Sebab, seperti yang sudah-sudah. Biasanya merepotkan ketika mata sudah jadi. Kubiarkan buta dulu saja. Akan kuselesaikan niyaga, gending, dan sultan untuk latar. Butuh lima bulan. Bikin seisi pendopo tidak mudah.

Aku mesti menyelesaikanmu secepat mungkin. Sebelum istriku pulang. Ia selalu menuduhku membayangkanmu ketika bercinta dengannya.

Banyak hal sepele yang mudah tersulut di rumah. Tentang mengapa aku tidak mencukur jenggot dan rambutku. Tentang cara berpakaianku. Tentang bau badanku. Pekerjaanku. Terutama itu!

Di dunia ini banyak yang mesti dilakukan untuk mengisi perut dan memuaskan bawah perut. Begitu katanya setiap pagi, “Kita manusia, Cak!” Lalu ia akan membanting pintu. Naik angkot dengan muka masam.

Kita diciptakan sekali jadi, tapi dibiarkan bertahan sendiri. Gumamku.

Setiap pagi kita bertengkar seperti anak kecil.

Andai ia tidak merasa berbalas budi pada orang tuaku. Pastilah ia tak mau hidup denganku.

Akhir-akhir ini istriku jadi sering menceramahiku setelah bulan lalu mendaftar calon DPD.

“Rantai makanan! Kaya-miskin. Pintar-bodoh. Orang harus pintar agar bisa makan dari yang bodoh. Begitu cara hidup, Cak!”

Istriku makin pintar seperti bapakku.

Aku lupa beli cat. Aku akan kembali ketika istriku sudah tidur.

***

“Sedang perjalanan. Beli cat di Muskito. Datang saja.”

Aku suka dengan pelukis perlente satu itu. Seperti kebanyakan. Nyentrik dan agak gila. Ia membeli cat di toko miliknya sendiri. Gila? Cukup gila sampai mau menawar semua piguraku.

“Berapa?”

“27.”

“Dari mana?”

“Galeriku.”

“Sejak kapan melukis?”

“Bukan. Aku masih menulis.”

Ia hanya menyeringai. Tidak penuh. Tapi kentara. Ia mencopot sebuah lukisan di dinding. Aku pernah melihat lukisan itu. Cukup terkenal. Siapa?

“Salvador Dali.” Ia mendekatiku sambil menenteng lukisan itu. Sureal. Seperti mimpi buruk saat kanak-kanak.

“Aku tidak suka lukisan seperti ini. Tidak bisa diajak ngobrol.” Ia menyeringai lagi. Kali ini penuh. Hampir tertawa.

“Mungkin juga itu alasan kenapa Basuki Abdulah pernah melukis abstrak tapi tidak diteruskan.” Kali ini ia benar-benar tertawa. Sementara aku masih mencerna. “Aku sedang mengerjakan penari baru. Seorang putri. Serimpi. Sepertinya ada beberapa yang cocok dengan piguramu.”

Ia memilih satu pigura kayu jati. Ukiran Jepara. Aku sendiri tidak kuat mengangkatnya. Ia pasti mau membayar mahal.

“Kenapa dijual semua?”

“Tidak ada yang tertarik.”

“Apa pun yang berani dimasukkan ke dalam pigura selalu ada yang tertarik. Bawalah pulang. Minggu depan datang lagi. Aku ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi.”

Aku masih terdiam. Bingung. Aneh. Tapi tetap pamit. Barangkali ia sedang sibuk. Katanya ia sudah lima bulan ini melukis satu lukisan dan belum rampung.

***

Kau ingin warna kulit yang seperti apa? Kuning langsat atau putih susu? Di keputren pada zamanmu, penari muda suka meracik lulur ngadi saliro warna kunir. Tapi aku tidak akan beli pandan wangi, sari tepung beras, kunyit, dan temu giring. Itu merepotkan. Aku hanya perlu mencampur cat merah dan kuning.

Kau mau lebih terang? Aku akan menambahkan putih. Putih akan mendinginkan kulitmu dan membuatnya lebih buram. Jangan khawatir, kuning akan membuatmu tetap hangat. Lebih gelap? Aku akan beli kromatik hitam. Bakaran ultramarine plus sienna! Kurang dingin? Aku perlu biru. Aku akan memasukkan bumi ke dalam tubuhmu. Umber bakar, sienna bakar, oker kuning!

Kau hanya perlu melipat ibu jarimu dan empat jari terbuka rapat, sehingga membentuk gelungan tangan yang lentik. Angkat sedikit kain seredan yang diikat di baju tanpa lenganmu itu. Kombinasi emas dan merah marun. Kekuatan dan kelembutan. Hiasan bulu burung kasuari yang menjuntaikan warna hijau serta gelungan rambut bunga ceplok akan membuatmu wingit. Kaulah gadis jelita yang akan menyelamatkan Angling Dharmo.

Lalu matamu. Bagaimana? Setajam gadis Trunajaya atau seteduh gadis Jawa? Lalu bibirmu. Semerah mawar muda atau cermai tua. Aku perlu membuat pandanganmu tunduk pada keluhuran keraton. Warna bibirmu selembut darah seorang gadis muda. Dan gemulaimu yang begitu menggairahkan.

***

Pukul sembilan belas lebih enam belas. Wayan Pramunan datang lagi. Tak seorang diri kali ini. Ia membawa anak kecil tanggung.

“Ini anak saya. Mau jadi pelukis.”

Ia tersenyum. Giginya yang tak rata hampir kelihatan.

“Oh … silakan, Bli.”

Mereka berjalan menuju satu pigura. Di pojok sebelah utara. Pigura yang paling besar sengaja kutaruh di sana. Lebih intim. Lebih pribadi. Ada sebuah tulisan di tengahnya,

“Anak Pertama Adam.”

Seharusnya tidak sulit untuk membacanya. Tapi mereka berdua seperti tidak membaca. Hanya terus memandangi. Seperti merasakan. Seperti mencari-cari. Seperti waspada. Bukan hanya 3 kata itu kurasa. Tapi hampir seluruhnya. Bahkan mereka seperti berusaha mendengar sesuatu dari dalam bingkai kaca itu.

“Kau bisa menghidupkan sesuatu dari ketiadaan hanya dengan tiga kata. Dan mengurungnya di dalam bingkai kaca. Seperti yang dilakukan penulis ini. Coba kau cari dari mana kata-kata itu berasal. Mungkin dari bintik hitam itu. Mungkin ia yang mengatakan ingin pergi. Pergi dari sana. Atau bisa saja seluruh kertas putih itu. Atau huruf A paling awal? Tapi mana sebetulnya yang paling awal? Huruf yang mana? Dari kanan atau kiri? Kenapa tidak dari tengah? Atau seluruh bingkai itu atau diri kita sendiri?”

Aku sedikit menguping pembicaraan mereka. Sangat penasaran. Apa yang mau diajarkan pematung itu pada anaknya.

“Ada banyak cara untuk menggambar seekor banteng. Picasso mendemonstrasikannya menjadi enam cara. Dari realis ke kubis. Bagaimana kau akan mendemonstrasikan 3 kata itu?” Ia menoleh pada anaknya.

Anak itu mematung. Terperanjat beberapa menit. Bapaknya menghampiriku. Meninggalkan anaknya sendiri untuk berpikir.

“Aku tidak menyuruhnya berpikir. Aku menyuruhnya berimajinasi,” bisiknya padaku. “Picasso butuh empat tahun untuk melukis seperti Raphael, tapi butuh seumur hidup untuk melukis seperti seorang anak kecil. Mereka hidup di ruang menyenangkan antara mimpi dan kenyataan. Mereka mengecap warna, mendengar bentuk, melihat suara. Kita harus memiliki kebutuhan khusus seperti itu.”

Anak itu menoleh ke arah kami setelah setengah jam. Seperti hendak memanggil bapaknya.

“Tinta biru. Agak pirus. Cerah. Hanya ada dua garis memanjang. Seperti benang. Seperti bayangan. Ada seorang berkaki panjang. Bahkan sangat panjang. Perutnya mengerut seperti jeruk yang diremas tergesa. Ia menyobek lembaran langit dengan jarinya. Seperti ranting. Kecil dan panjang. Baru saja kehilangan semua daun. Pelan. Sobekan yang pelan. Supaya tak mematahkan jarinya sendiri. Dari lubang itu ia memasukkan kepalanya. Dalam kondisi itu. Kakinya terendam air pasang. Kepalanya masuk ke dalam lubang langit. Mengintip keluar. Ia tak bermulut. Kecuali dua mata yang mengiba.”

“Maka, di sanalah 3 kata itu berasal. Di sanalah 3 kata itu menciptakan dirinya sendiri. Nah, mungkin itulah pelajaran pertama dari melukis,” katanya pada anak itu.

Mereka pamit.

***

Braakkk…

Kau sudah mengedipkan mata! Terlalu cepat! Hampir saja aku merusak meja tua kesayanganku dan menjatuhkan secangkir kopi pertama buatan istriku, “Ini hari spesial,” katanya pagi tadi.

“Sttt… Aku belum menyelesaikan matamu!”

Kau masih diam. Santun. Sekali lagi kau melirikku. Mungkin kau malu padaku atau pada Sri Sultan di belakangmu.

Tunggulah sebentar. Tidak mudah membuat mata teduh dan beriak seperti kolam ikan. Biar kuceritakan dunia baru-baru ini. Sembari kuselesaikan alismu dan seluruh ekosistemnya.

Hari ini seni sudah amat tua. Bukan seperti manusia. Bukan makin matang. Seni makin rapuh dan buru-buru. Seni telah menjadi gairah cekak. Pundakmu yang terbuka tak lebih dari kulit-daging yang patut-takpatut. Seni berkembang ke luar bukan ke dalam.

Istriku? Istriku adalah wanita yang memang dilahirkan untuk hidup di zaman ini. Di dunia ini. Dia adalah pilihan Bapakku. Bapakku membiayai seluruh pendidikannya sampai selesai. Bapakku hanya belantik sapi, bukan konglomerat atau pejabat. Aku anak tunggal. Bapakku akan menghabiskan apa pun yang dimilikinya untuk mempertahankan keturunannya. Ia akhirnya minta seorang gadis ambis sepertimu untuk merawatku.

Teman? Aku punya banyak teman. Aku membuat dua seminggu ini. Kau pasti kenal dengan penari belibis Bali. Hati-hati dengan gadis Trunajaya dekat meja rias. Kau mesti cukup sabar. Ia emosional dan energik. Kurasa tidak cocok dengan pembawaanmu. Atau enam Waranggono muda Keraton Ngayogyakarta yang kubuat dua tahun lalu. Sehabis isya’ mereka suka nembang.

Subuh ini kau akan sempurna. Tugasmu adalah menyentuh burung Mliwis itu supaya ia kembali ke bentuk aslinya.

“Biar kumenyentuhmu saja.”

“Kau harus menyelesaikan seluruh tarian.”

“Kau ingin abadi kan?”

“Tentu. Siapa yang enggan menjadi seni. Ars longa vita brevis.”

“Biar kusentuh. Agar kau kembali ke asalmu.”

“Menjadi lukisan?”

“Sttt…”

Istriku membuka pintu galeri. Tidak biasanya. Ada yang aneh. Ia memakai setelan hari Kamis. Pedahal ini Rabu.

“Cak, Wicak! Sudah jam berapa. Kau gila ya?” Ia menyeloroh masuk.

Ia berhenti sejenak. Seperti membetulkan penciuman hidungnya. Semacam mencium sesuatu.

Matanya terbelalak.

Beberapa detik kemudian senyumnya mengambang.

Ia mendapati tubuhku membiru. Seperti tubuh yang sudah semalam tak diurus. Tubuhku menindih lukisan separuh jadi. Di atas muntahan merah darah. Kecokelatan. Kering. Campur dengan kopi hitam bikinannya.

*****

*Lanjutan dari cerpen berjudul Batu (10 Juli 2022)

Editor: Moch Aldy MA

Kala Lail
Kala Lail Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email