Dari anarkisme yang kerap terjadi dalam pertandingan hingga tren rambut para pemain bintang, sepak bola selalu memiliki cerita. Nyaris bersamaan dengan final Piala Dunia Qatar yang mempertemukan Perancis dan Argentina, saya dipertemukan dengan buku Sepak Bola Seribu Tafsir hasil racikan tangan Eddward S. Kennedy, buku yang layak disebut sebagai salah satu kitab suci para pencinta sepak bola.
Di bab pertama, Eddward berhasil menyihir para pembaca dengan wacana yang teramat sopan dan penuh kesantunan tentang anarkisme. Dalam pengamatan Eddward, anarkisme tak seperti apa yang kita yakini dan bayangkan selama ini. Apalagi saat anarkisme disangkut pautkan dengan sepak bola. Anarkisme tak hanya sejarah yang berdarah-darah di lapangan, di jalanan, apalagi sampai memakan korban. Anarkisme bukan pula sekadar tindakan brutal dan urakan serta sumbu keonaran. Anarkisme tak sesempit persepsi yang demikian.
Baca juga:
Jejak historis yang dikutip Eddward dalam karyanya membuktikan hal lain. Di Swiss, solidaritas kolektif anarko pernah mendirikan perpustakaan yang hingga kini telah mengoleksi ribuan buku. Perpustakaan tersebut dinamakan CIRA: International Centre for Research on Anarchism (hlm 24). Di perpustakaan tersebut terdapat pamflet berisi penolakan terhadap sepak bola modern yang cenderung komersial sebagai pengisi kantong kaum kapitalis. Tentu masih ada beragam kisah sunyi kebaikan-kebaikan kaum anarkis yang belum kita ketahui. Bila demikian, lantas seberapa banyak dosa kita selama ini terhadap anarkisme hanya karena kesalahpahaman persepsi dan asumsi.
Gaya Rambut dan Postmodernisme
Selanjutnya Eddward mengadakan pembacaan terhadap postmodernisme lewat tatanan rambut pemain sepak bola. Hadirnya David Beckham dalam dunia sepak bola pernah memantik Doktor Filsafat Perancis di Universitas Cambridge, Andy Martin, untuk menghadirkan teori “Becksistensialisme”, yakni eksistensialisme dengan potongan rambut sangat keren (hlm 61-62).
Dalam pengamatan Eddward, gaya rambut ala Beckham atau “Becksistensialisme” sendiri adalah babak final dari modernisme, puncak pemujaan terhadap pesepak bola dalam kerangka filsafat postmodernisme. Maka dari itu, model rambut ala Bacary Sagna hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan modernisme. Hal demikian ditegaskan oleh Lyotard, bahwa postmodernisme adalah ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme. Narasi-narasi besar modernisme pun sudah mengalami keruntuhan. Paralogi, pengakuan, dan penghargaan terhadap pluralitas narasi adalah tawaran alternatif yang diajukan oleh Lyotard (hlm 65). Termasuk pula pluralitas model rambut para pesepak bola pasca Beckham.
Sepak Bola dan Kekerasan
Di sisi lain, tindak kekerasan dan brutalitas masih terikat kuat dengan sepak bola. Seakan-akan tanpa kekerasan dan brutalitas sepak bola akan kehilangan daya magisnya. Suku Indian memperlakukan sepak bola layaknya peperangan antarsuku. Lima ratus orang dari masing-masing tim dipertemukan, mereka tak mengenal kata berhenti selagi skor masih imbang. Tidak jarang laga ini bisa berlangsung berhari-hari, dengan jumlah korban cedera atau bahkan meninggal dunia yang luar biasa (hlm 100).
Hingga hari ini pun sepak bola masih setia menyajikan tindak kekerasan, brutalitas, dan kebencian antarlawan. Apa yang salah dengan sepak bola? Siapa yang patut disalahkan? Haruskah sepak bola dihapuskan dari muka bumi agar manusia hidup tentram di dalam maupun di luar lapangan? Jawabannya tentu tidak.
Menurut Thomas Hobbes, secara ilmiah manusia memang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional dan destruktif yang saling mengiri dan membenci sehingga mudah menjadi kasar, jahat, buas dan pendek pikir. Berdasar pandangan Hobbes tersebut, sepak bola tak layak disebut sebagai ibu yang kerap kali melahirkan tindak kekerasan, brutalitas, dan kebencian. Manusia dengan atau tanpa sepak bola adalah kebencian sekaligus kekerasan itu sendiri.
Baca juga:
Maka dari itu, jangan heran bila kemudian Jean Paul Sartre menilai bahwa orang lain adalah neraka, hell is other people. Sebab pada asal muasalnya manusia memang diciptakan berwatak irasional dan destruktif versi Hobbes tadi. Dan siapa sangka sang proklamator hell is other people tersebut ternyata pernah melatih tim sepak bola di Perancis, Stade Saint-Germain. Ia pernah menerapkan filsafat eksistensial dalam memainkan strategi dan taktik timnya.
Formasi 4-4-1-0 yang diterapkan Sartre merupakan pengamalan dari prinsip filsafat eksistensialisme L’Etre et le Neant (Ada dan Tiada). Pemikir Inggris Barry Davies menjelaskan maksud formasi Sartre tersebut dengan “use a player by not using him” (hlm 91). Oleh sebagian orang, formasi ala Sartre dinilai sebagai strategi yang brilian sekaligus nyeleneh. Konon hal itulah yang kemudian melahirkan false 9 dalam sepak bola dan Sartre merupakan salah satu pelopornya.
Di luar hal-hal yang terulas di atas, tentu masih ada banyak hal brilian yang tersimpan dalam karya Eddward ini dalam membaca sepak bola. FIFA yang dinilai kerap melakukan masturbasi politik dengan Ballon d’Or, lahirnya agama Maradona di beberapa negara, bagaimana Nelson Mandela, pejuang kemanusiaan terbesar abad 20 bisa menaruh hati pada Liverpool, siapa yang paling nasionalis saat timnas Indonesia bermain tidak jelas, dan tentu ada beragam gagasan cemerlang dari para filsuf dan sosiolog sekelas Nietzche, Ritzer, Bourdieu, Baudrillard, Kant, Gandhi, hingga Zizek yang juga tersaji di dalamnya.
Pimred CNN Indonesia, Yusuf Dalipin dibuat kesulitan untuk mengkategorikan karya Eddward tersebut, karya tentang filsafat ataukah sepak bola. Namun yang jelas, karya tersebut merupakan paduan karya integratif-interkonektif bagi mereka yang sedang mabuk cinta terhadap filsafat dan sepak bola.