Tinggal di Pekalongan

Polisi Bukan Lagi Pelindung Rakyat

Khairul Anwar

2 min read

Saya akan merasa sangat senang ketika membaca berita bahwa ada polisi yang berhasil menangkap begal, pencuri, pengedar narkoba, atau orang yang melakukan tindak kriminal lainnya. Saya juga akan merasa gembira ketika melihat polisi membantu anak sekolah, lansia, dan orang disabilitas menyeberang jalan. Pendek kata, saya akan mengapresiasi polisi yang menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, yakni menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 

Namun, nyatanya tidak semua polisi mengayomi masyarakat. Mereka justru melakukan tindakan sebaliknya. Mereka menjadi musuh masyarakat dan menebar ancaman terhadap rakyat sipil. Seperti rentetan peristiwa yang terus terjadi baru-baru ini, ketika polisi dengan senjata lengkap melakukan kekerasan terhadap masyarakat.

Baca juga:

Dari berita yang viral di media sosial, terjadi bentrok antara polisi dan masyarakat di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah. Peristiwa ini mengakibatkan tiga warga menjadi korban. Mereka dilaporkan ditembak peluru tajam oleh aparat kepolisian. Tiga warga itu ditembak saat melakukan demo, satu di antara tiga orang tersebut meninggal dunia. Dalam aksinya, warga disebut menuntut 20% kebun plasma dan kawasan hutan di luar hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP).

Dalam kasus tersebut, saya menggarisbawahi bahwa cara yang dilakukan polisi dalam menangani massa aksi terlalu berlebihan. Mereka seakan tidak belajar dari tragedi Kanjuruhan yang memakan ratusan korban jiwa sebagai akibat penembakan gas air mata oleh kepolisian ke arah tribun penonton. Pada kasus di Kalteng tersebut, polisi menggunakan gas air mata dan peluru tajam untuk melawan rakyat.

Cara yang dilakukan polisi dalam kasus di Seruyan tersebut jelas tidak sesuai SOP tentang pedoman pengendalian massa. Jangankan menembak, melakukan pemukulan massa aksi saja adalah bentuk pelanggaran, meski dengan dalih keadaan darurat dan terpaksa. 

Polisi yang seharusnya menggunakan cara-cara manusiawi dalam mengendalikan massa, pada kenyataannya malah melakukan serangan kepada masyarakat. Saya pikir tragedi Kanjuruhan bakal dijadikan pelajaran berharga bagi institusi kepolisian untuk lebih lagi, nyatanya tidak. 

Polisi, dengan senjata lengkap di tangan, tak jarang masih menggunakan kekerasan dalam menangani massa, seperti yang terjadi di Wadas, Jawa Tengah, dan Rempang, Kepulauan Riau. Meskipun mereka berdalih untuk melindungi diri, bagi saya ini adalah pelanggaran. Dengan menembakkan gas air mata dan menggunakan cara kekerasan, polisi tidak mencerminkan sebagai institusi yang mengayomi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. 

Tidak Menindaklanjuti Laporan Masyarakat

Bentuk ketidakpedulian polisi terhadap masyarakat bukan saja terjadi dalam bentuk kekerasan kepada massa aksi, melainkan juga dalam hal laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. Seperti kasus viral yang belum lama ini terjadi, ketika seorang perempuan di Kabupaten Bekasi melaporkan suaminya atas kasus KDRT ke kepolisian setempat. Laporan perempuan itu dihentikan polisi karena suaminya sebagai terlapor menyangkalnya. Kasus KDRT itu berujung pada meninggalnya sang istri di tangan suaminya sendiri.

Kasus di Bekasi tersebut membuktikan bahwa kinerja institusi kepolisian di Indonesia masih lemah. Kinerja polisi perlu dievaluasi oleh pihak yang berwenang. Benar apa yang dikatakan netizen di media sosial, polisi tidak akan menindaklanjuti laporan masyarakat ketika tidak ada uang pelicin. Hashtag #percumalaporpolisi pun telah bertebaran di dunia maya.

Meskipun tidak dikasih uang, sudah seharusnya polisi bekerja maksimal membantu masyarakat. Terlebih di dalam peraturan perundang-undangan, tidak ada yang menyebutkan terkait biaya lapor polisi. Polisi bahkan dilarang untuk meminta bayaran dari masyarakat saat bertugas.

Baca juga:

Sekali lagi, tugas polisi adalah menjadi pelindung dan melayani masyarakat. Jangan sampai kasusnya viral dulu baru diusut. Fenomena ini turut menjadi hal yang perlu dibenahi. 

Kepada Siapa Polisi Berpihak?

Terkait kinerja polisi yang grusah-grusuh dalam menangani massa dan lelet dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, saya jadi bertanya-tanya: Benarkah tugas polisi melindungi masyarakat? Siapa yang sesungguhnya dilayani kepolisian? Atau jangan-jangan, polisi hanya tunduk pada orang-orang yang berkuasa. Misalnya, mereka membela kepentingan investasi tanpa peduli terhadap kondisi rakyat.

Seharusnya polisi sadar diri bahwa mereka digaji dari uang rakyat. Mereka bisa makan dan menyekolahkan anak-anak mereka dari uang negara, yang sebagian berasal dari uang pajak rakyat. Dari sini saja polisi seyogyanya berterima kasih kepada rakyat. Berterima kasih dengan cara bekerja yang baik untuk rakyat. 

Tindakan polisi yang kurang baik akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Perasaan tidak percaya tersebut akan membuat masyarakat merasa tidak aman, bahkan merasa takut jika ada polisi  di dekatnya. 

Dengan kehadiran polisi, seharusnya masyarakat merasa aman dan percaya bahwa mereka adalah pelindung yang menciptakan maupun meningkatkan keamanan. Namun, kenyataannya beragam kritik pedas masih menerpa kepolisian hingga kini.

Karena kinerjanya yang dinilai buruk oleh masyarakat, tugas polisi dengan karakteristik good governance sepertinya sia-sia. Keadaan tersebut kemudian memunculkan perasaan bahwa kepolisian tidak dapat dipercaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat.

 

Editor: Prihandini N

Khairul Anwar
Khairul Anwar Tinggal di Pekalongan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email