Di dalam Al-Qur’an, kata masjid muncul sebanyak 28 kali. Sebanyak 22 kali di antaranya dalam bentuk tunggal dan 6 kali dalam bentuk jamak. Salah satunya seperti yang terdapat dalam surah At-Taubah ayat 18.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Masjid adalah sentra kegiatan ibadah dan dakwah Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW selama di Madinah. Selain itu, Nabi juga menggunakan masjid sebagai tempat pendidikan kaum muslimin, tepatnya di Masjid Nabawi.
Rupa-rupanya, pendidikan terselenggara dengan memberikan hak dan kesempatan yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Khusus muslimah, terkadang berdialog langsung dengan Nabi, terkadang juga berdialog dengan para istri Nabi dan diteruskan kepada Nabi Muhammad SAW.
Syahdan, dalam sejarah politik dan peradaban Islam pasca Nabi wafat, pembangunan masjid menjadi kewajiban sosial para penguasa untuk mengakomodir kebutuhan komunitas dan suku tertentu. Seiring Islam tumbuh dan berkembang, komunitas muslim di berbagai negara merasa perlu membuat gerakan kelembagaan agama dalam gaya hidup masyarakat modern. Muslim membuat wadah di bawah lembaga masjid atau yang biasa mereka sebut community center.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa masjid adalah tempat mengajarkan, membicarakan, dan menyimpulkan semua pokok ajaran Islam. Ajaran hidup Islam itu terperinci pada tiga bidang, yaitu agama, antropologi, dan kebudayaan. Istilah yang familiar dalam studi Islam yaitu ibadah, taqwa/ihsan, dan muamalah.
Berkaitan dengan ibadah, misalnya, masjid adalah tempat yang suci. Suasananya damai dan memberikan ketenangan. Namun, dalam sejarah perkembangan Islam, tidak mencatat adanya upaya pemisahan yang eksklusif antara masjid dan urusan masyarakat. Ini karena urusan masyarakat dalam Islam merupakan perkara muamalah ma’annas yang mengandung makna ibadah dan nilai kesucian juga.
Dengan demikian, masalah sehari-hari dianggap absah untuk dibawa ke masjid. Terlebih lagi, banyak riwayat mengemukakan bagaimana masjid di masa-masa awal perkembangan Islam juga bersifat multifungsi. Masjid digunakan sebagai tempat musyawarah, pendidikan, pelatihan kader, rapat pemerintahan, sidang kasus-kasus perselisihan hukum, hingga penyusunan strategi perang.
Masjid Ramah Disabilitas
Hakikatnya, misi Islam dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas terdapat pada kisah Abdullah Ibnu Umi Maktum, seorang tuna netra yang menemui Nabi Muhammad SAW untuk belajar Islam. Ketika sahabat Abdullah Ibnu Ummi Maktum mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk memohon bimbingan Islam, Nabi mengabaikannya.
Akan tetapi, menurut riwayat yang sahih, pengabaian Nabi dikarenakan beliau sedang mengadakan rapat bersama petinggi kaum Quraisy terkait nasib kaum muslimin secara umum. Kemudian, turun ayat Al-Qur’an surah Abasa sebagai peringatan agar Nabi lebih memperhatikan Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang disabilitas daripada para pemuka Quraisy.
Alhasil, semenjak turunnya teguran itu, Nabi Muhammad SAW sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum dan bila menjumpainya langsung menyapa dengan kalimat:
مَرْحَبًا بِمَنْ عاَتبَنِي رَبِّ فِيهِ
Artinya: “Selamat berjumpa wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.”
Akhirnya, karena melihat asbabun nuzul surah Abasa, Islam pun sangat memperhatikan penyandang disabilitas. Bahkan, menerima mereka setara sebagaimana manusia lainnya dan memprioritaskannya. Rasulullah SAW juga melakukan pemberdayaan dan pengembangan potensi penyandang disabilitas.
Sekali lagi, setidaknya hal itu pernah terjadi terhadap sahabat Ibnu Ummi Maktum yang dapat berkembang sebagai individu difabel yang tangguh dan mandiri, serta mempunyai skill kepemimpinan yang kuat. Terbukti, Rasulullah pernah mengangkat Ibnu Ummi Maktum untuk mewakilinya menjadi imam di Madinah ketika Nabi sedang bepergian ke luar kota.
Tulisan lain oleh Salman Akif Faylasuf:
Disabilitas Era Modern
Pemenuhan hak disabilitas saat ini dilakukan dengan pemenuhan hak sosial dan akses fasilitas umum yang ramah disabilitas. Masjid sebagai salah satu fasilitas umum juga menjadi sasaran accessible congregations dalam pemenuhan hak disabilitas.
Accessible congregations adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tempat ibadah yang secara fisik, komunikasi, dan sikap bisa diakses dengan mudah oleh para penyandang disabilitas. Organisasi ADA (American Disability Act) mewajibkan setiap bangunan publik untuk menyediakan akses bagi para difabel. Misalnya, membuat tangga landai (ram) dan pintu yang cukup lebar agar bisa diakses pengguna kursi roda.
Tempat ibadah yang aksesibel untuk difabel minimal memiliki arsitektur, komunikasi, dan sikap komunitas yang tidak menghalangi anak-anak dan jamaah difabel untuk bisa sembahyang, belajar, dan memimpin jamaah. Gerakan accessible congregations di negara sekuler seperti Amerika Serikat setidaknya dapat menginspirasi muslim Indonesia untuk lebih memperhatikan hak disabilitas dalam beribadah, menerima dakwah, serta belajar Islam di masjid.
Islam memandang semua manusia setara. Hal yang membedakan antarmanusia adalah tingkat ketakwaan, tidak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 61:
لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti.” (QS. An-Nur [24]: 61).
Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Emma Amelia