Afif Maulana, bocah berusia 13 tahun, ditemukan tewas di bawah jembatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat. Jasadnya penuh luka lebam di sekujur tubuh. Ia diduga menjadi korban kekerasan dan penyiksaan pihak kepolisian.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Indira Suryani dalam keterangannya menyebutkan bahwa polisi juga diduga menyiksa lima anak dan dua orang dewasa lainnya hingga menyebabkan luka-luka. Para korban dicambuk, disetrum, dipukul dengan rotan, diseruduk motor, dan disulut rokok, serta mengalami kekerasan seksual.
Baca juga:
Kejadian itu menambah daftar panjang kekerasan yang dilakukan oleh Polri. Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) periode Januari-Juni 2024 terdapat 308 peristiwa kekerasan oleh anggota kepolisian. Tindak kekerasan tersebut mencakup penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, extrajudicial killing, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Dapat dikatakan, pada awal tahun ini saja, kepolisian—sebagai salah satu institusi negara dengan alokasi APBN terbesar—melakukan tindak kekerasan sebanyak dua kasus setiap harinya.
Dalam tiga tahun terakhir, KontraS juga mencatat dan melaporkan ratusan kasus dugaan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap masyarakat sipil sebagai berikut: 651 kasus pada 2021, 677 kasus pada 2022, dan 622 kasus pada 2023.
Warisan Kolonial
Budaya kekerasan dalam kepolisian tidak bisa dilepaskan dari sejarah pembentukan lembaga tersebut. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kepolisian modern berakar dan terbentuk dari warisan kolonial. Ia berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan mengawasi penduduk, alih-alih melayani masyarakat secara umum.
Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) menguraikan bagaimana pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia menggunakan polisi untuk menegakkan otoritas dan menjaga “ketertiban” di kalangan penduduk pribumi. Polisi kolonial sering kali bertindak represif untuk menundukkan perlawanan dan memastikan ketaatan terhadap aturan kolonial.
Fungsi kontrol itu membentuk dasar dari institusi kepolisian yang kemudian diwariskan kepada negara-negara merdeka setelah periode kolonial berakhir. Syahdan, banyak kepolisian di negara-negara bekas jajahan yang masih membawa warisan metode dan mentalitas kolonial yang represif dan otoriter.
Selain itu, kultur militeristik yang kental dalam institusi kepolisian turut memainkan peran signifikan dalam pewajaran kekerasan. Kepolisian Indonesia pun mengadopsi struktur dan praktik yang mirip dengan militer. Hierarki yang kaku, keras, ditambah dengan pelatihan yang menekankan pada penggunaan kekuatan fisik adalah beberapa ciri utama dari pendekatan militeristik ini.
Pelatihan polisi kerap kali terlalu fokus pada penggunaan kekuatan dan pendekatan paramiliter sehingga cenderung menciptakan mentalitas “us versus them” di kalangan polisi. Polisi sering kali melihat diri mereka sebagai pihak yang superior dan terpisah dari masyarakat yang mereka layani. Alhasil, polisi mempersepsikan masyarakat sebagai potensi ancaman yang perlu diawasi dan dikendalikan dengan ketat, alih-alih sebagai komunitas yang perlu dilindungi dan dibantu. Pewajaran model ini berbahaya karena dapat mengikis prinsip-prinsip demokrasi dan penegakan hukum yang berbasis masyarakat.
Salah satu amanat Reformasi 1998 adalah memisahkan peran polisi dan militer. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa polisi tidak berfungsi seperti militer yang sering kali terkait dengan penggunaan kekerasan yang berlebihan dan tidak proporsional. Pemisahan ini juga berguna untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, serta mendorong reformasi dalam penegakan hukum yang lebih berbasis hak asasi manusia dan transparansi. Namun, sudahkah kepolisian kita menjalankannya?
Baca juga:
Pelanggengan Impunitas
Budaya kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan di tubuh kepolisian seolah menjadi sesuatu yang normal dan terus berlanjut tanpa ada pertanggungjawaban. Hal ini merupakan praktik impunitas. Dengan kata lain, sudah jadi pemandangan umum bagaimana pelaku kejahatan, terutama yang berasal dari institusi yang seharusnya menegakkan hukum, tidak menghadapi hukuman atas tindakan yang mereka perbuat.
Praktik impunitas dan budaya kekerasan dalam institusi kepolisian merupakan manifestasi dari problem sistemik dan struktural. Budaya kekerasan telah dinormalisasi dan bahkan dilembagakan sebagai metode kerja yang dianggap efektif dan tidak terpisahkan dari penegakan hukum.
Fenomena itu tidak hanya mencerminkan kegagalan dalam pelatihan dan pembinaan etika kepolisian, tetapi juga menunjukkan adanya distorsi pemahaman tentang kewenangan dan fungsi kepolisian dalam masyarakat demokratis. Penggunaan kekerasan yang seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam suatu masyarakat yang menganut demokrasi, justru menjadi pendekatan utama dalam menangani berbagai situasi di Indonesia.
Keterkaitan antara praktik impunitas dan kekerasan dalam tubuh kepolisian membentuk suatu simbiosis yang destruktif dan self-perpetuating. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan tidak hanya menjadi manifestasi dari penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga diperkuat dan diwajarkan oleh absennya pertanggungjawaban hukum yang memadai sehingga menciptakan lingkaran setan. Kekerasan melahirkan impunitas dan impunitas, pada gilirannya, melegitimasi serta mendorong lebih banyak tindak kekerasan. Begitu terus berulang-ulang.
Baca juga:
Dunia Tanpa Polisi
Serangkaian kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap masyarakat sipil mengantarkan kita pada sebuah imajinasi tentang dunia tanpa polisi. Hal yang mungkin terdengar utopis, tetapi setidaknya hal ini dapat menjadi stimulus untuk mendekonstruksi peran dan fungsi kepolisian di dalam masyarakat.
Abolisionisme kepolisian telah banyak menjadi wacana akademik dan aktivisme kontemporer. Derecka Purnell dalam Becoming Abolitionists: Police, Protest, and the Pursuit of Freedom (2021) menyebutkan bahwa proses menuju abolisi polisi harus dipahami sebagai perjalanan panjang yang melibatkan eksperimen sosial, pembelajaran kolektif, dan transformasi bertahap dari cara kita memahami dan mempraktikkan keamanan, keadilan, dan kebebasan dalam masyarakat.
Konsep dunia tanpa polisi bukan berarti meniadakan seperangkat aturan, ketertiban, apalagi penegakan hukum. Sebaliknya, selain sebagai kritik, ia harus dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan inklusif sehingga keamanan dan keadilan di sana tidak hanya bergantung pada kekuatan represif. Di dunia itu, keamanan dan keadilan adalah tanggung jawab kolektif dengan pendekatan-pendekatan yang lebih humanis atau dengan model-model alternatif lainnya yang tidak berbasis pada kekerasan.
Sekali lagi, meski terdengar utopis, abolisionisme kepolisian harus menjadi wacana yang terus dibicarakan dan didorong praktiknya sepanjang budaya kekerasan dan impunitas masih hinggap di tubuh kepolisian.
Editor: Emma Amelia