Di era digital yang terus berkembang pesat, fenomena love bombing semakin marak terjadi, terutama di kalangan remaja yang lebih rentan terhadap “turbo dating” (pacaran kilat). Media sosial memainkan peran besar dalam mempercepat pengambilan keputusan emosional, termasuk dalam hal keintiman fisik. Remaja kerap kali terjebak dalam dinamika hubungan yang intens dan cepat.
Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi dan risiko hubungan seksual di luar nikah. Minimnya edukasi tersebut berkontribusi pada meningkatnya kasus kehamilan di luar nikah, khususnya di kalangan remaja. Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 50.000 anak di Indonesia terlibat dalam pernikahan dini akibat kehamilan di luar nikah, jumlah yang mencerminkan dampak nyata dari kurangnya kesadaran dan kontrol dalam hubungan remaja.
Apakah semua ini terjadi secara sengaja? Di sinilah kompleksitas masalah ini muncul. Banyak pelaku love bombing tidak menyadari bahwa tindakan mereka bersifat manipulatif, karena mereka menganggap perhatian berlebihan adalah bentuk kasih sayang yang tulus. Namun, ada juga pelaku yang secara sadar menggunakan love bombing sebagai strategi untuk mengontrol pasangan, terutama mereka yang memiliki sifat posesif dan kecenderungan narsistik.
Baca juga:
Apa pun motifnya, dampak dari love bombing tetap sama: korban menjadi terisolasi dan kehilangan kebebasan. Hasil penelitian Claire C. Strutzenberg (2016), yang melibatkan 484 mahasiswa di Amerika Serikat bagian Selatan, menunjukkan bahwa love bombing lebih sering ditemukan pada individu dengan kecenderungan narsistik. Penelitian ini menegaskan bahwa di balik pujian dan perhatian yang memabukkan, terdapat pola manipulasi yang sistematis.
Menaruh Curiga
Love bombing kerap kali dimulai dengan kisah cinta yang sempurna, pelaku, yang piawai dalam membangun citra ideal, membuat korban merasa istimewa, seolah-olah telah menemukan pasangan impian yang siap mendukung di segala sisi kehidupan. Perasaan nyaman ini membuat korban meyakini bahwa hubungan mereka adalah anugerah, bahkan sebelum benar-benar mengenal kepribadian pelaku.
Fenomena ini sering kali terlihat di kalangan remaja. “Turbo dating” (pacaran kilat) dilakukan dengan saling bertukar sandi media sosial, kartu seluler, bahkan gadget. Dan setiap kali hendak keluar rumah, “diwajibkan” melakukan panggilan video atau membagikan lokasi secara langsung melalui WhatsApp. Kontrol ini dilakukan atas nama kewaspadaan, seolah-olah pasangan harus selalu berada di bawah pengawasan.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, ketika ingin mengakhiri hubungan, pihak yang dominan mengancam akan menyebarkan video pornografi atau konten pribadi yang telah direkam bersama. Ancaman ini memperparah perasaan terjebak, menambah lapisan manipulasi dan kontrol emosional dalam hubungan, di mana privasi dijadikan senjata untuk mempertahankan kekuasaan atas diri pasangan.
Namun, inilah sisi yang jarang disadari, seiring berjalannya waktu, apa yang tadinya tampak sebagai cinta tanpa syarat perlahan berubah menjadi strategi kontrol yang penuh perhitungan. mengekang kebebasan, dan memonitor setiap tindakan bahkan tanpa perlu berkata-kata.
Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), kasus penyebaran konten intim tanpa persetujuan (Non-Consensual Dissemination of Intimate Images/NCII) di Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, SAFEnet menerima 508 aduan terkait NCII. Jumlah ini meningkat menjadi 677 kasus pada tahun 2022, dengan mayoritas korban adalah remaja yang diancam oleh mantan pasangan.
Baca juga:
Efek Ketergantungan Dikalangan Remaja
Tantangan sosiokultural di Indonesia juga berkontribusi pada sulitnya remaja keluar dari hubungan yang manipulative. Fenomena love bombing dalam konteks “turbo dating” dapat membawa dampak serius.
Secara psikologis, love bombing memiliki dampak neurokimia yang memperkuat ketergantungan emosional. Ketika pelaku memberikan pujian dan perhatian berlebihan, otak korban mengalami pelepasan hormon dopamin dan oksitosin yang menciptakan perasaan euforia dan keterikatan emosional yang kuat.
Kondisi ketergantungan yang diciptakan oleh love bombing mengaburkan kemampuan korban untuk melihat tanda-tanda bahaya dalam hubungan tersebut. Dalam situasi ini, batasan-batasan pribadi dapat kabur, dan keputusan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih intim dibuat tanpa pertimbangan matang.
Akibatnya, remaja dalam hubungan semacam ini rentan terhadap tekanan untuk melakukan hubungan seksual, yang pada akhirnya meningkatkan risiko kehamilan di luar nikah karena syndrome ketergantungan emosional, dan takut kehilangan “sosok sempurna” yang dikagumi menjadi hambatan untuk menilai realitas secara objektif.
Untuk mengatasi fenomena love bombing yang kian marak di era digital, langkah strategis diperlukan guna melindungi remaja dari dampak negatifnya. Edukasi seks dan hubungan sehat yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan harus menjadi prioritas. Pemahaman tentang bagaimana mengenali dan membangun hubungan yang sehat perlu diberikan. Dukungan psikososial juga tak kalah penting, caranya dengan menyediakan ruang aman bagi remaja untuk berbicara dan mendapatkan bantuan saat terjebak dalam hubungan manipulatif.
Editor: Prihandini N