Akhir-akhir ini, banyak influencer dari kalangan selebriti atau artis yang menggunakan tagar #SavePalestine atau emoji semangka di unggahan Instagram atau media sosial lainnya guna menunjukkan dukungan terhadap Palestina. Kendati demikian, dukungan tidak hanya mengalir untuk Palestina, terdapat pula influencer yang secara terang-terangan mendukung Israel, seperti Gal Gadot dan Kylie Jenner. Selebriti seperti Justin Bieber dan Jamie Lee Curtis bahkan blunder saat menyatakan dukungannya. Mereka mengunggah caption “Pray for Israel” tetapi menggunakan foto kehancuran kota Gaza. Selain itu, ditemui pula beberapa influencer Israel yang membela negaranya dengan cara menghina Palestina.
Secara nurani, hal tersebut mungkin akan memunculkan pertanyaan dalam benak kita. Bagaimana bisa seseorang mendukung perilaku keji Israel terhadap Palestina? Apakah orang tersebut mengidap gangguan mental atau psikopat? Sebagaimana diketahui, serangan yang dinyatakan oleh Presiden Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai balasan terhadap Hamas nampaknya hanya sebuah justifikasi belaka. Israel telah banyak melanggar prinsip-prinsip perang. Serangan demi serangan justru dimaksudkan untuk merenggut jiwa masyarakat rentan, seperti anak-anak dan orang tua. Israel bahkan menjadikan rumah sakit dan sekolah sebagai target empuk bom udara. Lalu, mengapa para influencer tersebut justru mewajarkan tindakan Israel?
Baca juga:
Banalitas Kejahatan dan Otoritarianisme
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat merujuk pada pemikiran Hannah Arendt, teoritikus politik Yahudi berkebangsaan Jerman. Ia mengemukakan bahwa tidak selamanya kejahatan dilakukan oleh orang-orang jahat yang penuh dengan dendam. Kejahatan dapat pula dilakukan oleh orang “biasa”, mereka adalah orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memosisikan diri sebagai orang lain dan tidak berpikir kritis dalam memandang suatu fenomena.
Kondisi ini disebut oleh Arendt sebagai “banality of evil” atau “banalitas kejahatan”. Istilah ini dikenal dalam karyanya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Ia menguraikan konsep banalitas kejahatan dalam fenomena nyata yang dilakukan Adolf Eichmann, tokoh militer pada masa rezim Hitler. Secara sadar, Eichmann mencabut nyawa jutaan orang Yahudi dalam tragedi Holocaust. Ironisnya, bahkan hingga akhir hayat tidak ada sedikit pun rasa penyesalan di benak Eichmann. Ia justru heran mengapa banyak masyarakat Jerman membencinya, padahal menurutnya yang telah ia lakukan merupakan sebuah keberhasilan dalam menyelesaikan tugas besar.
Faktanya, Eichmann tidak divonis mengidap gangguan mental dan ia bukanlah seorang psikopat. Kedangkalan (banal) Eichmann dalam berpikir adalah alasannya. Kegagalannya memahami situasi akibat pengaruh penguasa yang absolut menjadikan Eichmann melihat tindak kejahatan sebagai suatu hal yang wajar. Inilah makna banalitas kejahatan yang ditawarkan oleh Arendt, ketika tindakan kejahatan atau kesalahan telah dipandang sebagai suatu hal yang biasa atau lumrah.
Fenomena ini kembali terjadi dalam konflik Israel-Palestina. Pembantaian brutal dan penyiksaan secara sistematis telah dibiarkan dianggap sebagai hal yang wajar. Tentara Israel melakukan tugasnya sebagai algojo secara enteng. Dalam postingan TikTok, mereka bahkan kerap membagikan vlog keseharian sebagai tentara IDF (Israel Defence Forces). Mereka melakukan aktivitas seakan dunia sedang baik-baik saja. Menurut Arendt, kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya doktrin dari penguasa yang otoriter, baik berupa paham keagamaan maupun rasial yang kemudian menghilangkan rasa empati dan kemanusiaan pada pelaku kekerasan.
Kejahatan dalam Paras Tersohor
Saya merefleksikan banalitas yang dilakukan tentara Israel sama halnya dengan yang dilakukan influencer pendukung Israel. Terdapat dua banalitas kejahatan di sini, yakni tindakan mendukung genosida dan membiarkan penjajahan. Influencer yang mengampanyekan dukungannya terhadap Israel sama saja dengan membenarkan tindakan tentara Israel untuk menyerang dan menyiksa rakyat sipil Palestina secara brutal demi mengakuisisi tanah yang bukan haknya.
Baca juga:
Doktrin yang telah terinternalisasi dalam pikiran, serta kurangnya pemahaman dalam melihat suatu fenomena secara kritis, membuat mereka sulit untuk mempertimbangkan dampak dan akibat tindakan mereka. Padahal, sebagai influencer dengan ratusan ribu bahkan jutaan pengikut, unggahan mereka tidak hanya sekadar tontonan. Lebih dari itu, unggahan mereka memiliki kekuasaan naratif di dalamnya. Bayangkan bagaimana multiple effect yang dihasilkan dari unggahan mereka. Publik yang tidak teredukasi dengan baik dapat dengan mentah menelan informasi yang mereka berikan.
Realitas di atas seakan menjadi wujud baru dari konsep banalitas, yakni banalitas kejahatan di media sosial. Serupa dengan kasus Eichmann, fenomena ini juga memberikan gambaran bahwa kejahatan tidak selalu identik dengan karakter jahat seperti yang selama ini dikonstruksikan, seperti wajah sangar, psikopat, bertato, kriminal. Justru sebaliknya, terkadang kejahatan menjelma dalam paras elok, terpandang, tersohor seperti selebriti. Maka dari itu, penting bagi kita sebagai netizen untuk dapat mengkaji kembali sejarah dan kebenaran secara holistik dalam melihat fenomena konflik Israel-Palestina.
Editor: Prihandini N