Wregas Bhanuteja kembali membuat film yang menyoroti media sosial. Film arahan dia sebelumnya, Penyalin Cahaya (2021), menyingkap efek negatif media sosial yang mengakibatkan pemeran utama film itu gagal mendapatkan beasiswa karena foto dirinya yang tengah memegang gelas berisi alkohol dalam kondisi mabuk beredar di media sosial. Film terbaru Wregas, Budi Pekerti (2023), juga mengupas sisi negatif media sosial yang membawa Prani (Sha Ine Febriyanti) menuju lubang malapetaka yang tak berujung.
Budi Pekerti memborong 17 nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia 2023. Angga Yunanda, Sha Ine Febriyanti, Omara Esteghlal, hingga Wregas sendiri masuk nominasi penghargaan film bergengsi di tanah air itu.
Sebelum akhirnya “pulang kampung”, Budi Pekerti telah melanglangbuana ke berbagai negara. Pada 9 September 2023, film ini diputar di world premier Toronto International Film Festival (TIFF). Tak hanya itu, film ini juga ikut berkompetisi pada perhelatan SXSW Sydney 2023 Screen Festival yang berlangsung pada 15-22 Oktober 2023.
Seperti tidak puas menguliti media sosial, Wregas menemukan kebobrokan lainnya dari media sosial dalam bentuk cyberbullying dan akhirnya menjadikan isu itu sebagai tema Budi Pekerti. Ia mengamati bahwa netizen gemar merundung orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma sosial.
Prani adalah salah satu korban cyberbullying. Salah satu netizen merekam kejadian cekcok di pasar antara Prani dengan pembeli lain. Dalam rekaman itu, terdengar Prani mengeluarkan kata umpatan kepada pedagang putu yang sudah tua. Rekaman tersebut akhirnya diunggah ke media sosial dan Prani dirundung habis-habisan oleh netizen.
Baca juga:
Cyberbullying yang Mengerikan
Prani adalah seorang guru SMP. Ia memiliki dua anak bernama Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina). Kedua anak Prani aktif menggunakan media sosial. Muklas adalah seorang content creator dan Tita adalah anggota band yang kerap kali menyuarakan kritik sosial di media sosial. Terpengaruh oleh kedua anaknya, Prani akhirnya menjajal untuk menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan metode pengajaran yang diterapkannya sebagai guru.
Wregas memilih latar waktu ketika pandemi COVID-19 masih berlangsung dalam film ini. Saya rasa keputusannya cukup tepat. Semua kegiatan yang memerlukan interaksi antar manusia seketika terhenti ketika pandemi, termasuk kegiatan belajar mengajar. Pihak sekolah harus memutar otak agar kegiatan belajar mengajar tetap diadakan. Teknologi menjelma menjadi sang penyelamat. Kegiatan belajar mengajar pun akhirnya tetap berjalan melalui pertemuan daring.
Kondisi ekonomi keluarga Prani dikisahkan amburadul saat pandemi. Padahal, suaminya, Didit (Dwi Sasono), perlu melakukan konsultasi dengan psikolog secara rutin dan juga meminum obat-obatan. Biaya konsultasi dan harga obat cukup mahal. Akhirnya, kedua anaknya ini membantu memperbaiki keuangan keluarga sederhana ini. Sebagai content creator yang memiliki banyak followers, Muklas berhasil memperoleh pendapatan yang cukup. Sementara itu, Tita menjual pakaian bekas (thrift) melalui media sosial karena pendapatan dari band sangat tidak cukup.
Seakan permasalahan tak pernah berhenti mendatangi keluarga Prani, kali ini mereka harus menghadapi masalah cyberbullying. Perundungan ini adalah buntut peristiwa cekcok antara Prani dengan pembeli putu di salah satu pasar di Yogyakarta. Prani menegur pembeli yang menyerobot antrean dan si pembeli yang ditegur itu tidak terima. Adu mulut terjadi. Si pedagang berusaha untuk melerai kedua belah pihak. Prani ditawari oleh si pedagang untuk mengambil pesanannya terlebih dahulu agar cekcok berakhir. Prani enggan dan meninggalkan pedagang tersebut sembari berkata “ah suwi” kepada si pembeli.
Celakanya, kejadian adu mulut ini direkam oleh salah satu pembeli dan diunggah ke media sosial. Lalu, ada salah satu content creator yang membingkai seolah-olah Prani mengucapkan kata “asui” (yang artinya “anjing” dalam bahasa Jawa). Netizen mengira kata itu ditujukan kepada pedagang putu yang sudah tua renta. Sontak, netizen kaget dan langsung mengomentari video itu dengan kata-kata umpatan.
Prani pertama kali mengetahui video itu dari muridnya. Ketika Prani mendengar si murid mengumpat dan dia menegurnya, si murid berkata, “Ah, ibu aja berkata kasar.” Prani bingung. Si murid kemudian menampilkan video berdurasi 20 detik itu kepada Prani. Prani kaget bukan kepalang.
Pada tahun 2019, sebuah polling yang diadakan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan bahwa 49% orang Indonesia pernah mengalami cyberbullying. Biasanya, cyberbullying diarahkan kepada kalangan selebriti. Namun, ironisnya, anak-anak adalah korban utama perundungan dunia maya.
Tak heran, media sosial menjadi ladang subur kebencian. Ketika melihat postingan yang dianggap tidak sesuai norma sosial, netizen kerap kalap membenci, bahkan menghancurkan hidup orang-orang yang terkait dengan postingan tersebut.
Ada empat faktor mengapa netizen suka mencemooh netizen lainnya. Keempat faktor itu ialah anonimitas, ketidaktampakan, minimnya otoritas, dan tidak adanya keharusan untuk bertemu langsung. Menurut para psikolog, keempat faktor itu dinamakan online disinhibition effect. Hal inilah yang menciptakan budaya buruk di media sosial.
Prani tentunya mendapatkan dampak buruk dari cyberbullying. Mulai dari tidak diikutsertakan dalam perlombaan lompat tali hingga terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya karena pihak sekolah khawatir tidak ada siswa baru yang akan mengenyam pendidikan di sana. Permasalahan ini pun menyeret kedua anaknya. Muklas harus rela kehilangan endorsement dan kepercayaan dari para followers-nya. Tita bahkan sampai dikeluarkan dari band karena ngotot membela ibunya.
Kesalahan masa lampau Prani ditelusuri terus oleh netizen. Dahulu, Prani pernah menjatuhi hukuman kepada salah satu muridnya yang bernama Gora (Omara Esteghlal). Tindakan Prani dinilai oleh netizen tidak etis. Hukuman bagi Gora adalah dia harus membantu tukang gali kubur untuk mengebumikan jenazah.
Netizen bisa mengendus tingkah laku Prani dari video testimoni Gora terhadap pengajaran Prani. Gora mengatakan bahwa hukuman tersebut sangat bermanfaat baginya karena dirinya tak lagi memiliki hasrat untuk berkelahi. Sialnya, netizen menilai berbeda. Netizen menganggap bahwa Prani kejam karena telah menimbulkan trauma pada Gora. Gara-gara hukuman ini, Gora harus melakukan konsultasi dengan psikolog. Ternyata, menurut Gora, ia berkonsultasi dengan psikolog tidak ada kaitannya dengan hukuman yang diberikan oleh Prani.
Prani kembali dibingkai buruk oleh netizen. Ia tidak bisa berkutik. Di media sosial namanya sudah tercoreng. Muklas dan Tita berusaha memperbaiki nama baik ibunya. Tita menyarankan ibunya membuat video klarifikasi mengenai duduk perkara kejadian adu mulut dengan pembeli yang ditegur Prani. Ternyata, si pembeli itu juga membuat video tandingan. Ia menuduh Prani telah memfitnah dirinya. Amarah netizen kembali memuncak. Prani semakin terpojok.
Dari Netizen, untuk Netizen, oleh Netizen
Fenomena perundungan dunia maya disoroti pula oleh Gina S. Noer dalam filmnya Like and Share (2022). Pada film tersebut, dua tokoh sentral, Lisa (Aurora Ribeiro) dan Sarah (Arawinda Kirana), mendapatkan komentar berbau seksual di video ASMR mereka. Pada akhir film, Lisa dan Sarah membacakan semua komentar negatif yang ditujukan kepada mereka.
Dalam Budi Pekerti, komentar-komentar jahat netizen tersebut memang ditampilkan, tetapi porsinya sedikit saja dan hanya untuk memberikan konteks kepada penonton. Wregas menempuh cara lain untuk tetap menguras emosi penonton terhadap fenomena cyberbullying ini, misalnya lewat kemarahan Muklas di rumah hingga dia membentur-benturkan kepala ke pintu, tangis hebat Tita, dan gigihnya Prani dalam mencari kebenaran.
Nuansa realis digunakan Wregas agar fenomena cyberbullying ini tampak dekat dengan kehidupan sehari-hari penonton. Keluarga Prani ditampilkan sederhana. Mereka tinggal di sebuah kampung kota yang kumuh dan padat. Tita dan Muklas digambarkan sebagai remaja yang sedang menggebu-gebu dalam menghidupi hidup. Tidak ada kondisi yang dilebih-lebihkan dalam film ini. Ketika mengalami perundungan, manusia sudah pasti takut dan sedih. Budi Pekerti menunjukkan reaksi alami manusia ketika dirundung.
Yang paling mengesalkan saya sepanjang jalannya film adalah sifat reaksioner netizen. Mereka membawa senjata berupa gawai. Ketika melihat fenomena yang “aneh”, dengan sigap mereka merekam atau mengambil gambar atas peristiwa itu. Secepat kilat rekaman sudah bisa dinikmati pengguna media sosial di seluruh dunia. Postingan netizen berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, tergantung pembingkaian yang digunakan oleh masing-masing netizen.
Keluarga Prani pada akhirnya terpaksa disetir oleh netizen. Mereka tidak boleh lagi membangkang terhadap keinginan netizen. Salah satu permintaan netizen yang harus dipenuhi oleh pihak yang bermasalah adalah video klarifikasi. Budi Pekerti memberikan banyak porsi bagi adegan video klarifikasi ini. Sempat saya berpikir bahwa film ini adalah film klarifikasi. Video klarifikasi A dibenturkan dengan video klarifikasi B, begitu terus berulang karena setiap pihak yang melakukan kesalahan di media sosial diwajibkan membuat video klarifikasi.
Terlepas dari pesan kuat tentang fenomena main hakim sendiri di media sosial yang ingin disampaikan oleh Wregas, Budi Pekerti adalah film yang unik. Wregas kerap kali bermain-main bentuk di dalam filmnya. Ada dua film Wregas terdahulu yang pernah saya tonton, Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019) dan Penyalin Cahaya (2021). Keduanya, plus Budi Pekerti, unik karena mengeksplorasi segala kemungkinan kejadian yang jarang terekam oleh kamera, tapi oleh Wregas akhirnya ditampilkan pada filmnya.
Budi Pekerti cocok untuk ditonton bagi kalian yang ingin merasakan pengalaman sinematik yang apik dengan latar tempat dan waktu yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Film ini juga akan disukai oleh tipe penonton yang mencari keunikan dalam sebuah film.
Ingat-ingat selalu, jangan sampai budi pekerti kalian disetir oleh netizen!
Editor: Emma Amelia