Ego Dominasi Sebagai Akar Bullying

Rafli Ahmad

2 min read

Fenomena bullying di Indonesia telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Setiap hari, media massa membanjiri kita dengan berita-berita tentang kasus pembulian yang terjadi di berbagai wilayah. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar kasus ini terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak: sekolah. Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi wadah untuk menuntut ilmu dan mengembangkan potensi diri justru berubah menjadi arena yang menakutkan bagi sebagian siswa.

Pengalaman pribadi saya dengan bullying terjadi enam tahun lalu ketika saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren. Awalnya, saya memiliki gambaran ideal tentang pesantren sebagai tempat berkumpulnya individu-individu yang saleh dan memahami ajaran agama dengan baik. Sebuah lingkungan yang seharusnya dipenuhi dengan nilai-nilai kebaikan dan pembelajaran spiritual. Namun, bayangan indah itu mulai retak sejak hari pertama saya menginjakkan kaki di sana.

Realitas yang saya temui di pesantren jauh berbeda dari ekspektasi awal. Ternyata, pesantren tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya calon ulama atau mereka yang tulus mencari ilmu agama. Ada juga sejumlah siswa yang dikirim orangtua mereka dengan harapan dapat “diperbaiki” perilakunya. Meskipun tidak semua santri seperti itu, kehadiran mereka cukup untuk menciptakan dinamika sosial yang kompleks di lingkungan pesantren.

Di balik tembok-tembok pesantren yang dianggap suci, tersimpan berbagai kisah kelam yang jarang terungkap ke permukaan. Salah satu yang paling membekas dalam ingatan saya adalah kasus bullying yang menimpa seorang teman, sebut saja Fulan. Lahir dan dibesarkan di Jepang, Fulan memiliki penampilan yang sangat khas. Dengan perawakan seperti tokoh Nobita dalam serial Doraemonberkacamata tebal dan pembawaan yang cenderung pendiam–dia menjadi target empuk para pelaku bullying.

Baca juga: 

Awal mula perlakuan tidak menyenangkan terhadap Fulan dimulai dari seorang siswa yang memiliki penampilan sempurna menurut standar sosial masa kini. Dengan postur tubuh ideal, wajah rupawan, dan gaya berpakaian yang trendi, dia memulai rangkaian bullying dengan menciptakan julukan “Mr. JI” (Jepang idiot) untuk Fulan. Julukan ini dengan cepat menyebar ke seluruh angkatan laki-laki, menciptakan efek domino yang membuat hampir semua orang ikut menggunakan panggilan merendahkan tersebut.

Kasus ini akhirnya terungkap setelah seorang ustaz mengumumkannya di hadapan seluruh santri. Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa Fulan tidak hanya menderita karena julukan buruk. Para pelaku yang mengetahui ketakutan Fulan terhadap cicak, sering menggunakan hewan tersebut untuk menakut-nakutinya. Beberapa bahkan tega mengejarnya sambil membawa cicak, menciptakan trauma yang mendalam bagi Fulan.

Fulan bukanlah satu-satunya korban dalam lingkaran bullying ini. Beberapa santri lain yang memiliki postur tubuh lebih pendek dari rata-rata juga menjadi sasaran. Meskipun perlakuan yang mereka terima tidak seburuk yang dialami Fulan, dampak psikologisnya tetap ada. Mereka kerap dipanggil dengan nama orang tua mereka sebagai bentuk ejekan, sebuah praktik yang mungkin terlihat sepele namun tetap meninggalkan bekas luka emosional.

Ketika saya mencoba menggali lebih dalam dengan bertanya kepada pelaku utama tentang motivasinya membully Fulan, jawabannya mengungkapkan pola pikir yang mengkhawatirkan. Dia mengaku merasa senang dan bangga bisa mendominasi orang lain, terutama mereka yang dianggap lemah atau berbeda. Yang lebih mengejutkan, pelaku tidak menganggap tindakannya sebagai bullying. Baginya, itu hanya bentuk candaan yang wajar. Para pelaku lain yang ikut-ikutan juga mengaku tidak menyadari bahwa tindakan mereka termasuk dalam kategori bullying.

Fenomena ini mengungkapkan beberapa faktor kunci yang melanggengkan praktik bullying di lingkungan pendidikan. Pertama, kurangnya pemahaman tentang dampak buruk bullying. Banyak pelaku yang tidak menyadari bahwa ‘candaan’ mereka sebenarnya adalah bentuk kekerasan psikologis. Kedua, adanya tokoh sentral yang memulai dan menciptakan tren negatif yang kemudian diikuti oleh orang lain tanpa pikir panjang. Ketiga, ketidakmampuan untuk menghargai perbedaan, terutama dalam hal penampilan fisik.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Orang tua dan guru harus bekerja sama dalam memberikan edukasi sejak dini tentang bahaya bullying. Anak-anak perlu diajari untuk menghargai perbedaan dan memahami dampak jangka panjang dari tindakan mereka terhadap orang lain. Institusi pendidikan juga harus memiliki sistem yang jelas untuk mendeteksi, mencegah, dan menangani kasus bullying.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa penampilan bisa menjadi pedang bermata dua dalam konteks bullying. Di satu sisi, ia bisa menjadi kelemahan yang dieksploitasi oleh pelaku. Di sisi lain, penampilan yang dianggap superior bisa menjadi sumber kepercayaan diri yang disalahgunakan untuk mendominasi orang lain. Namun yang terpenting untuk diingat adalah bahwa setiap orang memiliki hak untuk tampil sebagaimana adanya tanpa takut menjadi korban bullying.

Harapan ke depan, kesadaran tentang dampak bullying bisa terus ditingkatkan. Kita semua harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua orang, terlepas dari penampilan atau latar belakang mereka. Mari mulai dari diri sendiri dengan menjadi lebih peka dan bijak dalam berperilaku, karena setiap tindakan kita, sekecil apapun, bisa memberi dampak besar dalam kehidupan orang lain. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Rafli Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email