Chairil Anwar dan Mitos Perayaan Puisi

Romario

2 min read

Pada mulanya Chairil adalah penyair, puisi-puisinya hadir mendobrak tatanan bahasa yang didominasi puisi melayu yang mendayu-dayu. Chairil laksnana pembaharu dalam dunia puisi, kata binatang jalang yang termuat dalam puisi “Aku” terasa aneh, karena puisi pada masa itu penuh kesopanan dan gambaran alam. Sedang Chairil melabrak batas kesopanan puisi dan meletakan alam bukan dalam sebuah pragma pemandangan namun dalam sebuah perasaan individu. Puisi ‘Senja di Pelabuhan Kecil” dengan lanskap pelabuhan menggambarkan bagaimana perasaaan individu yang saki hati karena kekasih “Ini kali tak ada yang mencari cinta/ di antara gudang, rumah tua, pada cerita, tiang serta temali./Kapal. Perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut….”

Ada banyak lagi puisi-puisi Chairil yang menarik, semuanya dibukukan dalam buku Deru Campur Debu yang belakangan diberi judul Aku ini binatang jalang karya Chairil Anwar. Chairil meninggal tahun 1949 saat berumur 27 tahun. Situasi sulit memang menimpa Chairil dan anak-anak muda sezamannya, semangat revolusi sedang bergemuruhnya saat Indonesia memproklamsikan merdeka 1945. Peralihan kolonial Belanda ke kolonial Jepang, proklamasi kemerdeakaan, dan Agresi militer dari sekutu. Semangat ini tertuang dalam puisi Chairil berjudul Persetujuan dengan bung Karno yang baitnya berbunyi Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji / Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu. Puisi yang dibuat Chairil tahun 1948 setahun sebelum Chairil menjadi puisi.

Baca juga:

Aku ingin hidup 1000 tahun lagi begitulah kata Chairil dalam bait puisi “Aku”. Kiwari puisi-puisi Chairil sudah melewati zaman, terhitung tahun 2024 sudah 75 tahun sejak Chairil meninggal. Puisi Chairil tetap eksis, melewati masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, pemusnah PKI, masuknya Orde Baru, pemimpi otoriter, tumbangnya Orde Baru, lalu masuknya Reformasi hingga hari ini.

Kenapa Chairil tetap bertahan? Secara ideologi Chairil tidak ikut dalam lembaga kebudayaan Kiri yang terbentuk dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Selepas tragedi 1965-1966 penyair Lekra, cerpenis Lekra, novelis Lekra, dan seniman Lekra, semua karya-karyanya diberangus oleh Orde Baru. Bacaan penulis Lekra termasuk bacaan terlarang dan para senimannya hilang entah kemana atau diasingkan begitu saja.

Chairil diangkat namanya menjadi penyair istemewa oleh H.B. Jassin, seorang kritikus sastra pada zamannya. Buku Chairil Anwar Pelopor ’45 karya H.B. Jassin telah melambungkan nama Chairil Anwar. H.B. Jassin kemudian bergabung dengan Manifesto Kebudayaan yang bersebrangan ideologi dengan Lekra. Semenjak Lekra hancur lebur, Manifesto Kebudayaan menjadi ideologi tunggal dalam kesusastraan, nama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail mencuat ketika Orde Baru berkuasa.

Goenawan Mohamad kemudian meniru bagaimana Chairil Anwar menulis puisi dan ia disebut-sebut sebagai penerus Chairil Anwar. Menurut Goenawan puisi Chairil berjenis “puisi suasana”. Puisi suasana tidak bisa dipahami per kalimat tapi harus secara keseluruhan untuk memahami suasana.

Puisi-puisi awalnya menjadi bagian dari pembelahan ideologi Lekra yang menyatakan seni untuk rakyat dan Manifesto Kebudayaan yang menyatakan seni untuk seni. Kini hanya ideologi Manifesto Kebudayaan yang muncul ke permukaan. Puisi pada akhirnya adalah soal bentuk, begitula Goenawan menafsirkan puisi-puisi Chairil. Puisi ditekankan kepada estetika seni, bagaimana menulis puisi suasana, permainan bahasa, filosofis, dan penuh makna.

Tokoh Manifsto Kebudayaan kemudian menerbitkan majalah Horison sebagai corong sastra Indonesia. Majalah Horison terbit berkala menampikan puisi, cerpen, dan esai dari berbagai penulis. Penulis yang banyak dimuat tulisannya dan dibicarakan menjadi semakin tersohor. Majalah Horison melahirkan penyair ternama seperti Sapardi Djoko Damono,  Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bahri dan beberapa penyair lainnya.

Lalu bagaimana nasib puisi Chairil? Perkembangan selanjutnya puisi Chairil sebagai acuan bentuk perpuisian Indonesia. Puisi Chairil dilihat dari segi kata, kalimat, bait, susunan, suasana. Perlahan puisi Chairil yang awalnya muncul mendobrak berubah menjadi perayaan puisi. Pembaca puisi dilombakan dan puisi Chairil Anwar dibacakan begitu saja tanpa tahu apa maknanya. Puisi Chairil Anwar diajarkan di sekolah begitu saja sebagai wujud bentuk puisi Indonesia.

Setiap tahun saat peringatan hari puisi, karya Chairil Anwar tak luput untuk dibacakan. Chairil perlahan menjadi hanya sebuah simbol, bukan lagi semangat puisi yang mendobrak tatanan, bukan lagi puisi yang menangkap realitas. Bahkan belakangan Chairil dilihat hanya sebagai penyair penggoda perempuan, hingga muncul karya Perempuan-perempuan Chairil yang melihat kisah asmara Chairil.

Puisi kemudian terhegemoni membicarakan soal puisi, soal perasaan, patah hati, cinta, kecewa, sepi, derita, dan semua perasaan yang dituangkan dalam kata-kata. Lalu kata-kata ditata agar menjadi gelegar, meliuk, filosofis, dan seolah penuh makna. Puisi seringkali luput melihat persoalan masyarakat. Padahal ada banyak puisi Chairil yang memotret keadaan rakyat pada masanya, tapi seringkali yang ditonjolkan hanya bentuknya saja.

Baca juga:

W.S. Rendra penyair yang membacakan puisi-puisinya di Taman Ismail Marzuki pernah mengkritik penyair yang terlena dengan bentuk, ia menyebutnya “penyair salon” yang hanya sibuk bicara soal keindahan kata, tapi lupa melihat kesengsaraan rakyat. Adalah Wiji Thukul, penyair yang terang benderang berpuisi mengenai rakyat dan situasi pemerintah Orde Baru, puisinya membuat pengusa bergidik ngeri hingga akhirnya membuat Wiji Thukul hilang entah kemana.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan puisi Chairil? Berhentilah memuja Chairil seolah ia nabi dalam perpuisian. Karya Chairil harus dihancur leburkan, dikritik, dipertanyakan, digugat, lalu disusun ulang menjadi puing-puing. Kepuasan terhadap puisi Chairil, hanya membuat puisi mandek, tidak berkembang, begitu-gitu saja. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

 

 

 

Romario

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email