Dalam keseharian, alunan puitis barang sekali atau lebih pasti merasuk ke lorong telinga dalam ragam rupa. Lagu-lagu hingga siniar senantiasa menemani kala macet tak lagi tertahan dan mata urung tertutup. Bagi para pencinta puisi, mendengarkannya di sebuah diskusi literasi atau festival kebudayaan mungkin terasa lebih afdal.
Ada masa ketika banyak musisi, khususnya akustik dan folk, menggantikan “sore” dengan “senja” dalam upayanya membuat lirik penuh estetika—hingga dijadikan bahan guyonan dengan hadirnya lagu Senja Tai Anjing oleh Project Hambalang. Beberapa yang lain menggantikan “Alam” (dengan “A” besar) dengan “semesta” yang kurang-lebih tujuannya sama, yakni variasi diksi.
Selain menjunjung nilai estetis, ia juga dipasang sebagai nada-nada kritik sosial hingga perlawanan oleh musisi seperti Efek Rumah Kaca, Jason Ranti, dan Tashoora. Jika menyebut penyair, jelas satu nama yang langsung mencakol di ujung kepala adalah Widji Thukul, penyair yang dikabarkan hilang sejak penghujung Orde Baru.
Baca juga:
Puitis yang terkandung dalam puisi bukan hanya ada pada diksinya yang beragam, pengaplikasiannya pun ikut beragam. Tak hanya musik, ia juga mewujud dalam pesan kematian hingga penyebaran sains.
Laporan Kematian Letkol TNI Slamet Riyadi
Peluru yang menghujani tubuh Brigadir Jenderal (Anumerta) TNI Slamet Riyadi membuatnya gugur di usia yang cukup muda. Di usianya yang ke-23, ia wafat dalam sebuah operasi penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Ambon pada akhir tahun 1950.
Dalam buku Merekam Derap Sepatu Lars (2019), disebutkan bahwa tokoh yang namanya menjadi nama jalan ikonik di Solo ini memang ingin mati muda seperti aktivis Soe Hok Gie yang juga memiliki keinginan yang serupa. Uniknya, keduanya sama-sama mengagumi sosok Sutan Syahrir, membuat mereka memiliki pribadi dengan aspirasi humanis.
Mayor Abdullah, yang turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan dan juga seorang dokter yang terus mendampingi Slamet Riyadi kala tertembak di Benteng Victoria (Ambon) hingga meninggal dunia, meninggalkan sebuah laporan kematian Slamet Riyadi dalam bentuk sajak.
Tanggal 4 November/ Jam 21 seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda/ Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai umat/ Yang teguh beriman/ Amin
Penyebaran Sains kepada Audiens Beragam
Komunikasi sains atau dialog antara ilmuwan dan sipil berpotensi menimbulkan hierarki kecerdasan. Misalnya, ketika seorang ilmuwan ditugaskan untuk mengatasi risiko banjir di sebuah tempat, selain mengumpulkan data, si ilmuwan akan berdialog dengan warga setempat yang sudah menetap lama di sana. Terjadilah kolaborasi pengetahuan dan keahlian lokal untuk menciptakan solusi. Namun, dalam interaksi antara ilmuwan dan warga, sangat mungkin ada hierarki kecerdasan yang akan menyulitkan apabila tidak dijembatani.
Menurut Dr. Sam Illingworth, periset dan pemenang penghargaan dalam bidang Communication Science, hierarki terjadi ketika pengetahuan dari kelompok non ilmuwan dipandang kurang kecakapannya oleh pakar ilmiah. Acap kali, keterampilan dan kemampuan yang diperoleh dari pengalaman sukar untuk diungkapkan melalui kata-kata yang sifatnya teknikal. Puisi, menurutnya, bisa mengatasi hambatan tersebut.
Lewat kegiatan menulis bersama yang tertuang dalam lokakarya puisi kolaboratif antara ilmuwan dan non ilmuwan, karya sastra-ilmiah ini berusaha menyamarkan hierarki. Dari lokakarya itu, Sam menilai pendekatan ini efektif kala bekerja dengan masyarakat yang secara atribusi tidak terikat dengan sains. Puisi, menurutnya, menawarkan kesempatan unik untuk saling mendengar, membagi, dan berhubungan kembali.
Plant a tree/ Go Barbados and plant/ A palm tree/ Turn the water off/ Drink booze/ Take a shower with/ Someone else/ Take a shower with/ Rihanna
Puisi itu ditulis oleh salah satu peserta yang mengikuti lokakarya yang diadakan oleh Sam. Isi puisi menyasar upaya untuk mengurangi jejak karbon. Dari puisi itu, terlihat bahwa sang penulis ingin mencoba berbagai kemungkinan dengan keyakinan teguh bahwa segala tindakan akan mengarah pada perubahan—hingga melakukan hal tersebut layaknya berbagi kamar mandi dengan Rihanna.
Sam yang juga menulis buku Science Communication Through Poetry (2022) itu pun menyadari kerentanan akan kebosanan audiens terhadap puisi. Ia menawarkan pentingnya bekerja sama dengan audiens untuk bisa mengidentifikasi puisi yang mereka suka, yang mereka rasa berbicara kepada dan untuk mereka. Dengan begitu, upaya ini akan membantu memperkuat pentingnya pengetahuan, keahlian, dan pengalaman hidup, serta mewujudkan sains yang lebih beragam.
Ke-puitis-an sebuah karya, bagaimanapun bentuknya, punya daya tariknya sendiri-sendiri bagi tiap orang; baik tulis maupun lisan, entah lewat pendengaran ataupun usapan.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Ketika Puitis Bukan Semesta dan Senja Belaka”