Bukan Salah Tujuan Pendidikan: Tanggapan untuk Jonathan Jordan

Chris Wibisana

7 min read

Lahirnya zaman pascakebenaran (post-truth) bertonggakkan kemampuan seseorang membentuk dan mengarahkan “kebenaran” berdasarkan keyakinan pribadi dan pembentukan dukungan publik atas apa yang diyakininya merupakan episode tidak terelakkan dalam sejarah peradaban manusia. Konsepsi post-truth, sebagai sebuah fakta, merupakan resultan akibat melemahnya penghormatan terhadap hasil kerja-kerja ilmiah dan perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan manusia menerima dan terpaksa mencerna ribuan fakta setiap detik dalam hidupnya di bawah cakrawala informasi. Kiat seorang bijak untuk bertahan (survived) dalam keadaan seperti itu tidak lain adalah kemampuan berpikir kritis dalam mencerna informasi, dibarengi kemampuan mengembangkan pendirian yang teguh sehingga tidak terombang-ambing arus pendapat umum. Keduanya, jika bukan yang terutama, merupakan tugas dan tanggung jawab institusi pendidikan formal.

Seberapa jauh suatu peradaban menghargai institusi pendidikan formal yang dimilikinya, sejauh itu pula taraf peradaban yang dituju masyarakat itu dalam satu kali masa hidupnya. Penghargaan tersebut tidak hanya diberikan dalam bentuk dukungan materiil, melainkan juga dukungan moril dan dukungan politis. Dua bentuk dukungan terakhir, dalam konteks sebuah negara-bangsa, umumnya tersusun dalam suatu undang-undang pokok tentang sistem pendidikan nasional yang dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan politik pendidikan: seperangkat garis besar yang menentukan jenis dan jumlah institusi pendidikan formal yang hendak dibangun, alokasi anggaran untuk pembangunan itu, penentuan muatan dan sumber bahan ajar, kualifikasi tenaga pengajar, hingga mutu minimum keluaran institusi tersebut. Dengan sendirinya, politik pendidikan merepresentasikan cara (means) dan bukan tujuan (ends) pendidikan formal.

Tepat pada persoalan politik pendidikan itulah, artikel Jonathan Jordan berjudul “Cengkeraman Pendidikan Kolonial di Era Pascakebenaran” memperlihatkan kekeliruannya. Frasa “pendidikan kolonial” yang digunakan dalam artikel tersebut mereduksi dan membaurkan cara dan tujuan, yang dipukul rata dalam pengertian bahwa apa yang disebut “pendidikan kolonial” bertujuan mencetak tenaga kerja murah, dan sekolah-sekolah kolonial dibatasi untuk itu. Jika model warisan pendidikan ini diteruskan, maka sistem pendidikan hanya akan menghasilkan generasi yang kehilangan daya kritisnya karena, seperti dikemukakan artikel tersebut, pendidikan kolonial tidak menjadikan kemampuan berpikir kritis sebagai prioritas, padahal kemampuan itu sangat dibutuhkan di zaman pascakebenaran.

Tanpa melakukan penyelidikan sejarah secara mendalam, tidak ada yang salah dalam bangunan argumentasi di atas. Namun, dengan memberikan perhatian pada catatan sejarah, khususnya di Indonesia, bangunan argumentasi tersebut memiliki sejumlah kelemahan, berikut pula kesimpulan yang diturunkan dari butir-butir argumentasi tersebut.

Memilah Cara dan Tujuan

Ereschuld (“Utang Budi”) sebagai dasar penyelenggaraan tripartit pendidikan-emigrasi-pengairan di bawah payung Kebijakan Etis 1901 di Hindia Belanda merupakan satu mata rantai yang tidak berdiri sendiri, pun tidak dilahirkan dalam ruang vakum atau jatuh dari langit, melainkan merupakan respons khas kolonial yang bersifat ganda: antisipatif di satu sisi, dan strategis di sisi lain.

Antisipatif, karena pembentukan institusi pendidikan untuk masyarakat pribumi yang dikendalikan secara ketat dalam penentuan apa yang boleh dan tidak boleh diketahui kaum terpelajar dapat mencegah terjadinya revolusi seperti yang menghantam kekuasaan Spanyol di Filipina pada 1896; dan strategis, karena pemberontakan kecil seperti pemberontakan petani Banten 1888 (Kartodirdjo, 1984) atau skandal Bupati Brotodiningrat di Madiun tahun 1899 (Onghokham, 2018) mengirimkan sinyal bagi pemerintah kolonial bahwa elite tradisional pribumi yang menjadi perpanjangan kekuasaan kolonial sejak akhir abad ke-18 tidak lagi dapat dipercaya sepenuhnya.

Sebagai substitusi elite tradisional yang mulai tidak terkendali itu, pemerintah Hindia Belanda membutuhkan suatu elite tersendiri yang mereka cetak melalui institusi pendidikan formal. Dalam institusi tersebut, mekanisme pendidikan diarahkan sedemikian rupa agar para peserta didik keluar sebagai orang yang terasing dari persoalan bangsanya, karena selama pendidikan berlangsung, dia dituntut untuk menunjukkan kongruensi alur berpikir dan penalaran seperti halnya orang Eropa pada masa itu. Kualitas peserta didik semacam ini mutlak diperlukan karena orang-orang dengan cara berpikir yang homogen itulah yang menggerakkan mesin kekuasaan kolonial terbesar: birokrasi gubernemen yang kompleks dan bertingkat-tingkat, tetapi dikelola secara efektif dan efisien sehingga kompleksitas itu tidak menghambat Gubernur Jenderal menegakkan kekuasaan politik dan administratif yang dia pertanggungjawabkan kepada Sri Ratu Belanda.

Baca juga:

Kebutuhan menciptakan elite baru yang dapat mereka kendalikan itu sesungguhnya sudah terlaksana jauh sebelum Ereschuld menjadi kerangka berpikir para politikus liberal di Belanda yang menentukan arah kebijakan kolonial. Beberapa contoh seperti pembentukan Dokter Djawa School pada 1849 untuk memenuhi kebutuhan mantri cacar, pengiriman Sati Nasution “Willem Iskander” untuk belajar ke Negeri Belanda pada 1875, hingga pembangunan sejumlah institusi pendidikan dasar dan menengah untuk anak-anak aristokrat bumiputra sepanjang 1860-1880-an menjadi buktinya. Ereschuld dan Kebijakan Etis yang lahir kemudian merupakan justifikasi mengapa institusi pendidikan formal di koloni perlu ada dan diperbanyak, tetapi sama sekali bukan peletak dasar institusi pendidikan formal di Hindia Belanda, yang telah ada jauh lebih awal dan dikelola oleh biarawan dan biarawati misi Katolik maupun zending Kristen Protestan.

Tujuan pendidikan kolonial, dengan demikian, adalah untuk kepentingan kekuasaan politik kolonial dan pelipatgandaan modal swasta dari luar Hindia, dan bukan demi kepentingan peserta didik, apalagi untuk masa depan koloni. Bahwa peserta didik lulusan institusi pendidikan formal itu kemudian bekerja sebagai infrastruktur birokrasi kolonial, itu merupakan keniscayaan sekaligus tanda berhasilnya politik pendidikan sebagai pedoman tatacara dalam proses pendidikan kolonial yang menekankan disiplin, kecakapan individual, efektivitas, efisiensi, kerja keras, dan keterpercayaan; fitur-fitur khas yang dimiliki seorang birokrat. Mencetak tenaga kerja adalah mekanisme pendidikan kolonial untuk tujuan mempertahankan dan memperkuat kekuasaan kolonial. Namun, itu tidak berarti dengan sendirinya pendidikan kolonial bertujuan mencetak tenaga kerja, lebih-lebih jika kita menghitung barisan panjang para pembangkang tercerahkan (illuminated dissenters) “hasil sampingan” proses pendidikan kolonial.

Para pembangkang tercerahkan itulah yang hari ini kita sebut “Bapak dan Ibu Bangsa”.

Individu Otonom

Seperti pilihan karier para lulusan institusi pendidikan formal milik pemerintah Hindia Belanda adalah memperkuat simpul-simpul infrastruktur kekuasaan kolonial dalam mesin birokrasi adalah keniscayaan, demikian pula lahirnya para pembangkang tercerahkan merupakan keniscayaan proses pendidikan kolonial, untuk tidak mengatakan sisi lain produk pendidikan yang “tidak dikehendaki”. Keniscayaan itu mengingat, sekalipun berada dan tunduk di bawah sistem, para peserta didik tetaplah manusia, dengan darah dan daging, dan bukan batu.

Proses pendidikan para pembangkang itu sama dan sebangun dengan para peserta didik yang kelak memilih jalan sebagai birokrat Hindia Belanda. Yang membedakan mereka adalah fajarbudi yang mereka alami selama menempuh pendidikan, yang ditanggapi guru-guru mereka secara konstruktif dengan memberi dukungan lewat penyediaan bahan bacaan melimpah dan bermutu, sehingga para peserta didik dapat mengasah kekuatan nalar individual mereka secara berkesinambungan. Tidak hanya memperluas cakrawala, penyediaan bahan bacaan itu memungkinkan penguasaan bahasa Belanda sebagai instrumen mobilitas sosial peserta didik menjadi lebih dan semakin baik dari waktu ke waktu.

Fajarbudi para pembangkang yang ditanggapi secara konstruktif oleh guru-guru mereka menjadi motor pertama yang mendorong mereka tergerak, sekali lagi dengan kekuatan nalar individual masing-masing, untuk menyelidiki situasi ketidakadilan yang terjadi di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Penyelidikan situasi itu menyemai kegelisahan yang tersalurkan secara positif melalui pertukaran gagasan seiring meluasnya bacaan cetak, menggumpalkan tekad yang terpisah-pisah dalam kesatuan konsepsi pemikiran kukuh di atas kejernihan kompas moral. Hasilnya: sebuah konsensus tentang kemerdekaan di masa depan, diwujudkan dalam ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa (Mangunwijaya, 1995).

Fajarbudi para pembangkang inilah yang tidak diantisipasi pemerintah Hindia Belanda dalam cetak biru pendidikan mereka. Dengan memantik kekuatan nalar individual para peserta didik, pencerahan yang mereka alami memandu mereka sampai pada pemikiran: jika pendidikan kolonial bertujuan memperkuat dan memperteguh sendi-sendi kekuasaan kolonial, mengapa kita tidak mengembangkan sendiri pendidikan yang bertujuan memperkuat dan memperteguh hasrat kebangsaan, kerakyatan, kemanusiaan, bersendikan cinta tanah air dan kemauan keras memperjuangkan kemerdekaan?

Keberhasilan para pembangkang tercerahkan tidak bersumber dari politik pendidikan kolonial yang memungkinkan mereka bersekolah. Sama sekali bukan. Keberhasilan mereka merupakan buah yang dihasilkan individu otonom melahirkan jaringan pertukaran gagasan yang menerobos sekat-sekat kolonial tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka ketahui. Dengan kata lain, institusi pendidikan formal Hindia Belanda telah memberi kesempatan bagi peserta didik untuk menempa individual vision menjadi shared vision yang terkonkretisasi secara bertahap, dan para peserta didik, dengan kekuatan nalar individualnya dan kegelisahannya, memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

Baca juga:

Dengan didukung guru-guru yang dituntut berlaku sportif dan adil terhadap semua peserta didik, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi mereka, individu-individu otonom itu menumbuhkan pemikiran tentang ruang sosial yang lebih adil sebagai jawaban terhadap ketidakadilan; ruang sosial yang mengangkat derajat martabat manusia sebagai jawaban terhadap penghinaan derajat orang-orang sebangsa mereka sebagai jajahan; ruang sosial yang menjamin keadilan dan pemerataan kemakmuran sebagai jawaban terhadap penumpukan kekayaan yang mereka saksikan di tangan segelintir orang Belanda di tengah kemelaratan bangsa mereka.

Ruang sosial itu mereka rumuskan dalam sebuah arketipe negara-bangsa, yang kemudian mereka beri nama “Indonesia”.

Hilang dan Ditinggalkan

Dengan kekuatan penalaran mereka sebagai individu otonom, para pembangkang tercerahkan mentransformasikan diri mereka menjadi ujung tombak pergerakan nasional pertama-tama, yang ditempuh melalui produksi surat kabar, pembentukan rapat-rapat umum, dan pengorganisasian diri dalam serikat-serikat (Shiraishi, 1997). Tujuan pendidikan kolonial yang hendak memperkuat dan memperteguh kekuasaan kolonial mereka tekuk-lipat-balik menjadi memperkuat dan memperteguh semangat kebangsaan.

Untuk mencapai tujuan itu, cara pendidikan yang mereka tempuh mengambil bentuk pranata yang paling mudah dikenali: keluarga batih. Dengan demikian, lahirlah suatu “pendidikan kekeluargaan” yang menghapus jarak pendidik dan peserta didik; mengubah ruang kelas menjadi taman belajar; dan pembelajaran bukan hanya rangkaian ceramah dan ujian, melainkan percobaan dan penemuan yang merangsang dan menggugah para peserta didik agar belajar mengetahui, sebelum kemudian belajar mencari tahu, belajar mengubah pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan dengan kekuatan nalar, dan mengubah ilmu pengetahuan menjadi kearifan dengan kompas moral yang jernih dan tajam. Taman Siswa, Instituut Boedi Oetomo, dan INS Kajoetanam merupakan tiga contoh institusi pendidikan yang melaksanakan model pendidikan ini.

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Disintegrasi politik era demokrasi parlementer pascapengakuan kedaulatan 1949 dan pergantian kebijakan yang sering menyebabkan tujuan pendidikan itu perlahan-lahan hilang ketika segelintir pemangku kebijakan pendidikan merasa bertanggung jawab menciptakan suatu “pendidikan nasional” tanpa konsep yang jelas kecuali modifikasi dan pengembangan inovasi teknik pembentukan lingkungan belajar yang “berganti warna”. Besarnya pertimbangan politis dalam merancang konsep pendidikan menyebabkan tujuan pendidikan bermancaragam dan berganti-ganti, dengan tetap menjadikan peserta didik sebagai “objek eksperimen”, bukan “subjek eksperimen” yang didorong untuk mengetahui.

Bersamaan dengan itu, panggung sejarah berganti. Para eksponen pergerakan yang dipaksa berkelahi antarsesamanya gagal melawan semangat zaman dan tidak sempat mentransmisikan pengalaman belajar mereka kepada generasi penggantinya sebelum mereka wafat. Keberhasilan mereka membentuk diri menjadi individu otonom yang melahirkan zaman ditaklukkan tuntutan agar pendidikan mengikuti perkembangan zaman.

Tertatih-tatih mengejar cita-cita kosong dan tidak perlu, generasi demi generasi lahir dan ditempa institusi pendidikan “nasional” menjadi bebek-bebek yang dipaksa tunduk pada setelan hasil pendidikan yang seragam, guru-guru yang bertindak sebagai pawang, dan keingintahuan yang ditumpas hafalan dan doktrin, tanpa kesempatan bagi peserta didik untuk mengasah nalar individualnya karena perpustakaan sekolah yang tidak bermutu dan hanya menjadi gudang buku yang jenuh dan kusam.

Tanpa kemampuan menciptakan konsep, dengan nalar individual yang lemah, ditimpali kesemrawutan kompas moral karena ketiadaan teladan, “pendidikan nasional” memasukkan anak manusia untuk nantinya diluluskan sebagai “bagian dari orang-orang”, bukan “seseorang”. Ketika ada “seseorang” yang lahir dari mesin pendidikan itu, dia dianggap sebagai “produk salah cetak”, pembangkang yang tidak perlu dihiraukan pandangan dan kegelisahannya, dan dapat setiap waktu diperlakukan tidak adil seandainya dia berani menunjukkan perlawanan terhadap kemapanan.

Keterputusan transmisi pengalaman dan remediasi terhadap kerusakan yang terjadi sejak itu, pada akhirnya, bukanlah one-man show Menteri Pendidikan seorang, melainkan pekerjaan gotong-royong untuk memastikan kelangsungan peradaban manusia yang manusiawi; peradaban kumpulan individu otonom, dan bukan peradaban sekumpulan orang-orang dalam kerumunan yang membebek ke mana tongkat sang pengangon mengarahkannya. Evolusi manusia yang semakin berpembawaan kultural kemudian coba-coba dihentikan dengan retorika kebijakan yang merendahkan derajat warga negara menjadi setingkat lebih tinggi dari ternak: diberi makan gratis dan dibiarkan tidur nyenyak selagi peradaban manusia terus bergerak mencapai dan menembus ketidakmungkinan-ketidakmungkinan (impossibilities); mengubah bunga tidur nenek moyang menjadi mahakarya pengetahuan.

Lahirnya zaman pascakebenaran tidak bisa ditampik, tetapi kerusakan yang diakibatkannya dapat dicegah dan ditahan. Keberhasilan para pembangkang tercerahkan yang berhasil menyepakati kontrak sosial negara-bangsa bernama Indonesia, sekalipun tujuan pendidikan kolonial menghendaki lain, adalah keberhasilan mereka memanfaatkan institusi pendidikan formal pelaksana politik pendidikan kolonial sebagai mandala tempat mereka menempa diri menjadi individu otonom berkekuatan nalar yang tidak membiarkan zaman dan pergaulan mengarahkan ke mana mereka melangkah, tetapi menjadikan kelajuan zaman sebagai cambuk agar mereka tetap menempuh jalan demi mencapai tujuan yang mereka kehendaki dan cita-citakan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Chris Wibisana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email