Perbincangan tentang banyaknya WNI yang ingin “kabur” dari Indonesia menggambarkan gelombang kekecewaan masyarakat, terutama generasi muda, terhadap situasi ekonomi dan politik di Indonesia hari ini. Banyak dari mereka merasa bahwa bertahan di negeri sendiri justru mempersempit peluang dan meredupkan harapan. Fenomena ini menarik untuk dikaji, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sudut pandang sosial dan psikologis. Mengapa banyak anak muda ingin “kabur”? Apakah ini bentuk keputusasaan atau justru strategi bertahan hidup?
Mencari Peluang atau Lari dari Kenyataan?
Banyak yang beranggapan bahwa fenomena “kabur aja dulu” adalah bentuk eskapisme—melarikan diri dari kenyataan yang tidak menguntungkan. Tapi benarkah ini hanya sekadar pelarian? Jika kita lihat lebih dalam, keputusan untuk mencari hidup di luar negeri lebih sering didasarkan pada pertimbangan rasional. Bukan hanya soal gaji yang lebih tinggi, tetapi juga soal kepastian karier, kesejahteraan sosial, dan apresiasi terhadap kerja keras.
Saya jadi teringat ucapan seorang teman yang baru saja pindah ke Australia. “Di sana, lo kerja sesuai usaha lo. Lo dihargai, enggak ada yang mentang-mentang punya koneksi, terus bisa seenaknya dapet posisi bagus,” katanya.
Ini mencerminkan satu dari banyaknya keresahan anak muda di Indonesia yang merasa bahwa sistem di sini masih belum sepenuhnya adil. Nepotisme, upah minimum yang tidak sebanding dengan biaya hidup, hingga ketidakpastian hukum menjadi faktor yang mendorong mereka mencari alternatif di luar negeri.
Daniel Kahneman, ahli psikologi yang juga peraih Nobel Ekonomi, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow menjelaskan bahwa manusia cenderung mencari kepastian dalam hidupnya. Ketika sebuah lingkungan tidak lagi memberikan kepastian akan masa depan, orang akan berusaha mencari tempat lain yang lebih stabil. Fenomena “kabur aja dulu” tampaknya tidak sekadar keinginan impulsif, tetapi lebih kepada respons terhadap ketidakpastian yang dirasakan di tanah air.
Baca juga:
Namun, apakah semua yang pergi benar-benar menemukan apa yang mereka cari? Tidak sedikit yang akhirnya merasa kehilangan identitas, kesulitan beradaptasi, atau bahkan menghadapi diskriminasi di negara tujuan. Tidak semua yang pergi otomatis mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ini menimbulkan pertanyaan lain: Apakah bertahan dan berusaha di dalam negeri masih menjadi pilihan yang layak?
Haruskah Bertahan atau Ikut Kabur?
Dalam obrolan lainnya, seorang teman saya berkata, “Aku juga pengin pindah, tapi kalau semua orang pergi, siapa yang bakal bikin perubahan di sini?”
Kalimat itu cukup menohok. Ada dilema besar di balik fenomena ini. Di satu sisi, mencari kehidupan yang lebih baik adalah hak setiap individu. Di sisi lain, jika terlalu banyak orang berbakat meninggalkan negara ini, siapa yang akan membangun Indonesia?
Sejarah mencatat bahwa banyak negara yang pernah mengalami gelombang brain drain—kehilangan tenaga kerja terampil karena mereka memilih pindah ke negara lain. Korea Selatan di era 1970-an mengalami hal ini, tetapi pemerintahnya berhasil menarik kembali warganya dengan menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih menarik. Artinya, bukan hanya individu yang perlu memikirkan apakah harus pergi atau bertahan, tetapi pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk membuat kondisi di dalam negeri lebih layak bagi anak muda.
Baca juga:
Profesor Joseph Stiglitz, ekonom terkemuka, dalam bukunya Globalization and Its Discontents menyebutkan bahwa mobilitas tenaga kerja adalah bagian dari globalisasi yang tidak bisa dihindari. Namun, jika suatu negara ingin menahan talenta terbaiknya, harus ada kebijakan yang berpihak pada mereka. Ini bisa berupa reformasi sistem pendidikan, penciptaan lapangan kerja yang layak, hingga kebijakan sosial yang menjamin kesejahteraan pekerja.
Di tengah realitas ini, memilih untuk “kabur” atau bertahan bukanlah perkara mudah. Ada yang memilih bertahan karena masih punya harapan bahwa Indonesia bisa berubah, sementara yang lain merasa bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik adalah dengan pergi. Keduanya adalah pilihan yang valid, tergantung dari sudut mana kita melihatnya.
Saya pribadi berpikir bahwa fenomena kabur aja dulu adalah refleksi dari keresahan yang sah. Ini bukan sekadar tren atau pengaruh media sosial, tetapi cerminan dari ketidakpastian yang nyata. Namun, jika kita hanya melihatnya sebagai pelarian, kita mungkin kehilangan kesempatan untuk memahami bahwa ini juga bisa menjadi dorongan untuk perubahan. Mungkin, alih-alih sekadar “kabur”, pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa membuat Indonesia menjadi tempat yang tidak perlu ditinggalkan?
Editor: Prihandini